Karunia Mutiara Cinta
Bang Bois

Edit by : zheraf.net
http://zheraf.wapamp.com

Sebuah cerita fiksi yang ditulis oleh Bois, penulis copo
yang masih harus banyak belajar. Cerita ini hanyalah
sarana untuk mengilustrasikan makna di balik
kehidupan semu yang begitu penuh misteri. Perlu
anda ketahui, orang yang bijak itu adalah orang yang
tidak akan menilai kandungan sebuah cerita sebelum
ia tuntas membacanya.

e-book ini gratis, siapa saja dipersilakan untuk
menyebarluaskannya, dengan catatan tidak sedikitpun
mengubah bentuk aslinya.

Jika anda ingin membaca/mengunduh cerita lainnya
silakan kunjungi :
www.bangbois.blogspot.com
www.bangbois.co.cc

Salurkan donasi anda melalui:
Bank BCA, AN: ATIKAH, REC: 1281625336

Satu

Malam terlihat cerah, di depan gerbang sebuah
rumah besar, dua orang pemuda tampak
sedang berbicara dengan seorang pembantu yang
bekerja di rumah itu.
"Selamat malam, Mbak. Kami temannya Lisa.
Boleh kami bertemu dengannya?" pinta Bobby perihal
maksud kedatangannya.
"Betul, Mbak. Bukankah dia menginap di sini?"
timpal Randy yang sudah tak sabar ingin berjumpa
dengan kekasihnya.
"O... kalau begitu, tunggu sebentar ya!" pinta si
pembantu seraya bergegas masuk.
Tak lama kemudian, si pembantu sudah kembali
dan mempersilakan keduanya menunggu di beranda.
Saat itu Randy langsung duduk seraya menyalakan
sebatang rokok, sedangkan Bobby masih berdiri-
memperhatikan sebuah patung aneh yang ada di situ.

3
Beberapa menit kemudian, Lisa sudah keluar
bersama Nina-sahabatnya yang tinggal di rumah
besar itu. Lisa yang mengetahui maksud kedatangan
Randy segera mengajaknya menuju ke kursi taman,
sedangkan Bobby dan Nina menunggu di beranda.
Sambil menunggu, mereka berbincang-bincang,
mengingat semua kenangan manis yang mereka
alami.
Maklumlah, sudah lama sekali mereka tidak
bertemu, dan terakhir bertemu ketika mereka masih
anak-anak, saat itu Nina dan keluarganya pergi keluar
negeri untuk waktu yang cukup lama.
"Nin... kau masih ingat saat kita main pengantin-pengantinan?" kata Bobby membuka pembicaraan
sambil memberanikan diri memandang wajah Nina
yang sedang tertunduk, sungguh tampak manis dan
mempesona. Dalam hati, pemuda itu merasa takjub,
"Nin.. Aku tidak menyangka, kalau sekarang kau
sudah menjadi gadis dewasa," katanya membatin.
Namun belum sempat pemuda itu menarik
pandangan, tiba-tiba Nina sudah menatapnya. Sebuah

4
tatapan yang dirasakan Bobby begitu hangat dan
membuat jantungnya kian berdebar kencang. Lantas
dengan segera keduanya mengalihkan pandangan
sambil meninggalkan kesan di benak masing-masing,
yaitu perasaan bahagia yang begitu mendalam. Saat
itu Bobby mengalihkan pandangannya ke arah taman,
sedangkan Nina tampak tertunduk malu.
Sementara itu di kursi taman, Randy dan Lisa
masih membicarakan masalah mereka. Keduanya
tampak saling berpandangan dengan tangan saling
berpegangan.
"Lis... Benarkah kau mau memaafkanku?" tanya
Randy memastikan.
"Iya, Kak. Aku menyadari kalau itu memang
bukan salahmu."
"Terima kasih, Lis," ucap Randy seraya meremas
tangan Lisa dengan lembut.
"Janji ya, kau tidak akan memberi kesempatan
padanya untuk menemuimu lagi !" pinta Lisa seraya
membalas remasan tangan pemuda itu.

5
Randy mengangguk, kemudian dia segera
mencium kening Lisa dengan penuh kasih sayang.

Setelah pertemuan malam itu, Bobby sering
berkunjung ke rumah Nina, hingga akhirnya mereka
saling menyatakan cinta. Malam minggu pertama
terasa begitu indah, bagaikan bunga warna-warni
yang senantiasa harum mewangi. Tiada perasaan
yang terucap selain cinta dan sayang, dan tiada
perasaan yang terungkap selain peluk dan cium.
Bahkan keduanya sudah berjanji untuk saling
menyayangi dan mencintai dengan sepenuh jiwa. Dan
di setiap malam Minggu, mereka selalu
menyempatkan diri untuk bertemu dan saling berbagi.
"Nin... Aku sangat mencintaimu. Cintaku padamu
setinggi langit dan sedalam lautan," ucap Bobby
seraya membelai rambut Nina yang panjang sebahu.
"Begitu pula aku, Kak. Setiap yang ada pada
dirimu merupakan bagian dari diriku, rasanya... aku

6
ingin selalu berada di sisimu," ucap Nina seraya
merapat di pelukan pemuda itu.
"Nin ! Bolehkah aku menciummu sebagai
ungkapan rasa cintaku!" pinta Bobby seraya menatap
mata kekasihnya dengan hangat.
Nina tidak menjawab, saat itu dia terus menatap
Bobby dengan tatapan penuh cinta. Lalu dengan
perlahan kedua matanya tampak terpejam-tanda
yang biasa diutarakan atas kesediaannya dicium oleh
Bobby. Kemudian dengan perasaan cinta yang
bergelora, keduanya tampak berciuman dengan
mesranya. Sungguh saat itu keduanya sudah terjerat
oleh cinta yang membutakan, sehingga apa yang
mereka lakukan itu seakan ungkapan saling
mengasihi, padahal apa yang mereka lakukan itu
justru saling meracuni hati. Sementara itu di sebuah
taman yang berada di tengah kota, Randy tampak
sedang mengejar Lisa yang berlari sambil
mengucurkan air mata.

7
"Lis! Lisa...! Tunggu Lis! Mengapa kau tidak mau
mengerti? Apa lagi yang harus kujelaskan padamu?"
teriak Randy dengan nafas terengah-engah.
Lisa tidak menghiraukan teriakan itu, dia terus
berlari dan berlari-berusaha menghindar dari kejaran
pemuda yang sudah begitu dibencinya. Ketika sampai
di sebuah tikungan, tiba-tiba gadis itu menghentikan
larinya, kemudian melangkah menghampiri Randy.
"Kak, sepertinya aku memang harus bicara padamu,"
katanya kepada Randy yang kini sudah berdiri
dihadapannya.
"Syukurlah, Lis...! Akhirnya kau mau mengerti
juga," kata Randy dengan mata berbinar.
"Ia, Kak. Kini aku telah mengerti dan menyadari
kekeliruanku," kata Lisa seraya menghapus air
matanya. "Ke-ketahuilah, Kak! Sesungguhnya kita
memang sudah tidak cocok dan tak mungkin bisa
bersatu lagi," sambungnya kemudian dengan kedua
mata yang menatap Randy dengan penuh kebencian.
"Ini! Kukembalikan tanda cinta darimu, dan jangan
pernah engkau menemuiku lagi!" larangnya seraya

8
melemparkan kalung dan cincin yang pernah
diberikan padanya sebagai tanda kesungguhan cinta
Randy, kemudian gadis itu segera berpaling dan
berlari meninggalkan pemuda itu.
Pada saat yang sama, Randy hanya terpaku
memperhatikan kepergian Lisa, di dadanya bergejolak
perasaan sedih yang begitu mendalam, terasa sesak
dan menyakitkan.

Esok paginya, matahari tampak bersinar cerah.
Namun sayangnya, saat itu sudah tak terdengar lagi
kicauan burung yang biasanya berkicau merdu. Pada
saat yang sama, Bobby tampak masih terlelap dan
tidak menyadari kalau waktu sudah menunjukkan
pukul 08.30 WIB. Hal itu terjadi akibat semalam dia
tidak bisa tidur lantaran terus terbayang sang Pujaan
Hati. Ketika waktu sudah menunjukkan pukul 09.00
WIB, ternyata Bobby masih terlelap bersama
mimpinya. Saat itu di dalam mimpinya, dia sedang

9
berduaan dengan Nina di taman yang indah, dan
ketika dia hendak mencium gadis itu, tiba-tiba "Bob...!
Bobby...! Bangun, Nak!" teriak ibunya memanggil.
Mendengar itu, seketika Bobby terjaga, kemudian
duduk di sisi tempat tidur dan mulai merenggangkan
persendiannya.
"Sayang...! Ayo cepat bangun! Ini sudah siang!"
teriak ibunya lagi.
"Iya Bu, Bobby sudah bangun," kata Bobby
seraya bergegas membuka pintu kamarnya.
"Sayang...! Sungguh tidak biasanya kau tidur
sampai sesiang ini. Eng... Semalam kau pasti
begadang, iya kan?" tanyanya kepada Bobby yang
dilihatnya masih tampak mengantuk.
"Ia... Bu, semalam Bobby tidak bisa tidur."
"Eng... Kalau begitu, sebaiknya sekarang kau
mandi, setelah itu langsung sarapan! Hari ini kau
harus mengantar Ibu ke rumah Bu Suryo," pinta sang
Ibu kemudian.
"Duh, Ibu! Kenapa harus Bobby sih? Kan ada
Pak Hadi," bantah pemuda itu.

10
"Bobby... Bobby...! Kalau Pak Hadi bisa
mengantar untuk apa Ibu menyuruhmu? Ketahuilah...
Kalau hari ini Pak Hadi tidak bisa mengantar Ibu
karena ada urusan keluarga,� jelas Sang Ibu
mengabarkan.
�Kalau begitu, baiklah Bu,� kata Bobby seraya
bergegas mandi.
Usai sarapan, pemuda itu langsung ke garasi dan
mengeluarkan sedan birunya. Kini dia sedang
memanaskan mobil itu sambil menunggu ibunya
datang. Sambil menunggu, pemuda itu tampak asyik
memutar musik keras underground sebagai
penyemangat saat berkendara. Lima menit kemudian,
Ibunya sudah datang dengan membawa sebuah
bungkusan, pada saat yang sama di depannya terlihat
Bik Ijah yang tampak tergopoh-gopoh menuju ke pintu
gerbang.
"Apa itu, Bu?" tanya Bobby.
"O, ini pesanan Bu Suryo-kain batik dari solo,"
jawab Sang Ibu seraya duduk di sebelah Bobby. "Tapi,
ngomong-ngomong kau memutar musik apa pagi-pagi

11
begini, suaranya seperti kaleng rombeng. Ayo lekas
matikan! Telinga Ibu bisa pecah bila mendengar
musik seperti ini. Bukankah lebih enak memutar
musik kroncong kesukaan Ibu."
Akhirnya, dengan terpaksa Bobby menuruti
keinginan ibunya. Kini pemuda itu mulai menjalankan
sedan birunya sambil terus mendengarkan lagu
kroncong yang membuatnya betul-betul bete. Sedan
biru terus bergerak perlahan hingga akhirnya keluar
pintu gerbang dan menghilang di kejauhan.
Sementara itu di tempat lain, Randy tampak
murung memikirkan kekasihnya. Rupanya dia masih
terpukul dengan kejadian semalam, bahkan saking
dipresinya-sudah sepuluh batang rokok dia habiskan
pagi ini. Sungguh dia tidak menduga, kalau
pertemuannya dengan Sang Mantan justru membuat
Lisa begitu marah. Padahal, dia menemui gadis itu
lantaran ingin menegaskan dan memberi pengertian
agar tidak menemuinya lagi. Maklumlah, selama ini
mantan pacarnya itu memang masih mencintainya
dan berharap bisa bersatu kembali. Bahkan mantan

12
pacarnya itu selalu datang ke rumahnya, padahal
Randy sudah jelas-jelas menyatakan kalau dia sudah
tak mencintainya.
Setelah mematikan rokok yang kesebelas, Randy
tampak beranjak dari duduknya dan segera
melangkah ke warung-sebuah tempat dimana dia
dan Bobby biasa nongkrong. Rupanya pemuda itu
berniat mencurahkan isi hatinya kepada Bobby, dan
berharap sahabatnya itu mau membantu.
Setibanya di warung, pemuda itu tampak
kecewa-ternyata Bobby tak tampak batang
hidungnya. "Pak Ade, kok tumben ya Bobby belum ke
mari?" tanyanya kepada Pak Ade-penjaga warung
yang memang sudah sangat dia kenal.
"Iya-ya... Nak. Biasanya kan pukul segini dia
sudah nongkrong di sini dan bernyanyi dengan gitar
kesayangannya itu," timpal Pak Ade merasa heran.
"Duh, ke mana ya dia? Seharusnya dia memang
sudah nongkrong di sini sambil menyanyikan lagu
Iwan Fals yang benar-benar fals," canda Randy
berupaya mengobati sedikit kekecewaannya.

13
"Ah, Nak Randy bisa saja. Kalau Nak Bobby tahu,
bisa- bisa dia tidak mau menyanyi lagi loh," komentar
Pak Ade sambil terkekeh.
"Ah, Pak Ade... aku kan cuma bercanda. Kalau
dia tidak mau menyanyi, bisa sepi dong ini warung,"
kata Randy menanggapi.
Setelah berkata begitu, Randy langsung
memesan sebotol minuman dan makanan ringan.
Sambil menikmati makan dan minumnya, pemuda itu
terus menunggu kedatangan sahabatnya.
Sementara itu di tempat lain, Bobby sedang
duduk sendiri di beranda rumah Bu Suryo. Karena
terlalu lama menunggu, dia pun jadi melamun sendiri.
Saking terbuainya dengan lamunan yang begitu indah,
membuat pemuda itu tidak menyadari kalau ada
langkah kaki yang mendekat.
"Kak Bobby...!" panggil seorang gadis tiba-tiba.
Seketika Bobby menoleh, memperhatikan
seorang gadis yang kini tersenyum manis padanya.
"Kakak sedang apa di sini?" tanya gadis itu
seraya duduk di sampingnya.

14
"Lho, kau sedang apa di sini ?" Bobby malah
balik bertanya.
"Kakak ini bagaimana sih, ini kan rumahku,"
jawab Lisa.
"Ru-rumahmu! Masa sih. Kok kau tidak pernah
cerita. Terus... kalau yang di dekat rumah Nina?"
tanya Bobby heran.
"O... kalau itu rumah pamanku, selama ini aku
memang tinggal di sana. Sedangkan di sini rumah
orang tuaku," jelas Lisa
"O... begitu." Bobby tampak mengangguk-angguk.
"O ya, Kak. Kau belum menjawab pertanyaanku
tadi. Sedang apa Kakak di sini?"
"Eng... aku sedang mengantar Ibuku," jawab
Bobby.
"O... begitu." Lisa tampak mengangguk-angguk,
tak lama kemudian dia sudah kembali bicara, "O ya,
Kak. Ngomong-ngomong, bagaimana hubunganmu
dengan Nina, apa lancar-lancar saja?" tanya pada
pemuda itu.

15
"Ya Alhamdulillah... Hubunganku dengan Nina
baik-baik saja," jawab Bobby seraya tersenyum tipis,
"Kau sendiri bagaimana? Apakah hubunganmu
dengan Randy baik-baik juga?"
Lisa tidak menjawab, saat itu dari kedua matanya
tampak mengalir air mata kesedihan.
"Lis... kenapa kau menangis?" tanya Bobby
penuh keheranan.
Lisa masih saja menangis, bahkan air mata yang
kian bertambah deras. Kemudian dengan terisak,
gadis itu mulai cerita, "Begini Kak! Randy itu orangnya
memang tidak bisa dipercaya. Padahal, dia sudah
berjanji untuk tidak menemui mantan pacarnya lagi.
Tapi kemarin, ternyata dia sedang asyik berduaan di
sebuah fast-food restoran-Dia telah mengingkari janji
untuk yang ketiga kalinya, Kak... Terus terang, aku
sudah tidak tahan lagi. Karena itulah aku terpaksa
mengambil putusan untuk berpisah dengannya."
Mengetahui itu, Bobby tampak terkejut dan ikut
prihatin, kemudian dengan penuh perhatian, pemuda

16
itu mencoba menghibur Lisa. Dan setelah berusaha
keras, akhirnya Lisa bisa tersenyum juga.
Sementara itu di tempat lain, ketika matahari
telah berada di atas kepala, Randy masih saja
menunggu Bobby. "Huh! Kemana sih tuh orang? Masa
sudah siang begini belum datang juga. Kalau saja HP-nya bisa dihubungi, tentu aku tidak perlu
menunggunya," keluh Randy seraya beranjak dari
duduknya.
Kemudian dengan perasaan kecewa, pemuda itu
segera melangkah meninggalkan warung. Setibanya
di rumah, dia langsung masuk kamar dan
merebahkan diri di tempat tidur. Kini dia teringat
kembali dengan kejadian semalam, rasa sakit karena
ditinggal Lisa kembali terasa sehingga membuatnya
benar-benar merasa tersiksa. Kemudian dengan
serta-merta pemuda itu beranjak bangun dan
langsung menghubungi Johan-bandar narkoba yang
sudah sangat dikenalnya sewaktu dia dan Bobby
masih suka mabuk-mabukan.
"Hallo..! Bisa bicara dengan Johan!" pinta Randy.

17
"Ya ini aku sendiri, ini siapa ya?" tanya Johan.
"Ini aku, Han... Randy."
"O... kau, Ran. Tumben nih... kau lagi butuh
sama daganganku ya," tebak Johan.
"Kau benar, Han. Aku memang lagi butuh?"
"OK, Ran! Kau mau pesan apa?"
"Biasa, Han. Obat yang bisa membuatku hevoria
and biar gampang tidur. 5 papan ya Han!"
"Sip, Ran. O ya ngomong-ngomong, kita akan
bertemu di mana?"
"Bagaimana kalau di warungnya Pak Ade."
"Ok deh, Broer. Aku segera meluncur."
"Aku tunggu ya, Han. Thanks!" Randy pun segera
menutup telepon dan berangkat ke warung untuk
bertransaksi.
Sementara itu di warung, Bobby yang baru
datang tampak asyik memetik gitar kesayangannya.
Setelah satu lagu selesai, pemuda itu tampak
memandang ke arah jalan. "Hmm... apa mungkin
Randy mau membicarakan soal Lisa. Kalau bukan hal
penting, rasanya tidak mungkin dia mau menungguku

18
begitu lama. Kata Pak Ade, dia menungguku sampai
pukul 12.00 siang. Ya, aku rasa memang begitu-dia
pasti mau membicarakan hal itu," duga Bobby seraya
kembali memetik gitarnya dan mulai menyanyikan
sebuah tembang lama.
"Di kantin depan kelasku... di sana kenal dirimu...
yang..." Tiba-tiba Bobby menghentikan nyanyiannya,
di kejauhan dia melihat Randy yang sedang menuju
ke arahnya dengan tergesa-gesa.
Tak lama kemudian, "Hai, Bob! Ke mana aja sih,
kok baru kelihatan?" tanya Randy seraya duduk di
sebelahnya.
"Wah, Sorry, Ran! Aku disuruh mengantarkan
nyokap ke rumah temannya. Memangnya ada apa?"
"Ah, tidak...! Tidak ada apa-apa kok. Aku cuma
mau nongkrong bareng," jawab Randy tidak berterus
terang.
"Benar nih... tidak ada apa-apa? Kata Pak Ade,
kau menungguku sampai jam 12.00 siang."
"Benar kok, Bob. Tidak ada apa-apa. Aku cuma
mau mendengarmu menyanyi, itu saja."

19
"Nyindir nih. Kalau tidak ada apa-apa, ya sudah.
Tidak usah bilang mau mendengarku menyanyi
segala!�
�Sori, Bob. Gitu aja diambil hati.�
�O ya, Ran. Aku mau bicara sesuatu," kata Bobby
ingin menceritakan perihal orang tua Lisa yang
ternyata berteman dengan ibunya. Namun belum
sempat pemuda itu bercerita, tiba-tiba terdengar deru
Motor besar 2 silinder yang berhenti persis di depan
warung.
"Hi, Broer!" sapa Johan seraya turun dari sepeda
motornya dan segera menghampiri Randy. " Ini Ran
pesananmu, 5 papan kan?" katanya berbisik.
Randy segera berdiri dan mengeluarkan
dompetnya "Ok, Han. Ini uangnya," ucap Randy
seraya mengambil bungkusan koran dari tangan
Johan.
Bobby yang sejak tadi bertanya-tanya tentang
kedatangan Johan langsung bangkit dan angkat
bicara, "Ran? Apa-apaan nih! Kenapa kau mau
menggunakan barang haram itu lagi?"

20
Randy tampak diam-dia tidak menjawab
pertanyaan Bobby sepatah kata pun. Sementara itu,
Johan yang tidak mau ikut campur segera pergi
meninggalkan tempat itu.
"O... begitu caramu menyelesaikan persoalan.
Hanya gara-gara diputusin Lisa, kau jadi cengeng
begitu."
Tiba-tiba Randy beranjak dari duduknya,
kemudian menatap Bobby dengan penuh amarah,
"Bob! Sori nih...! Kau memang sahabatku. Tapi kalau
kau sok mengajari aku tentang masalah pribadiku,
lebih baik persahabatan kita sampai di sini saja. �
"Ran! Dengarkan aku! Aku bukannya sok mau
mengajarimu. Selama ini kita bersahabat, terus terang
aku tidak mau kalau kau mabuk-mabukan hanya
lantaran kecewa dengan Lisa,"
�Sudahlah, Bob. Kini aku jadi curiga, bagaimana
mungkin kau bisa mengetahui masalahku? Padahal
kan aku belum cerita, jangan-jangan...." Randy tidak
melanjutkan kata-katanya dia segera berpaling dan
pergi meninggalkan Bobby.

21
"Ran! Apa maksud ucapanmu itu... Ran!" Teriak
Bobby seraya berlari menghampiri.
"Alaaah!!!" ucap Randy seraya mempercepat
langkah kakinya.
Saat itu, Bobby langsung menghentikan
langkahnya, dia hanya bisa terpaku melihat kepergian
Randy. Sedangkan Randy terus berlalu, sepertinya dia
ingin segera pulang dan menikmati barang haram
yang baru dibelinya.

Dua minggu kemudian, Bobby tampak sedang
termenung di warung Pak Ade. Semenjak kejadian
petang itu, warung Pak Ade tak seramai dulu. Tak ada
lagi tawa dan canda yang penuh dengan keceriaan,
penuh dengan gurauan Randy yang selalu mencela
Bobby, juga petikan gitar Bobby yang melantunkan
lagu-lagu Iwan Fals. Yang tertinggal kini hanyalah
kenangan persahabatan yang tak bisa dilupakan.
Selama ini, Bobby terus berharap bisa bertemu

22
dengan Randy di tempat itu. Sebab, setiap kali dia
datang ke rumahnya, Randy selalu menghindar.
Namun begitu, Bobby masih terus berharap semoga
Randy sadar dan kembali menjalin persahabatan
dengannya.
"Pak! Minumannya satu lagi!" pinta Bobby seraya
menyalakan sebatang rokok. Pak Ade pun segera
membawakan pesanannya. "Ini, Nak," katanya ramah.
"Terima kasih, Pak! O ya, apa Bapak pernah
melihat Randy?"
"Tidak pernah, Nak. Sejak petang itu Bapak tidak
pernah melihatnya lagi."
"Hmm... ya sudah kalau begitu. Ngomong-ngomong, semuanya berapa?"
"Tujuh ribu lima ratus, Nak."
Bobby segera mengeluarkan dompetnya, "Ini,
Pak. Kembaliannya ambil saja!"
"Terima kasih, Nak!"
"Kalau begitu aku pergi dulu, Pak. O ya, kalau
Bapak melihat Randy tolong sampaikan salamku ya!"
"Baik, Nak."

23
Kini Bobby sedang melangkah ke rumah Nina.
Hingga kini hubungan mereka masih lancar-lancar
saja, dan terkadang mereka juga main ke tempat Lisa
untuk mengetahui kabarnya. Hari ini pun mereka
sudah janjian untuk main ke tempat itu. Setibanya di
sana, mereka dikejutkan oleh berita yang mengatakan
kalau Lisa sudah pulang ke rumah orang tuanya dan
tidak akan kembali lagi. Lantas dengan agak kecewa
keduanya melangkah pulang. Dalam perjalanan,
mereka bertemu dengan Randy. Tampaknya pemuda
itu sudah tidak marah lagi. Buktinya, saat itu Randy
langsung melempar sebuah senyuman dan menjabat
tangan Bobby erat. �Hai, Bob! Apa kabar?" � sapanya
kemudian.
"Alhamdulillah... Aku baik-baik saja, Ran! Kau
sendiri bagaimana?" sambut Bobby senang seraya
tersenyum kepada sahabatnya itu.
"Aku baik-baik juga, Bob. O ya, maaf kalau
selama ini aku tidak mau menemuimu! Terus terang,
aku ini memang bodoh karena telah menyia-nyiakan
seorang sahabat baik sepertimu, yang mana sudah

24
begitu memperhatikanku. Sekarang aku sudah betul-betul sadar, kalau apa yang kulakukan waktu itu
adalah salah."
"Sudahlah, Ran! Aku juga memahaminya kok. O
ya, ngomong-ngomong kau mau ke rumah Lisa ya?"
"Iya Bob. Aku mau menjelaskan masalah yang
sebenarnya. Mungkin sekarang ini dia mau
mendengarkanku."
"Wah, sayang sekali, Ran. Lisa sudah pulang ke
rumah orang tuanya dan tidak akan tinggal di sini lagi."
Mengetahui itu, Randy terdiam, raut wajahnya
pun langsung berubah sedih. Dalam hati, pemuda itu
merasa tidak mempunyai harapan lagi untuk bertemu
dengan Sang Pujaan Hati.
"Tenang, Ran! Kau tidak perlu sedih! Kau masih
bisa bertemu dengannya, kok. Eng... bagaimana
kalau hari Minggu kita pergi menemuinya, kebetulan
aku memang sudah mengetahui rumahnya."
"Sungguh, Bob? Kau benar-benar mengetahui
rumahnya?" tanya Randy seakan tak percaya.

25
Bobby mengangguk, "O ya, bagaimana kalau
sekarang kita antar Nina pulang dulu! Setelah itu, kita
nongkrong di warung Pak Ade sambil membicarakan
rencana kita selanjutnya."
Mengetahui ajakan itu, Randy langsung setuju.
Setelah mengantarkan Nina pulang, keduanya lantas
menuju warung Pak Ade. Setibanya di tempat itu,
mereka langsung berbincang-bincang sambil makan
dan minum, hingga akhirnya mereka kembali akrab
seperti semula. Kini di warung Pak Ade sudah
terdengar lagi tawa dan canda yang penuh dengan
keceriaan.
Sementara itu di sebuah kamar yang cukup
besar, seorang gadis terlihat sedang berdiri sambil
memandang keluar jendela. Rambutnya yang panjang
tampak berkibar-kibar tertiup angin yang berhembus
pelan. Kini gadis itu tampak memandang ke sebingkai
foto yang ada di tangannya, sedang kedua matanya
tampak basah oleh air mata kesedihan. "Ran...
bagaimanapun juga aku sangat menyesal telah
mengambil tindakan ini, walau sebenarnya aku sangat

26
mencintaimu. Ini memang suatu keputusan yang
sangat menyakitkan. Terus terang, aku tidak
mempunyai pilihan yang terbaik. Kini aku sudah tidak
tahan menghadapi perlakuanmu, dan sepertinya kita
memang harus berpisah. karena memang itulah yang
terbaik buat kita-agar kita tidak lagi saling menyakiti.
Besok, aku akan berangkat keluar negeri. Sebab,
sudah lama orang tuaku menghendaki aku agar
sekolah di sana, namun aku selalu menolaknya
lantaran aku ingin selalu dekat denganmu. Kini aku
tidak mempunyai alasan yang kuat untuk menolak
keinginan mereka, dan aku akan berangkat untuk
membahagiakan keduanya."
Gadis yang bernama Lisa itu terus membatin
sambil memandangi foto Randy mantan kekasihnya,
sampai akhirnya fajar pun menyingsing di ufuk barat.

Di hari minggu yang cerah, sebuah sedan biru
tampak memasuki halaman rumah Randy. Sesuai

27
janjinya, hari ini Bobby dan Nina datang menjemput
Randy untuk mengajaknya menemui Lisa. Tak lama
kemudian, ketiganya sudah melaju ke rumah Lisa
yang ada di Bogor. Setelah melakukan perjalanan
yang cukup melelahkan, akhirnya mereka tiba di
tempat tujuan.
"Nah! itu rumahnya, Ran," kata Bobby
memberitahu.
"Wah, Bob. Terus terang, saat ini aku benar-benar bahagia. Aku sungguh tidak menyangka, kalau
akhirnya aku bisa bertemu dengan Lisa," ucap Randy
dengan paras muka berseri-seri.
Tak lama kemudian, ketiganya sudah turun dari
mobil dan segera melangkah memasuki rumah Lisa.
Kini mereka tampak sedang bercakap-cakap dengan
ayah Lisa di sebuah ruang tamu yang cukup nyaman.
Hingga akhirnya, Bobby, Randy, dan Nina tampak
meninggalkan ruangan itu dengan perasaan kecewa.
Orang yang paling kecewa di antara mereka adalah
Randy, karena keinginannya yang begitu menggebu-gebu untuk bertemu dengan Lisa telah sirna seketika,

28
seiring dengan kepergian Lisa ke luar negeri.
Sungguh dia tidak menyangka kalau Lisa sudah
meninggalkan Indonesia satu jam yang lalu.

Dua

Hari berganti hari, minggu berganti minggu
dan bulan berganti bulan. Semenjak
kepergian Lisa, akhirnya Randy pindah ke rumah
Bibinya yang mempunyai perusahaan boutique.
Pemuda itu sengaja tinggal di tempat itu demi
mengalihkan ingatannya soal Lisa, yaitu dengan cara
mencari kesibukan-belajar menjadi seorang penjahit
yang profesional. Selain itu, dia pun ingin menemani
sang Bibi yang kini telah tinggal sendirian lantaran
anak semata wayangnya baru saja menikah dan telah
diboyong suaminya ke luar kota.
Selama tinggal di rumah Bibinya, Randy sangat
kerasan dan selalu mengisi hari-harinya dengan
belajar dan belajar, hingga akhirnya pemuda itu bisa
menjadi seorang penjahit yang cukup professional.
Sampai pada suatu hari, di siang yang cukup panas,
di sebuah bengkel yang tidak terurus tampak

30
beberapa bis angkutan umum yang di parkir dalam
keadaan rusak. Di salah satu atap bis itulah Randy
tampak duduk termenung sambil memandang kosong
ke arah sebuah rumah yang tak jauh dari tempatnya
duduk. Sudah tiga hari ini Randy selalu duduk
termenung di tempat itu, pikirannya selalu dibayangi
perasaan menyesal yang teramat sangat. Sungguh
pemuda itu tidak menyangka kalau dia telah
kehilangan kekasih yang dicintainya untuk yang kedua
kali.
Setahun setelah kepindahan Randy ke rumah
Bibinya, Randy menjalin cinta dengan seorang gadis
manis bernama Yuli. Pada mulanya, dia sama sekali
tak menyadari akan keberadaan gadis itu. Namun
setelah kejadian itu, ketika Randy menolong Yuli yang
hampir tertabrak motor, cintanya pun mulai bersemi.
Waktu itu ketika Randy berusaha menyelamatkan
Yuli, mereka terjatuh bersama ke tepi jalan dan
bergulingan. Pada saat itu Yuli nyaris saja tercebur ke
dalam kali yang cukup dalam, untung saja Randy
cepat meraih tangannya dan menyelamatkannya

31
untuk yang kedua kali. Saat itulah mereka saling
berpandangan dengan penuh arti, dan saat itu pulalah
benih-benih cinta mulai bersemi di antara keduanya,
hingga akhirnya mereka menjadi sepasang kekasih
yang saling mencintai. Sementara itu, Erna sahabat
Yuli yang ternyata diam-diam lebih dulu mencintai
Randy tampak tidak senang dengan hubungan
mereka, hingga akhirnya dia datang menemui Randy.
"Ran ! Apa kau benar-benar mencintai Yuli?"
tanya Erna dengan wajah serius.
"Iya, aku memang sangat mencintainya.
Memangnya kenapa?" Randy balik bertanya.
"Memangnya kau tidak tahu, kalau Yuli sudah
tidak gadis lagi? Aku sendiri pernah memergokinya
dengan seorang lelaki."
"Kau jangan sembarangan bicara, Er!" Randy
terlihat marah.
"Benar kok, Ran! Sumpah deh, aku tidak bohong.
Yuli memang sudah tidak gadis lagi, dia sudah tidur
dengan Ari di sebuah rumah kosong. Itu loh! Rumah

32
yang baru di bangun di depan itu," cerita Erna
sungguh-sungguh.
Mendengar cerita itu Randy tampak semakin
marah. "Kau jangan memfitnahnya, Er! Aku tahu
benar siapa Yuli-dia itu gadis baik-baik," kata Randy
ketus.
Tiba-tiba saja sebuah tamparan keras melayang
ke wajah Erna. Karena kerasnya tamparan itu, kontan
membuat bibir Erna seketika berdarah. Erna pun
langsung menangis, merasakan sakit di bibirnya dan
juga kekecewaan yang teramat sangat. Sungguh dia
tidak menyangka kalau pemuda yang selama ini
begitu dicintainya ternyata tega menamparnya dengan
begitu keras.
Yuli yang kebetulan melihat kejadian itu segera
datang menghampiri. "Kak Randy! Kau ini apa-apaan
sih? Sungguh keterlaluan sekali, tega-teganya kau
menampar Erna sampai seperti ini," kata gadis itu
seraya buru-buru mengambil sapu tangannya dan
membersihkan darah di bibir sahabatnya "Er!
Memangnya ada apa? Kenapa dia begitu tega

33
menamparmu sampai seperti ini?" tanyanya kepada
Erna dengan penuh prihatin.
"Begini, Yul! Randy itu memang sudah gila. Dia
itu kan pacarmu, masak dia merayuku untuk berbuat
yang tidak-tidak. Tentu saja aku menolak, sebab aku
tidak mau berbuat begitu, apalagi sampai menghianati
sahabatku sendiri. Lalu tanpa diduga-duga, pacarmu
itu langsung mengeluarkan kata-kata yang sangat
menyakitkan perasaanku. Katanya, �Er! Kau itu kan
pekcun, jangan sok menolak deh.� Saat mendengar
itu, seketika aku tersinggung, lalu tanpa sadar aku
langsung meludahi wajahnya. Namun pacarmu itu
bukannya sadar, eh dia malah menamparku hingga
sampai seperti ini," cerita Erna dengan sangat
meyakinkan.
"Bohong! Itu bohong, Yul. ...Itu fitnah. Aku
menampar dia karena dia telah memfitnahmu. Dia
telah berkata yang tidak-tidak mengenai dirimu.
Percayalah, Yul! Dia memang telah memfitnahmu,"
bela Randy saat itu.

34
"Apa benar yang dikatakannya, Er? " tanya Yuli
dengan kening sedikit berkerut.
Saat itu Erna langsung menundukkan kepalanya,
"Percuma saja, Yul. Bila aku bilang �tidak�, kau pasti
juga tidak akan percaya. Dia itu kan pacarmu, orang
yang kau cintai, tentunya kau akan lebih membela
dia," katanya lirih.
Mendengar itu, Yuli langsung simpati. "Kau
jangan begitu, Er. Aku percaya kok. Kau itu kan
sahabatku, dan kita sudah lama berteman. Aku tahu
benar sifatmu, rasanya memang tidak mungkin kau
berbuat seperti yang dituduhkan Randy."
Mengetahui itu, Randy kembali membela diri,
"Yul? Please...! Percayalah padaku!" katanya
berharap.
Setelah membersihkan darah di bibir Erna, Yuli
segera berpaling ke arah Randy. Dia menatapnya
dengan penuh kebencian, "Kak Randy! Aku benar-benar tidak menyangka, kalau kau yang kukenal baik
ternyata di belakangku... telah merayu sahabatku
sendiri. Kau telah bertindak melewati batas, Kak.

35
Sebagai seorang wanita, aku benar-benar sangat
kecewa. Mulai sekarang, lebih baik kita putus!"
Setelah berkata begitu, Yuli pun segera
mengajak Erna untuk meninggalkan tempat itu.
"Yul? Yuli... dengar aku, Yul!" teriak Randy
berharap.
Saat itu Yuli sudah tidak mempedulikan Randy,
dia dan Erna terus melangkah menjauh. Sementara
itu, Randy sudah tak mampu berkata-kata lagi, dia
hanya bisa terpaku melihat kepergian kekasihnya.
Dalam hati dia begitu menyesal, kenapa sewaktu Erna
memfitnah kekasihnya dia tidak bisa menahan diri.
Seandainya saat itu dia bisa menahan diri, tentu tidak
akan seperti itu kejadiannya. Tiba-tiba Randy tersadar
dari kenangan pahitnya, saat itu hari tampak sudah
mulai gelap dan hujan pun sebentar lagi akan turun.
Lalu dengan perasaan yang masih galau, pemuda itu
segera turun dari atap bis dan melangkah pulang.
Sementara itu di tempat lain, di sebuah kamar
yang sederhana terpajang hiasan dinding yang tertata
indah. Semua perabotannya pun tampak tertata

36
dengan rapi, diletakkan di atas lantai putih yang begitu
bersih. Semua itu menunjukkan sang empunya kamar
merupakan orang yang suka dengan keindahan,
kerapian, dan kebersihan. Pada sebuah meja kecil di
ruangan itu terpampang beberapa buah foto, di
antaranya terdapat foto sepasang pengantin. Itulah
foto kedua orang tua Yuli yang sudah lama meninggal
dunia. Di sebelah kiri foto itu terpampang foto Yuli
yang sedang memegang seikat bunga dan di sebelah
kanannya terpampang foto Randy. Entah kenapa foto
itu masih saja terpampang di meja itu, padahal sudah
satu bulan dia menyatakan putus dengannya. Tak
jauh dari meja kecil itu, tampak sebuah dipan bersprei
merah jambu, dan di atas dipan itulah Yuli tampak
sedang termenung sambil memandangi foto Randy
yang ada di atas meja. Saat itu ingatannya kembali
melayang ke masa lalu, mengenang kembali masa
indah bersama pemuda yang ternyata masih
dicintainya. Sungguh gadis itu sulit untuk bisa
menerima kenyataan pahit yang dialaminya, batinnya
pun seakan meronta-tak mau mempercayainya

37
begitu saja. "Ya, rasanya tidak mungkin Randy akan
bisa berbuat sehina itu? Hmm... Apa mungkin Erna
telah berkata bohong? Bila benar demikian, sungguh
aku sangat berdosa karena telah menyakiti hati
Randy. Tapi... saat itu sepertinya Erna memang
berkata jujur. Lagi pula, dia itu kan sahabatku, dan
aku kenal betul siapa dia, rasanya tidak mungkin dia
mau menghianatiku."
Saat itu Yuli terus bertanya-tanya sambil
memikirkan peristiwa yang sudah membuatnya begitu
bingung.

Esok paginya, di negeri di negeri kincir angin,
mentari tampak bersinar cerah. Sinarnya yang hangat
tampak membias ke seluruh taman yang ada di
belakang sebuah rumah bergaya eropa, dan di taman
itulah seorang gadis tampak duduk termenung sambil
memandang kolam kecil yang ditumbuhi pohon teratai
dengan bunganya yang berwarna biru. Gadis itu terus

38
merenung, merasakan hembusan angin sepoi-sepoi
yang terus bertiup, juga keteduhan rindangnya pohon
oak yang sudah berumur ratusan tahun.
"Kak Randy... apakah kau sudah melupakanku,
dan apakah kau sudah mempunyai penggantiku?
Kak... ingin rasanya aku kembali ke tanah air tercinta
untuk menemuimu, namun aku tak berdaya, tak tahu
harus bagaimana. Kak... Sesungguhnya aku sangat
mencintaimu, dan cintaku itu hanya untukmu. Andai
kau tahu, sesungguhnya di sini aku begitu kesepian,
bahkan tidak ada sesuatu pun yang bisa menghibur
hatiku yang lara ini. Kini harapanku hanya dirimu, yang
kupercaya bisa mengobati rasa rinduku, menjadi
pelepas dahaga cinta yang sudah terlanjur melekat di
relung hatiku terdalam," ungkap Lisa seraya memetik
setangkai tulip yang tumbuh di dekatnya, kemudian
memandangi keindahannya.
Saat itu air matanya tampak mengalir di pipinya
yang mulus, kemudian menetes di sela-sela jemarinya
yang tergenggam. Bersamaan dengan itu, kenangan
indah bersama Randy kembali terbayang,

39
membawanya ke masa lalu yang begitu berkesan.
Saat itu Randy mencium bibirnya yang tipis di bawah
terang sinar bulan purnama, dan pada saat itu pula
Randy memberikannya sebuah kalung yang begitu
indah. Sejenak Lisa menarik nafas panjang,
sesegukan, kemudian mendongak-memperhatikan
mentari yang kian meninggi. Sesaat, silaunya mentari
sempat memicingkan kedua matanya yang basah.
Kini pandangannya sudah beralih, memperhatikan
liuk-liuk air kolam yang berkilat tersapu cahaya, lalu
dengan serta-merta dia bangkit dan melangkah
menuju ke sebuah gazebo yang dirambati oleh mawar
berwarna putih. Kini gadis itu sudah duduk di tempat
yang nyaman itu dan kembali termenung. Jemarinya
yang lentik segera memetik setangkai mawar dan
kemudian menciumnya perlahan. Bersamaan dengan
itu, kenangan indah pun kembali terbayang. Namun
belum sempat gadis itu kembali tebuai lamunan, tiba-tiba telinganya menangkap suara sapaan seorang
pemuda. Saat itu Lisa tersentak, lamunannya pun
buyar seketika. Kini gadis itu sedang memperhatikan

40
sesosok tubuh tegap yang berdiri dihadapannya,
kemudian memandang wajah tampan yang dilihatnya
sedang menyungging sebuah senyuman manis.
Melihat itu, Lisa pun buru-buru menghapus air
matanya dan berusaha untuk tersenyum. �Si-siapa
kau sebenarnya? Ma-malaikat kah?� tanya Lisa
seakan tak percaya akan ketampanan pemuda itu.
"Maaf, aku bukan malaikat. O ya, kenalkan.
Namaku Pieter, aku baru saja pindah ke daerah ini,"
kata pemuda itu dalam Bahasa Belanda seraya
mengajaknya berjabatan tangan.
"Aku Lisa," kata Lisa memperkenalkan diri, juga
dalam Bahasa Belanda.
"Senang berkenalan denganmu," kata Pieter
seraya kembali tersenyum.
"Aku juga," balas Lisa.
�O ya, maafkan kalau tadi aku sudah menggangu
kesendirianmu.�
�Ti-tidak apa-apa, Piet. Jujur saja, aku justru
senang akan kehadiranmu. Ketahuilah, kalau di negeri
ini aku tidak mempunyai seorang teman pun.�

41
Mengetahui itu, Pieter merasa betul-betul lega,
kemudian dia segera mengajak Lisa kembali
berbincang-bincang. Harum mawar dan keteduhan
Gazebo membuat keduanya betah berlama-lama.
Wajah Lisa yang semula murung kini tampak ceria, itu
semua karena dia mendapat teman baru-seorang
pria kulit putih yang baru saja pindah dan menjadi
tetangganya. Pada saat yang sama, di negeri Zambrut
katulistiwa dan di atap sebuah bis yang tak terawat,
Randy kembali melamun seorang diri. Seperti
biasanya, dia selalu memikirkan Yuli-gadis yang
selalu saja terbayang di benaknya.
Semenjak putus dengan Yuli, Randy memang
sering melamun, sepertinya dia tidak mempunyai
gairah untuk hidup. Maklumlah, hari-hari yang
biasanya dipenuhi keceriaan saat bersama Yuli kini
tak lagi dirasakan, yang dirasakannya kini hanyalah
kesepian yang terus menghantui.
Sementara itu di tempat lain, Bobby tampak
duduk sendirian di teras depan rumahnya. Saat itu dia
sedang memetik gitar kesayangannya sambil

42
menyanyikan sebuah tembang lama. Maklumlah,
semenjak Randy tinggal di rumah bibinya, dia lebih
sering berada di rumah lantaran tidak mempunyai
teman nongkrong yang sehati. Sebab, memang hanya
Randylah sahabatnya yang paling mengerti dia.
�Hmm... Sebaiknya sekarang saja aku
menemuinya, mumpung ibuku lagi tidak pakai mobil,�
gumam Bobby seraya bergegas menyimpan gitarnya,
kemudian dengan segera mengendarai sedan birunya
menuju tempat tujuan.
Setelah menempuh perjalanan yang lumayan
jauh, akhirnya Bobby tiba di kediaman Randy. Kini dia
sedang bicara dengan bibi Randy yang saat itu
merasa prihatin dengan perubahan prilaku
keponakannya. "Hmm... jadi, sudah lebih dari dua
minggu ini Randy sering menyendiri?" tanya Bobby
perihal sahabatnya yang diketahui sedang mengalami
masalah.
"Betul, Nak Bobby. Tante sendiri tidak tahu
kenapa dia bisa menjadi seperti itu. Soalnya setiap
kali Tante menanyakannya dia tidak pernah mau

43
berterus terang. Mungkin jika kau yang
menanyakannya, dia akan mau berterus terang."
"Eng, kalau begitu aku memang harus segera
menemuinya. O ya, ngomong-ngomong dia sedang di
mana, Tante?" tanya Bobby.
"Biasa... dia menyendiri di atap bis yang ada di
bengkel sebelah, Nak."
"Baiklah Tante, kalau begitu aku akan
menemuinya sekarang," pamit Bobby seraya
bergegas ke bengkel sebelah. Setibanya di tempat itu,
dia melihat Randy tampak masih duduk termenung.
"Ran? Sedang apa kau di sini?" tanya Bobby yang kini
juga sudah berada di atap bis. Saat itu Randy tidak
menyahut, dia masih saja terlena dengan
lamunannya. "Ran? Kau sedang apa?" tanya Bobby
lagi seraya menepuk pundak sahabatnya. Seketika itu
juga Randy tersadar, kemudian menatap pemuda itu
dengan pandangan kosong. Namun tak lama
kemudian, pemuda itu sudah kembali berpaling-
memperhatikan sebuah rumah yang ada di kejauhan.
Sepertinya saat itu dia merasa berat untuk

44
menceritakan hal sebenarnya. Mengetahui itu, Bobby
kembali bertanya, "Apa yang kau lamunkan, Ran?
Sampai-sampai kau tidak mendengar perkataanku.
Ayo dong, Ran! Katakan padaku!" pinta Bobby seraya
duduk di sebelahnya.
Karena terus didesak, akhirnya terpaksa Randy
mengatakannya, "Begini Bob! Aku sedang patah hati.
Hubunganku dengan Yuli sudah putus."
"A-apa! Kau dan Yuli putus?" Bobby sangat
terkejut mendengar berita itu. "Kenapa hal itu bisa
terjadi, Ran?" tanyanya kemudian.
"Itu semua karena aku telah difitnah oleh Erna,
Bob."
"E-erna... Siapa itu Erna?"
"Dia itu sahabatnya Yuli, Bob."
"O..." Bobby tampak mengangguk-angguk,
"Eng... Ngomong-ngomong, kenapa dia sampai tega
memfitnahmu, Ran?"
"Begini ceritanya, Bob...."

45
Randy pun segera menceritakan perihal kejadian
itu, pada saat itu Bobby terus mendengarkan dengan
penuh prihatin.
�Hmm... kini aku mengerti, ternyata memang
Erna biang keladinya. Kalau begitu, kau jangan
khawatir, Ran. Aku pasti akan membantumu. O ya,
ngomong-ngomong... Perutku sudah lapar sekali nih.
Kita makan dulu yuk!" ajak Bobby.
"Maaf, Bob. Kau makan sendiri saja. Terus
terang, aku belum lapar."
"Ayolah...! Kita makan mi rebus saja!"
Mengetahui itu, Randy pun langsung berubah
pikiran. "Eng, baiklah... kalau begitu aku mau. O ya,
ngomong-ngomong kita akan makan di mana?"
"Hmm... Bagaimana kalau di warung yang ada di
dekat pertigaan?"
"Oke, aku setuju. Kalau begitu, ayo kita
berangkat!"
Lantas kedua pemuda itu segera turun dan atap
bis dan melangkah pergi. Setibanya di tempat tujuan,
mereka langsung memesan dua mangkuk mi. Sambil

46
menunggu mi itu matang, mereka tampak berbincang-bincang sambil memandang ke arah jalan. Saat itulah,
pandangan salah satu dari mereka tiba-tiba tertuju
kepada seorang gadis yang sedang jalan sendirian.
"Nah itu dia, Bob. Wanita yang bernama Erna-wanita
yang telah memfitnah aku," katanya dengan nada
marah-sepertinya saat itu dia begitu ingin
menghajarnya.
"O... jadi itu yang namanya Erna," kata Bobby
seraya memperhatikan gadis yang dimaksud.
"Kalau saja dia bukan perempuan, pasti sudah
kubuat babak-belur," kata Randy geram.
"Sudahlah, Ran! Sebaiknya kita lupakan dulu
masalah itu. Lebih baik sekarang kita makan dulu!"
pinta Bobby seraya mengambil semangkuk mi yang
baru saja matang.
Kemudian keduanya tampak menikmati makanan
itu dengan lahapnya. Selesai makan, mereka kembali
berbincang-bincang sambil menikmati sebatang
rokok. Beberapa menit kemudian, Bobby dan
sahabatnya sudah meninggalkan warung dan sedang

47
melangkah menuju ke kediaman Randy. Setibanya di
tempat itu, mereka kembali ngobrol hingga menjelang
senja. Bobby yang saat itu menyadari hari sudah mulai
gelap akhirnya memohon diri, "Ran? Sekarang aku
pulang dulu ya, besok kita bertemu lagi."
"Yoi, Bob. Sampai bertemu besok,� ucap Randy
seraya memperhatikan sahabatnya memasuki mobil
yang diparkir di halaman.
Tak lama kemudian, Bobby sudah melaju dengan
sedan birunya. Kini pemuda itu sedang dalam
perjalanan, lalu tanpa sengaja dia melihat Erna yang
sedang jalan berduaan dengan seorang pemuda.
"Lho... i-itukan si Erna. Kenapa dia bergandengan
tangan dengan Johan. Hmm... Sebenarnya siapa
Erna itu? Apa mungkin dia itu pacarnya Johan? Jika
memang demikian, lalu apa motifnya merusak
hubungan Randy dengan Yuli? Hmm... betul-betul
membingungkan, kalau begitu sebaiknya nanti malam
aku akan ke tempat tongkrongan Johan. Aku akan
menyelidiki hal ini lebih jauh lagi, mungkin saja di sana
aku akan menemukan jawabannya."

48
Bobby terus memacu mobilnya sambil
memikirkan berbagai peristiwa yang baru dialaminya,
hingga akhirnya dia tiba dirumah ketika azan magrib
usai berkumandang.

Esok harinya, matahari tampak condong ke
barat, panas pun sudah tak begitu menyengat lagi.
Sepulang dari rumah sahabatnya, Bobby langsung
menemui Erna guna melanjutkan penyelidikannya
semalam. Kali ini dia berlagak menjadi teman Yuli dan
mengajak Erna berbincang-bincang. Lama mereka
berbincang-bincang, hingga akhirnya gadis yang
bernama Erna itu tampak memasang wajah garang.
"Hei! Memangnya kau itu siapa? Kenapa kau ingin
tahu urusanku segala?" tanya Erna dengan alis
merapat dan bola mata yang tampak membesar.
"Mengaku saja, Er. Kau memang menyukai
Randy kan? Dan kau menfitnah Yuli agar kau bisa
memilikinya. Iya kan?"

49
"Huh! Apa untungnya jika aku memberitahumu?"
"Bukan apa-apa, Er. Kalau kau memang
menyukai Randy, katakan saja terus terang. Jangan
pakai memfitnah Yuli segala!"
"Huh! Siapa yang menyukai pria munafik seperti
dia. Lagi pula, priaku si Johan lebih oke ketimbang
dia."
"Johan yang bandar narkoba itu? Huh, pria
seperti itu saja kau bangga-banggakan," kata Bobby
sinis.
"Huh! Tahu apa kau soal dia. Johan itu pria baik-baik, dia tidak seperti Randy yang mata keranjang dan
suka bertindak tak senonoh."
Tiba-tiba sebuah tamparan melayang ke pipi
Erna, "Dasar! Kau memang wanita murahan, aku lebih
mempercayai kata-kata sahabatku dari pada kata-katamu. He, dengar ya! Aku kenal betul siapa Randy,
dia tidak mungkin berbuat begitu, dan dia tidak
mungkin suka dengan wanita sepertimu."
Sambil terus mengusap pipinya yang terasa
panas, Erna memandang Bobby geram, "He, Bob.

50
Dengar ya! Aku memang menyukai Randy. Dia
memang pria yang selama ini aku idam-idamkan,
sebab dia bisa menjadi suami yang baik untukku.
Tidak seperti Johan yang hanya mau menikmati
tubuhku tanpa perasaan cinta sedikit pun, selama ini
aku hanya dijadikan objek pemuas birahinya. Terus
terang, aku iri dengan Yuli yang bisa mendapatkan
pria yang mencintai dan menyayanginya dengan
sepenuh hati. Karenanyalah, aku tidak senang jika
Yuli bisa bahagia sedangkan aku tidak. O ya, Bob!
Dengar baik-baik. Yuli lebih percaya padaku, dan
usahamu untuk menyatukan mereka akan sia-sia.
Dan satu lagi, kau akan mendapat balasan akan
perbuatanmu tadi. Nah, sekarang juga pergi kau dari
sini!"
"Oke oke... sekarang juga aku pergi! Kini aku
tahu siapa kau sebenarnya, kau memang ular berbisa,
dan aku sama sekali tidak takut dengan ancamanmu
itu," umpat Bobby seraya melangkah meninggalkan
tempat itu.

51
Hari itu juga Bobby langsung menuju ke rumah
Yuli guna menyelesaikan masalah yang dihadapi
sahabatnya. Setibanya di tempat itu, dia langsung
menjumpai Yuli dan mulai menceritakan perihal siapa
Erna sebenarnya. "Begini, Yul. Kemarin aku sempat
melihat dia dan Johan jalan berduaan. Aku tahu betul
siapa si Johan, dia itu seorang bandar narkoba.
Setelah kuselidiki lebih lanjut, ternyata Erna juga
seorang pemakai. Bahkan demi untuk barang haram
itu dia rela untuk menyerahkan kehormatannya.
Karena itulah, selama ini dia sering nongkrong di
tempat Johan guna memenuhi kebutuhannya. O ya,
tadi aku juga baru tahu kalau ternyata Erna memang
mencintai Randy, dan karena itulah semuanya
menjadi jelas, bahwa apa yang dikatakan Randy
mengenai Erna adalah benar. Saat itu Erna sengaja
menfitnahmu demi mendapatkan Randy. Namun
ternyata dia keliru, saat itu Randy justru tidak percaya
dan langsung menamparnya lantaran kesal. Saat
itulah kau datang, hingga akhirnya Erna pun segera
memanfaatkan situasi itu. Aku menduga dia

52
melakukan itu karena sudah kehabisan akal, jika dia
tidak bisa mendapatkan Randy, maka merusak
hubungan kalian adalah hal yang bisa menyenangkan
hatinya."
"O ya, Kak. Ngomong-ngomong, apa yang
dikatakan Erna pada Randy waktu itu?"
"Menurut cerita Randy, Erna mengatakan kalau
kau sudah tidak gadis lagi, dan kau suka tidur berdua
di rumah kosong bersama si Ari."
"A-apa??? Erna berkata begitu? Sungguh aku
tidak menyangka, kalau dia telah tega memfitnahku
sedemikian keji. Ta-tapi... Apa iya Erna akan setega
itu, sebab selama ini dia sudah begitu baik padaku.
Eng... Jangan-jangan, Kak Randy telah
memfitnahnya, Kak?"
"Percayalah Yul! Biarpun selama ini Erna baik
padamu, namun kalau dia diam-diam juga mencintai
Randy bisa saja dia berbuat demikian. Apa lagi Erna
sudah terlibat dengan yang namanya narkoba, dan
hal-hal semacam itu sangat mungkin dilakukan.
Sebab NARKOBA (Narkotika dan obat-obatan

53
berbahaya) mempunyai dampak negatif yang
merugikan aspek jiwa, yaitu pada tahap-tahap awal
pemakaiannya maupun pada tahap-tahap adiktif
(ketagihan). Ketika pertama kalinya seseorang
mengkonsumsi narkoba, ia merasakan pikirannya
kacau, tidak dapat membedakan sesuatu dengan
baik, cepat emosi, dan perasaannya tidak aktif.
Dengan terus-menerus mengkonsumsinya, pelakunya
menjadi malas, sedikit kerja, menghabiskan waktunya
dalam mimpi-mimpi soal kebangkitan. Ia tidak mampu
menghadapi realitas yang ada di tengah-tengah
masyarakat. Oleh karena itu, ia berkelit dengan
tipuan, manipulasi, pemalsuan, dan melanggar
hukum. Banyak sekali generasi muda yang
mengkonsumsi NARKOBA menderita gangguan di
otaknya, kemudian terlihat pada mereka gangguan
pendengarannya, pengelihatannya, dan perasaannya.
Hingga seolah-olah mereka merasakan sakit di
sekujur tubuhnya atau melemahnya kerja seluruh
organ tubuhnya, atau mereka merasakan sepertinya
ada serangga yang menjalar di sekujur tubuhnya.

54
Apalagi jika dia sudah menjadi seorang yang
paranoid, dia bisa kehilangan kepercayaan diri,
bahkan dia mulai mencurigai siapa saja yang berada
di dekatnya, dan bertindak di luar akal sehatnya."
"Tapi, Kak. Aku masih ragu dengan segala
keteranganmu itu."
"Oke, Yul! Kalau kau masih juga tidak percaya,
kita bisa membuktikan siapa Erna itu sebenarnya.
Bagaimana kalau malam ini kau ikut denganku untuk
melihat secara langsung tindak-tanduk Erna di tempat
tongkrongannya."
"Baiklah, Kak. Kalau begitu, aku bersedia ikut
denganmu malam ini."
Setelah berbincang-bincang lebih lanjut, akhirnya
Bobby pamit pulang. Pada saat yang sama, Yuli masih
memikirkan perihal Erna, sungguh dia tidak sabar
ingin membuktikan semua kata-kata Bobby yang
masih sulit dipercaya.

55
Malam harinya, Bobby dan Yuli sudah berada di
tempat tongkrongan Johan. Dari tempat yang
tersembunyi, mereka tampak mengawasi tindak-tanduk Erna yang sedang berpesta narkoba. Saat itu
Yuli hanya bisa tertegun menyaksikan sahabatnya
yang sedang mabuk dan terus digerayangi oleh
pacarnya yang bernama Johan.
"Bagaimana, Yul? Apa sekarang kau percaya?"
tanya Bobby berbisik.
"Iya, Kak. Aku benar-benar tidak menduga,
ternyata Erna memang seperti itu."
"Kalau begitu, ayo kita pergi dari sini!" ajak Bobby
kepada gadis itu.
Mereka pun segera bergegas meninggalkan
tempat itu. Dalam hati, Yuli sudah benar-benar yakin
kalau semua perkataan Bobby waktu itu memang
benar adanya, dan sekarang pun dia sudah berniat
untuk menemui Randy dan meminta maaf padanya.
Sementara itu di tempat lain, Randy terlihat
sedang duduk sendirian sambil menikmati sebatang
rokok. Sesekali dia menghembuskan asap rokoknya

56
dengan membentuk cincin, yang akhirnya hancur
terkena hempasan angin. Kini di dalam benaknya,
pemuda itu sedang membayangkan gadis yang begitu
dicintainya. "Yul... kau adalah gadis yang paling
kucinta. Cintaku padamu lebih besar daripada gadis
lain yang pernah kucinta. Aku tak tahu apakah kita
akan bersatu kembali? Andaipun Bobby tidak bisa
membuatmu percaya, aku hanya bisa pasrah dan
mencoba untuk menerimanya."
Kini pemuda itu melangkah menuju ke muka
rumah, dan ketika dia melihat Bobby dan Yuli sedang
melangkah mendekat, pemuda itu pun langsung
tertegun.
"Hai, Ran!" sapa Bobby pada pemuda itu..
Saat itu Randy tidak membalas, dia masih saja
tertegun-memperhatikan gadis yang kini sudah
berdiri di hadapannya.
"Kak!" panggil Yuli berusaha menyadarkan
pemuda itu.

57
Seketika Randy tersadar. "E-eh, ma-maaf! Ayo
Bob, Yul... mari masuk!" ajaknya kepada Bobby dan
Yuli.
Kini ketiganya sudah duduk di kursi teras. Pada
saat itu, Yuli langsung mengungkapkan isi hatinya,
"Kak Randy? Sekarang aku sudah tahu siapa Erna,
dia memang bukan wanita baik-baik. Dan aku
berharap, kau mau memaafkanku. Terus terang, aku
menyesal karena tidak mempercayai ucapanmu
tempo hari."
"Sudahlah Yul...! Aku bisa mengerti kok. Aku
memang tidak menganggapmu bersalah karena Erna-lah yang bersalah, saat itu dia telah memfitnahku
sehingga membuatmu bertindak demikian."
Saat itu Yuli begitu senang mendengar kata-kata
itu. Lantas dengan segera dia kembali berkata, "Kak...
aku berharap kita bisa melanjutkan hubungan kita
yang telah putus. Sebenarnya aku memang tidak bisa
melupakanmu, aku ingin sekali jika hubungan kita
kembali seperti semula."

58
"Benarkah? Oh, Yul... aku bahagia sekali
mendengarnya."
"Iya, Kak... selama ini aku begitu menderita, aku
selalu merindukanmu."
"Aku juga demikian, Yul."
Tiba-tiba Bobby bangkit dari tempat duduknya,
"Ran? Aku permisi dulu ya!"
Mengetahui itu, Randy segera berdiri. "Kenapa
buru-buru, Bob! Bukankah kau baru saja sampai. Aku
pun belum sempat membuatkanmu minum," tahan
pemuda itu kemudian.
"Sudahlah, Ran! Kau tidak perlu repot-repot. Lagi
pula, aku memang tidak bisa lama-lama, soalnya aku
ada sedikit keperluan yang mesti segera
kuselesaikan."
"Kalau begitu, terima kasih ya, Bob! Kau telah
mempersatukan kami lagi, dan kau memang benar-benar sahabatku yang paling baik."
"Sudahlah, Ran! Itu semua memang sudah
kehendak Tuhan. Lagi pula, kau kan sahabatku, dan
memang sudah sepantasnya aku berbuat demikian."

59
"Sekali lagi terima kasih, Bob!"
"Oke, Ran. Sampai bertemu lagi. O ya, Yul? Aku
pulang dulu ya!" pamit Bobby seraya melangkah
menuju mobil yang diparkir di depan rumah Randy.
Pada saat yang sama, Randy dan Yuli tampak
mengiringinya hingga ke depan pintu pekarangan.
Setelah melambaikan tangan pada keduanya, Bobby
segera melaju meninggalkan tempat itu. Sepeninggal
Bobby, Randy dan Yuli kembali duduk, kemudian
mereka bersama-sama mencurahkan segala
kerinduan yang selama ini terpendam.

Seminggu kemudian, di negeri nan jauh di sana,
matahari sudah condong ke barat. Saat itu, sepasang
muda-mudi tampak sedang berperahu di sebuah
danau yang indah sambil menikmati suasana yang
begitu romantis. Tak lama kemudian, yang pria terlihat
menggenggam tangan Sang Gadis sambil
memandang wajahnya yang cantik, kemudian

60
meremasnya perlahan sambil berkata, "Lisa... aku
mencintaimu, Sayang...."
"Aku juga mencintaimu, Piet." Balas Lisa seraya
memandang Pieter dengan sorot mata yang berbinar-binar, kemudian kedua matanya tampak terpejam.
Saat itu Pieter langsung mencium keningnya
dengan penuh kasih sayang. Kini mata Lisa sudah
kembali terbuka, saat itu dia tampak menatap Pieter
sambil tersenyum manis, kedua matanya yang bening
seakan tak mau perpaling-terus menatap mata
kekasihnya yang berwarna coklat, yang kini dilihatnya
seolah berbicara mengenai isi hatinya terdalam.
Kini Pieter tampak melepaskan genggamannya,
lalu dengan perlahan sekali tangannya menelusuri pipi
Lisa hingga ke bagian tengkuk, dan seketika itu juga
bibirnya mendarat di bibir Lisa yang merah alami.
Hangat bibir Lisa membuat tubuh pemuda itu seakan
melayang, melayang semakin tinggi bersama ribuan
bunga warna-warni yang terus mengelilinginya.
Perasaan yang sama juga dialami oleh Lisa, lalu tanpa
sadar tangannya sudah melingkar di pinggang Pieter.

61
Kemudian keduanya semakin larut dalam menikmati
candu asmara, yang perlahan namun pasti terus
menodai hati tanpa mereka sadari. Ketika Pieter
hendak bertindak lebih jauh, tiba-tiba... "Hentikan
Piet!" kata Lisa tersadar, kemudian gadis itu tampak
melepaskan pelukannya dan segera berpaling.
"Li-Lisa! Ada apa?" tanya Pieter tak mengerti.
"Maaf Piet...! Aku tidak bisa melakukan itu."
"Kenapa?"
"Karena kita belum menikah. Terus terang, aku
menyesal karena telah memberikan kesempatan yang
seharusnya tidak kulakukan. Selama ini aku telah
mengabaikan apa yang dilarang agamaku. Semula
kupikir aku bisa mengendalikan diri, tapi ternyata aku
sudah bertindak terlalu jauh. Selain itu... keadaan kita
sungguh jauh berbeda."
"Apakah karena aku orang Belanda dan kau
orang Indonesia."
"Bukan... bukan soal itu."
"Lalu... soal apa?"

62
"Kepercayaan kita yang berbeda, dan kita tidak
akan mungkin bisa menikah. Maaf Piet! Seharusnya
aku tidak boleh mencintaimu, tapi... entahlah... aku
juga tidak mengerti kenapa aku bisa mencintaimu."
"Kenapa? Kenapa hanya karena kepercayaan
kita berbeda, lantas kau tidak boleh mencintaiku, dan
kenapa kita tidak mungkin menikah?"
"Karena ajaran agamaku memang melarangnya.
Seorang wanita muslim tidak boleh menikah dengan
pria yang tidak seiman tanpa ada toleransi. Kalaupun
hal itu terjadi, itu sama saja dengan kumpul kebo.
Karena pernikahan itu dianggap tidaklah sah. Hmm...
bukahkah agamamu juga melarangnya?"
"Ya... setahuku memang begitu. Tapi..."
"Sudahlah, Piet ...! Bukankah kita orang yang
beragama, dan sebaiknya kita mematuhi apa yang
ada di agama kita masing-masing."
Sejenak Pieter terdiam. Sepertinya saat itu dia
tampak sedang memikirkan sesuatu. "Hmm...
bagaimana jika aku mengakui kepercayaanmu?"
tanyanya tiba-tiba.

63
Mendengar itu, Lisa kontan tersentak. Sungguh
dia tidak menduga kalau pemuda itu rela menukar
kepercayaannya hanya demi cinta. " Piet... kau tidak
bisa seperti itu. Sebaiknya kau pikirkan dulu masak-masak, karena hal ini bukanlah perkara main-main.
Sekali lagi aku sarankan, sebaiknya kau pikirkan dulu
masak-masak itu, dan kalau kau sudah benar-benar
yakin barulah kau bisa mengambil putusan."
"Baiklah Lis... aku akan mengikuti saranmu itu.
Terus terang, bagiku ini memang masalah yang
sangat menyulitkan. Namun demi cintaku padamu,
aku akan berusaha mencari tahu mengenai agamamu
di pusat pengembangan agama Islam. Semoga
dengan begitu aku bisa mendapat petunjuk, apakah
aku layak menukar keyakinanku atau tidak."
" Piet... Apakah kau sungguh-sungguh dengan
perkataanmu itu?"
"Tentu saja, Lis. Sebab, hanya dengan cara itu
aku bisa mendapatkan petunjuk. Lagi pula, andaipun
aku tidak bisa berpindah keyakinan, aku akan tetap

64
selalu mencintaimu. Eng, bukankah cinta itu tidak
berarti harus memiliki."
"Oh, Piet... Aku sangat mencintaimu. Aku
sependapat kalau cinta memang tidak harus memiliki,
namun kepedulian atas nama cinta itulah yang
terpenting. "
"Aku juga, Lis. Aku sangat mencintaimu. Sebab,
kau bukanlah gadis yang memanfaatkan cinta demi
untuk menukar keyakinan seseorang. Cintamu
padaku adalah cinta yang tulus, yang mana telah
begitu mempedulikan keyakinanku."
"O ya, Piet... Ngomong-ngomong, bagaimana
kalau sekarang kita pulang? Lihatlah...! Hari sudah
semakin sore."
"Kau benar, sebaiknya kita memang harus
pulang," kata Pieter seraya mendayung perahu yang
mereka tumpangi menuju ke tepian.
Tampaknya kini hubungan Pieter dan Lisa sudah
semakin erat, walaupun pada mulanya Lisa begitu
mencintai Randy. Semua itu dikarenakan selama ini
Pieter sangat baik dan begitu perhatian padanya,

65
selama ini pula mereka sering bertemu dan membuat
benih-benih cinta terus tumbuh di hati keduanya,
hingga akhirnya cinta mereka semakin besar dan
tinggal menunggu untuk berbuah.
Kini Pieter dan Lisa sudah tiba di tepi danau, lalu
dengan berhati-hati Pieter membantu Lisa turun dari
atas perahu, kemudian melangkah pulang sambil
bergandengan tangan. Saat itu di batas cakrawala
terlihat lembayung dengan warna jingga dan kuning
keemasan, sungguh perpaduan warna yang begitu
indah.

Keesokan harinya, di negeri yang sangat jauh
dari tempat kediaman Lisa. Bobby tampak sedang
memacu sedan birunya melewati sebuah jalan yang
sepi. Ketika melewati sebuah jembatan yang agak
rusak, tiba-tiba dia di hadang oleh pemuda yang
berperawakan agak kurus. Pemuda itu ternyata si

66
Johan. Entah apa mau dia sebenarnya, yang jelas kini
mereka sedang bercakap-cakap.
"Han, apa maksud ucapanmu itu?" tanya Bobby
dengan wajah geram.
"Huh! Bagaimanapun juga tindakanmu itu telah
meremehkan aku, Bob," kata Johan seraya
mengeluarkan sebilah pisau dari balik bajunya.
"Han! A-apa-apaan ini? A-aku..."
Belum sempat Bobby menyelesaikan kalimatnya,
Johan sudah memotong. "Sudahlah, Bob! Kau tidak
perlu mungkir. Kau sudah menantang aku, kan?
Soalnya kata Erna, kau bilang aku ini tidak ada apa-apanya. Karenanyalah, aku ingin memberi pelajaran
padamu agar kau tidak asal sembarangan bicara."
Setelah berkata begitu, Johan tampak
menghunuskan pisaunya ke arah Bobby dan bersiap-siap menyerangnya.
"Tunggu dulu, Han! Terus terang, aku tidak
pernah bicara seperti itu. Rupanya Erna telah
memanas-manasimu dengan cara memfitnahku
seperti itu."

67
"Sudahlah, Bob! Jangan banyak bicara!
Pokoknya sekarang aku akan menghabisimu."
"Baiklah, kalau itu memang sudah menjadi
keputusanmu. Hmm... kau pikir aku takut dengan
sebilah pisau seperti itu," kata Bobby seraya
memasang kuda-kudanya.
Mendengar itu, Johan semakin bertambah
geram. Lalu dengan serta-merta, dia segera
menikamkan pisaunya ke arah Bobby. Mengetahui itu,
Bobby segera berkelit menghindar, kemudian dengan
sigap pemuda itu berhasil menangkap lengan Johan
dan langsung memitingnya dengan sekuat tenaga.
Kini Bobby sedang berusaha keras menjatuhkan pisau
yang bisa mengancam jiwanya. Setelah berhasil, dia
pun langsung membanting Johan hingga terjerembab
ke aspal. Tak ayal, saat itu juga Johan langsung
meringis kesakitan-tubuhnya yang terbentur dengan
aspal dirasakan sakit semua.
Kini pemuda yang bernama Johan itu berusaha
bangkit kembali, saat itu kemarahannya sudah
semakin meluap-luap. Mengetahui itu, Bobby pun

68
tidak tinggal diam, lalu dengan segera dia
menghampiri Johan dan mencengkram kerah bajunya
dengan sangat kasar. "Jangan sekali-kali kau
menikamkan pisau ke arahku, Han!" katanya seraya
menghajar wajah Johan dengan begitu keras.
Tak ayal, pukulan yang begitu keras itu membuat
Johan kembali meringis, dan di saat itu pula, darah
segar tampak keluar dari sela bibirnya. Sungguh
pukulan itu telah membuatnya tak berdaya untuk
bangkit kembali. Melihat lawannya sudah tak berdaya,
akhirnya Bobby segera beranjak menaiki mobilnya,
kemudian terus berlalu meninggalkan Johan yang
sedang kesakitan. Sementara itu, Johan tampak
berusaha bangkit dengan sekuat tenaga. Pada saat
itu, kedua matanya terus menatap kepergian Bobby
dengan pancaran dendam yang berkobar-kobar.
"Awas kau, Bob! Lihat pembalasanku nanti,"
ancamnya seraya mengelap darah yang tadi mengalir
di sela bibirnya. Kemudian dengan tertatih-tatih,
pemuda itu segera menaiki sepeda motornya dan
terus berlalu meninggalkan tempat itu. Dedaunan

69
kering terlihat berterbangan diterpa berhembus
kencang laju sepeda motornya, sementara itu sinar
mentari yang akan kembali ke peraduan tampak
membias menciptakan sebuah siluet pengendara
sepeda motor yang terus menjauh.

Seminggu kemudian, di sore yang cerah. Johan
dan teman-temannya terlihat sedang berbincang-bincang di depan warung dekat perempatan jalan.
Pada saat itu, siswa-siswi berseragam abu-abu
terlihat melintas sambil bercanda ria, rupanya anak-anak SMU 2013 baru saja bubar sekolah.
"Nah... itu dia si Nina," kata seorang yang duduk
di sebelah Johan.
"Kau yakin, Jek?" tanyanya seraya
memperhatikan gadis yang dimaksud.
"Tidak salah lagi, Han. Itu memang dia," ucap
temannya meyakinkan.

70
"Ok deh, Jek. Kalau begitu, aku pergi dulu," pamit
Johan seraya bergegas mengendarai sepeda
motornya dan menghampiri Nina yang sedang
berjalan seorang diri.
"Hai, Nin!" Sapa Johan seraya menghentikan laju
sepeda motornya.
"Mmm.. Siapa ya?" tanya Nina heran.
"Kenalkan, namaku Parhan," ucap Johan
memperkenalkan diri dengan nama samaran. "O ya,
Nin. Hari ini Bobby tidak bisa menjemputmu, soalnya
dia sibuk sekali," sambungnya kemudian.
"O... jadi kau temannya Bobby, dan dia
memintamu untuk menjemputku?" tanya gadis itu
tanpa curiga.
"Betul, Nin. Mari, aku antar kau pulang!"
Tanpa ragu-ragu, Nina pun ikut membonceng.
Kini motor besar dua silinder menderu meninggalkan
tempat itu. Lima menit kemudian, Bobby yang hendak
menjemput kekasihnya tiba di tempat tujuan, dan dia
tampak heran ketika mengetahui Nina sudah tak ada.
Ketika Bobby tengah berpikir, tiba-tiba dari arah

71
warung terlihat seorang gadis yang datang
menghampiri.
"Kak? Nina baru saja di jemput," kata gadis yang
ternyata temannya Nina.
"A-apa! Di-dijemput...? Sama siapa, Ver?" tanya
Bobby heran.
"Tidak tahu, Kak. Aku juga baru melihatnya. Yang
jelas, dia itu seorang pemuda tampan."
"Hmm... Siapa ya?" tanya Bobby dalam hati. "Oke
deh, Ver. Kalau begitu aku pergi sekarang."
Vera tampak mengangguk sambil tersenyum
tipis. Tak lama kemudian, Bobby sudah memacu
mobilnya meninggalkan tempat itu. Suara mesin yang
menderu seketika menutup ocehan para siswa-siswi
yang masih saja melintas. Sementara itu Johan dan
Nina masih dalam perjalanan, tampaknya saat ini
mereka sudah mulai akrab. "Eh, Nin? Bagaimana
kalau kita minum dulu di warung itu !" Ajak Johan
kepada Nina.
"Boleh... tapi jangan lama-lama ya!"

72
Johan pun segera memarkir sepeda motornya
dan melangkah bersama memasuki warung.
"Kau mau minum apa, Nin?" tanya Johan.
"Apa saja deh," jawab Nina.
"OK! Kalau begitu, cola-nya dua botol, Bu !"
Pesan Johan.
Kini mereka tampak menikmati cola sambil
bercakap-cakap dengan penuh keakraban. Setelah
agak lama bercakap-cakap, tiba-tiba Nina berdiri dari
duduknya. "Han, aku kebelet pipis nih," katanya
sungguh-sungguh.
"Pucuk dicinta ulam pun tiba," ucap Johan dalam
hati. Lalu dengan segera pemuda itu memberitahukan
perihal toilet yang ada di belakang warung.
Mengetahui itu, Nina pun segera pergi ke
belakang. Pada saat sama, Johan lekas-lekas
memasukkan sesuatu ke dalam minuman Nina yang
kini tinggal setengah. Tak kemudian, Nina sudah
kembali dan langsung berbincang-bincang sambil
menikmati minumannya lagi.

73
Setelah menghabiskan minumannya masing-masing, keduanya kembali melanjutkan perjalanan. Di
tengah perjalanan, tiba-tiba Nina merasakan sesuatu.
"Han! Rasanya kepalaku agak pening, dan mataku
pun mulai berkunang-kunang," katanya seraya
menyandarkan kepalanya di punggung Johan.
"Ka-kau sakit, Nin?" tanya Johan pura-pura
khawatir.
"Benar, Han. Sepertinya memang begitu," jawab
Nina pelan.
"Hmm... Kalau begitu, bagaimana kalau kita ke
tempat kost-ku dulu! Kebetulan tempat itu sudah tidak
begitu jauh. Di sana aku ada obat sakit kepala, selain
itu kau pun bisa istirahat sebentar," saran Johan.
"Kau baik sekali, Han! Rasanya aku memang
tidak kuat lagi nih," rintih Nina.
Lalu tanpa curiga, Nina pun menerima tawaran
itu. Setibanya di tempat kost, Nina segera dibopong
dan dibaringkan di atas tempat tidur.
"Han! Mataku semakin kabur. A-aku..." tiba-tiba
Nina tidak sadarkan diri. Mengetahui itu, Johan pun

74
sangat senang bukan kepalang. Matanya tak berkedip
memperhatikan setiap lekuk tubuh Nina yang
menggugah selera, kemudian dengan segera pemuda
itu melaksanakan niat bejadnya-merenggut kesucian
gadis yang masih belia itu.

Semenjak kejadian itu, Nina merasa sudah tidak
berharga lagi. Apa lagi bila Bobby mengetahuinya,
terbayang sudah bagaimana pemuda itu akan sangat
kecewa dan memutuskannya. Itulah segala prasangka
yang ada di benaknya saat itu. Sehingga Nina terus
membayangkan berbagai hal yang tidak
mengenakkan mengenai apa yang akan terjadi
kemudian, bahkan segala penderitaan yang akan
dialaminya telah terbayang sudah. Karena Nina terus
membayangkan hal-hal yang seperti itu, akhirnya
setan pun menghampiri dengan segala bisikannya
yang menyesatkan, dan akibatnya Nina pun terpedaya
dengan bisikan itu. Kemudian dengan sebilah silet,

75
gadis itu berniat membunuh dirinya sendiri. Saat itu
Nina memang sudah tidak bisa mencari jalan keluar
untuk memecahkan masalahnya, ditambah lagi dia
sudah tidak kuat menahan beban penderitaannya.
Karena itulah, akhirnya dia nekad untuk mengakhiri
segala penderitaannya. "Bobby... maafkan aku yang
telah mengecewakanmu," ucap Nina dalam hati
seraya menorehkan silet ke urat nadinya. Tak ayal,
saat itu juga darahnya langsung mengalir membasahi
lantai, dan tak lama kemudian gadis itu sudah
menemui ajalnya.
Begitulah jika hati sudah tak mampu lagi
membedakan mana yang baik dan yang buruk, dan itu
lantaran dia telah menodainya dengan melakukan
pacaran yang menyimpang, yaitu seringnya
melakukan pelukan dan ciuman. Andai saja hatinya
tidak kotor, tentu dia akan mudah bisa membedakan,
dan dia tidak akan begitu saja termakan godaan
setan. Bukankah bunuh diri itu dosa besar, dan di
kehidupan nanti alat yang digunakannya itulah yang
akan dipakai untuk membunuh dirinya secara terus-

76
menerus. Andai saja hatinya bening, tentu dia tidak
akan menjadi sebodoh itu. Karena sesungguhnya
Tuhan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Biarpun
dia telah ternoda, tidak mustahil Bobby tetap
mencintainya, atau justru malah semakin sayang
padanya.

Tiga

Pada suatu malam, rembulan tampak bersinar
menyinari malam yang kelam. Di sebuah
beranda, Bobby tampak duduk sendiri. Jarinya yang
sempurna tampak lincah memainkan alunan nada
sedih yang semakin membuatnya terlena, terbayang
akan kenangan masa lalu yang begitu indah, dan
sekaligus membawanya pada kesedihan yang begitu
mendalam. �Nin... kenapa kau begitu cepat
meninggalkanku?" tanya Bobby kepada sang Pujaan
hati yang telah pergi untuk selama-lamanya.
Mendadak petikan gitar pemuda itu terhenti,
bersamaan dengan tatapan kosong yang memandang
ke gelapnya malam. Saat itu keheningan terasa begitu
hampa, membelai jiwa yang lara. "Kenapa? Kenapa
Nin...?" tanya pemuda itu lagi.
Saat itu semilir angin sepoi-sepoi tampak
membelai rambutnya yang panjang, bersamaan

78
dengan itu udara dingin pun terasa kian menusuk.
Tiba-tiba pemuda itu terpejam, bersamaan dengan itu
dari kedua matanya tampak mengalir air mata
kesedihan. Lalu sambil berlinang air mata, pemuda itu
kembali memetik gitarnya. Kini alunan nada sedih
kembali terdengar dengan begitu menyayat hati.
Sementara itu di tempat lain, Randy terlihat
sedang duduk berdua dengan kekasihnya. Saat itu
mereka terlihat mesra. "Yul! Aku mencintaimu," ucap
Randy seraya menggenggam tangan kekasihnya.
"Aku juga, Kak," balas Yuli seraya tersenyum
manis.
"Jangan pernah kau tinggal aku lagi, Yul!"
"Tidak akan, Kak. Aku senantiasa akan selalu
bersamamu."
Kini Randy memandang mata kekasihnya,
pancaran cahaya cinta tampak membias ke dalam
hati sang Pujaan. Seiring dengan getaran di jiwanya,
Yuli pun tampak terpejam. Lalu dengan serta-merta
Randy mencium kening kekasihnya itu dengan mesra.

79
"Aku ingin seperti ini selamanya, Yul," ucapnya
berbisik.
"Aku pun demikian, Ran," balas Yuli.
Keduanya lantas berpelukan-mengungkapkan
segala gelora di jiwa masing-masing, saling menodai
hati dan memancing murka Tuhan. Saat itu angin
malam yang dingin menerpa keduanya, dan rasa
dingin itu dirasakan seperti menyeruak hingga ke
bawah kulit. Kini Yuli bersandar di dada kekasihnya,
bersamaan dengan itu Randy tampak membelai
rambutnya dengan mesra.
"Randy cintaku," ucap Yuli manja.
"Apa manisku?" tanya Randy lembut.
"Aku sayang padamu," ucap Yuli seraya
menggenggam tangan kekasihnya.
Lagi-lagi Randy mencium kening kekasihnya.
"Aku juga menyayangimu, Yul," katanya berbisik.
Keduanya terus berkasih-sayang hingga malam
menjemput pagi.

80
Esok harinya, Bobby sudah berniat untuk pergi ke
rumah Pamannya yang berada di desa terpencil. Di
sana dia ingin mencari kegiatan yang sekiranya bisa
mengalihkan segala ingatannya tentang Nina, yaitu
dengan memperdalam ilmu agamanya. Begitulah jika
hidayah Allah telah datang, menolong seorang anak,
buah hati dari seorang ibu yang bertakwa, yang
senantiasa mendoakan keselamatan anaknya.
"Itu memang yang terbaik, Nak," kata Ibunya
memberi dukungan.
"Tapi, Bu. Bobby merasa tidak enak jika harus
meninggalkan Ibu sendirian."
"Tidak apa-apa, Sayang... di sini kan ada Bik Ijah
yang selalu menemani Ibu."
"Bu? Sekarang Bobby benar-benar sudah
merasa lega untuk meninggalkan rumah. Besok,
Bobby akan berangkat menuju ke rumah Paman."
"Iya Sayang... Ibu akan selalu mendoakanmu."
"Terima kasih, Bu!"

81
Setelah berbicaranya dengan Ibunya, Bobby
segera berangkat untuk menemui Randy. Setibanya di
sana dia langsung menemui pemuda itu dan
menceritakan maksud kepergiannya, hingga akhirnya,
"Begitulah, Ran," kata Bobby mengakhiri ceritanya.
"Wah, Bob. Aku senang sekali mendengarnya.
Aku pikir kau akan terus larut dalam kesedihan."
"Tidak, Ran. Aku tidak mau seperti itu. Biar
bagaimanapun, aku harus tetap menjalani kehidupan
ini dengan hal-hal yang bermanfaat."
"Benar, Bob. Dengan demikian kau bisa lebih
berguna untuk agama, nusa, dan bangsa."
"Ran? Terus terang saja, sebenarnya di pikiranku
terlintas juga hal-hal yang sekiranya bisa membawaku
kepada hal-hal yang merugikan. Aku pernah berniat
untuk bunuh diri, maupun lari kepada obat-obatan
terlarang. Untunglah Allah masih menyayangiku,
sehingga aku mempunyai keinginan untuk
memperdalam ilmu agamaku di sana. Dan aku
percaya, kalau semua itu adalah buah dari doa ibuku
tercinta."

82
"Tuhan memang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang, Bob. Dan Dia tentu akan mengabulkan
doa seorang ibu yang bertakwa. Aku doakan juga
semoga kau bisa cepat dicarikan penggantinya, dan
semoga kau bisa sukses memperdalam ilmu
agamamu di sana"
"Terima kasih, Ran! Aku juga mendoakanmu-
semoga kau tetap langgeng bersama Yuli."
"Terima kasih, Bob!"
Tak lama kemudian, Bobby pamit kepada
sahabatnya. Kemudian pemuda itu terlihat
mengendarai mobilnya dan segera melaju ke Toserba
untuk membeli segala keperluannya. Saat itu Randy
tampak memandang kepergian sahabatnya dengan
suka-cita, dalam hati dia terus berdoa-semoga
Tuhan selalu melindungi dan menjadikannya tabah
dalam menjalani kehidupan ini.

83
Esok paginya, Bobby berangkat menuju ke
terminal bis Kampung Rambutan. Lalu dengan sebuah
bis cepat pemuda itu melaju bersama cinta-cintanya.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup
melelahkan, akhirnya pemuda itu tiba di tempat
tujuan. Saat itu hari sudah mulai menjelang siang,
bahkan matahari yang bersinar cerah kian terasa
menyengat kulit. Setelah menggendong tas dan
mengikatkan slayer di kepalanya, pemuda itu tampak
mulai melangkah. Kini pemuda itu sedang menyusuri
jalan setapak yang sepi, yang di kanan-kirinya tampak
berjajar pepohonan lebat. Sementara itu, di kejauhan
sayup-sayup terdengar suara tonggeret yang terus
mengiringi perjalanannya.
Bobby terus melangkah, bahkan dengan penuh
semangat dia mulai mendaki bukit yang terjal.
Sayangnya ketika baru menempuh separuh jalan,
pemuda sudah mendapat ujian, saat itu dia merasa
kerongkongannya kian bertambah kering. Padahal,
saat itu air minumnya sudah habis tak tersisa. Sejenak
dia beristirahat sambil mengelap peluh yang

84
bercucuran, sedangkan rasa haus yang dirasakannya
terus saja menyiksa. Saat itu Bobby berusaha untuk
tabah dan berusaha menyadari kalau semua itu
adalah ujian yang harus dihadapinya, hingga akhirnya
dia bersemangat kembali dan segera melanjutkan
perjalanan.
Bobby terus melangkah naik, hingga akhirnya dia
mendengar suara gemercik air yang sayup-sayup
terdengar di kejauhan. "Su-suara itu..." kata pemuda
itu seraya buru-buru melangkah ke asal suara. Dan
tak lama kemudian, "A-air!" serunya gembira ketika
melihat sebuah pancuran bambu yang terus-menerus
mengucurkan air.
Lalu tanpa buang waktu, pemuda itu segera
menghampiri dan menadahkan kedua tangannya.
Saat itu juga, air yang begitu jernih tampak mengucur
hingga memenuhi kedua telapak tangannya,
kemudian segera diminumnya air itu hingga tak
tersisa-sungguh terasa begitu sejuk dan
menyegarkan. Setelah puas melepas dahaga, Bobby
pun segera membasuh wajahnya. Bersamaan dengan

85
itu, peluh pun sirna berganti dengan kesegaran yang
meresap ke pori-pori. Setelah itu, dia segera mengisi
tempat minumnya hingga penuh, dan tak lama
kemudian dia sudah kembali melanjutkan perjalanan.
Setelah lama berjalan, akhirnya Bobby tiba di
gerbang desa yang ditandai dengan sebuah jembatan
gantung, yang di bawahnya terdapat aliran sungai
yang cukup deras. Kini pemuda itu sudah
menyebrangi jembatan dan sedang melangkah
menyusuri tepian sungai. Ketika tiba di sebuah air
terjun kecil, tiba-tiba pemuda itu menghentikan
langkahnya. Saat itu di kejauhan, dia melihat seorang
gadis yang baru saja turun dari atas kuda. Kini gadis
itu tengah duduk di tepian sungai, kedua matanya
yang bening tampak menatap ke riak gelombang yang
mengalir deras. Wajah gadis itu tampak begitu manis,
rambutnya yang ikal mayang terlihat begitu indah-
hitam bercahaya. Sungguh hal itu telah membuat
Bobby jadi penasaran dan membuatnya ingin sekali
berkenalan. Namun tiba-tiba Bobby mengurungkan
niatnya, sebab saat itu dia menyadari kalau bukan itu

86
tujuannya datang ke desa itu. Sejenak dia
memperhatikan gadis tadi, kemudian dengan segera
dia melangkah melanjutkan perjalanannya.
Sementara itu di tepian sungai, si Gadis masih
duduk terpaku. Matanya yang sayu terlihat berkaca-kaca, sedangkan pikirannya tampak diselimuti awan
mendung yang semakin membawanya menerawang
jauh ke awang-awang. Pada saat itu, rumpun bambu
yang tumbuh tampak memayunginya dari terik
mentari. Sesekali, semilir angin menerpa rambutnya
yang panjang. Kini gadis itu tampak menggigit bibirnya
yang tipis, bersamaan dengan itu air matanya tampak
menetes membasahi pipi. Rupanya saat itu dia
sedang dilanda kesedihan, meratapi sang Kekasih
yang telah pergi untuk selama-lamanya. "Wahai
pujaan hatiku, belahan jiwaku... sepertinya aku tidak
bisa hidup tanpa dirimu, haruskah aku menyusulmu
ke alam sana," ratap gadis itu sambil terus terisak, lalu
dari kedua matanya tampak meluncur sebulir air mata
yang terus mengalir hingga ke celah bibirnya.

87
Gadis itu terus larut dalam duka, meratapi
nasibnya yang malang sambil terus memejamkan
mata dan menggigit bibirnya perlahan. Pada saat yang
sama, Bobby masih dalam perjalanan. Kini pemuda itu
sedang menyusuri jalan setapak dengan
pemandangan lembah yang terbentang di sebelah
kirinya, sungguh sebuah pemandangan yang bagi
Bobby tampak begitu indah. Mendadak pemuda itu
menghentikan langkahnya, kemudian dengan segera
dia duduk di atas sebuah batu besar yang ada di bibir
jurang. Saat itu kedua matanya tampak menatap
takjub ke arah lembah, mengagumi alam ciptaan
Tuhan yang tiada duanya.
Hampir setengah jam Bobby berada di tempat itu,
melepas letih sambil menikmati keindahan alam dan
juga menikmati bekal yang dibawanya. Ketika pemuda
itu hendak melanjutkan perjalanan, tiba-tiba dia
mendengar suara derap kuda di kejauhan. Saat itu,
dilihatnya seorang gadis dengan rambut tergerai
tampak memacu kudanya, berkecepatan tinggi-
menyusuri jalan yang terus mendaki.

88
Bobby terus memperhatikan laju kuda yang terus
berlari kencang ke arahnya, bahkan kedua matanya
hampir tak berkedip-menatap paras cantik yang
sudah kian mendekat. Si Gadis terus memacu
kudanya dengan kecepatan yang kian meninggi.
Namun sungguh sangat disayangkan, di depannya
tiba-tiba melintas seekor ular yang cukup besar,
membuat kudanya seketika terhenti, dengan kedua
kaki yang terangkat tinggi. Tak ayal, saat itu juga si
Gadis yang menungganginya langsung terlempar ke
belakang dan menghantam sebuah batu yang cukup
besar.
Melihat itu, mata Bobby langsung terbelalak,
kemudian dengan segera dia berlari menghampirinya.
Kini dia sudah berada di sisi gadis yang sedang
tergeletak tak berdaya, saat itu darah tampak mengalir
membasahi wajahnya yang cantik. Bersamaan
dengan itu, terdengar pula erangan kesakitan dari
bibirnya yang tipis. Mengetahui itu, Bobby segera
mengeluarkan sapu tangannya dan membersihkan
darah yang terus mengalir. Untuk sementara Bobby

89
membiarkan sapu tangannya menutupi luka si gadis,
lalu dengan agak tergesa-gesa dia mulai mencari
beberapa lembar daun putri malu dan langsung
mengunyahnya hingga halus. Setelah itu dia segera
memborehkannya di atas luka si gadis, hingga
akhirnya darah pun mulai berhenti mengalir. Kini
Bobby tengah membersihkan sisa darah dari dahi si
gadis yang tampak putih mulus, sesekali matanya
tergoda untuk terus memperhatikan paras cantik yang
masih saja meringis.
"Bagaimana, apa masih ada yang sakit?" tanya
Bobby lembut.
Si Gadis tidak menjawab, saat itu dia masih saja
merintih sambil meraba kakinya yang putih mulus.
Melihat itu, Bobby pun segera memeriksanya. Dengan
perlahan sekali pemuda itu mulai meraba dan
menekan-nekan kaki si gadis yang diduga mengalami
cidera. Benar saja, ketika dia menekan bagian
tertentu, mendadak si Gadis berteriak histeris. Saat itu
Bobby sempat kaget dibuatnya, namun begitu dia
mencoba untuk tenang kembali. Akhirnya Bobby bisa

90
menyimpulkan, kalau kaki si Gadis mengalami
keretakan tulang. Lalu dengan segera dia mencari dua
batang kayu dan digunakannya untuk menyopak kaki
si Gadis, yang saat itu diikatnya dengan
menggunakan slayer.
Kini rintihan si Gadis sudah mulai mereda, saat
itu dia tampak menatap Bobby sambil berusaha
tersenyum manis. "Terima kasih, Kak!" ucapnya lirih.
"Siapa namamu?" tanya Bobby seraya menatap
mata gadis itu dalam-dalam.
"Na-namaku..." Gadis itu tidak melanjutkan kata-katanya, dia tampak berpaling dengan hati sedikit
bergetar. "Kenapa kau menatapku seperti itu, Kak?"
tanyanya dalam hati, kemudian si Gadis kembali
menatap Bobby yang kini dilihatnya tengah tersenyum.
"Na-namaku Dewi..." jawabnya pelan. "Ka-kalau
kau?" sambungnya kemudian.
"Aku Bobby, aku datang dari Jakarta. O ya,
ngomong-ngomong... di mana rumahmu?"
"Di-di sana, Kak... di atas bukit itu," jelas Dewi
seraya menunjuk ke arah bukit yang tak begitu jauh.

91
"Eng... Kalau begitu, aku akan mengantarkanmu
ke sana," kata Bobby seraya bersiap-siap untuk
membopongnya.
"Terima kasih, Kak," ucap Dewi seraya
tersenyum tipis.
Ketika Bobby akan membopongnya, tiba-tiba
"Ach..." Seketika Dewi menjerit, merasakan sakit pada
di kakinya yang cidera.
"Kau tidak apa-apa, Wi?" tanya Bobby khawatir.
"Ti-tidak apa-apa, Kak. Cuma sakit sedikit,"
jawab Dewi.
Mendengar itu, Bobby pun merasa lega, lalu
dengan perlahan pemuda itu mencoba kembali
membopong Dewi. �Sakit?� tanya Bobby memastikan.
Saat itu Dewi menggeleng dan berusaha
tersenyum. Mengetahui itu, Bobby pun merasa lega
dan langsung membawanya menuju kuda yang sejak
tadi terus merumput di pinggir jalan, kemudian dengan
hati-hati sekali dia mendudukkan Dewi di atas pelana.
Setelah itu, dia pun segera naik ke pelana dan

92
mengendalikan kuda itu melintasi jalan yang menuju
ke rumah Dewi.
Setibanya di pekarangan rumah Dewi, Bobby
langsung turun dan membopong gadis itu menuju
teras. Pada saat yang sama, orang tua Dewi yang
sedang bercakap-cakap di teras tampak terkejut,
lantas keduanya segera berlari menghampiri.
"Dewi...!� teriak sang Ibu khawatir. �A-apa yang
telah terjadi, Nak?" tanyanya kemudian.
"A-apa yang telah terjadi dengan Putriku, Nak?"
tanya Sang ayah juga merasa khawatir seraya
memperhatikan keadaan putrinya.
"Begini Pak, Bu... Dewi jatuh dari atas kuda,"
jelas Bobby terus terang.
"Kalau begitu, ayo cepat bawa Dewi ke kamar!"
pinta sang Ibu cemas.
Bobby pun segera membopong Dewi ke kamar
dan membaringkannya di tempat tidur.
"Pak, cepat panggilkan dokter!" pinta sang Ibu
kepada suaminya.

93
Lalu tanpa buang waktu, sang suami pun segera
berangkat menuju rumah Pak Dokter. Pada saat yang
sama, Bobby segera pamit untuk melanjutkan
perjalanannya.
"Terima kasih ya, Nak!" ucap Ibu Dewi senang.
"Sama-sama, Bu!" balas Bobby, "Wi, cepat
sembuh ya!" ucapnya kepada gadis yang kini sedang
terbaring di tempat tidurnya.
Saat itu, di bibir pemuda itu tampak tersungging
sebuah senyuman manis. Melihat itu, Dewi pun
segera membalasnya dengan senyuman yang tak
kalah manis. Kini gadis itu sedang memperhatikan
Bobby yang kini sudah melangkah bersama ibunya
menuju teras.
"Nah, Nak Bobby. Rumah pamanmu sudah tak
jauh dari tikungan itu," kata Ibu Dewi seraya
mengarahkan jari telunjuknya ke tempat yang
dimaksud.
Bobby pun segera mengarahkan pandangannya
ke tempat itu, "O, jadi setelah tikungan itu ya. Kalau
begitu, aku pamit sekarang, Bu. O ya, terima kasih

94
atas petunjuknya," ucap Bobby ramah seraya
bergegas ke tempat yang dimaksud.
Tak lama kemudian, �Hmm... Tidak salah lagi, itu
pasti rumahnya,� gumam Bobby seraya
memperhatikan pekarangan yang dipenuhi dengan
tumbuhan apotik hidup.
Kini pemuda itu sudah berdiri di pekarangan
seraya memperhatikan seorang pria tua yang kini
sedang duduk santai di teras, membaca sebuah buku
sambil menghisap pipa tembakau. Pria tua itu duduk
di atas kursi goyangnya yang terus bergoyang dengan
perlahan.
"Assalam... Paman!" seru Bobby tiba-tiba seraya
bergegas menghampiri pria tua itu dan mencium
tangannya.
"Wa-wa�alaikum... si-siapa, ya?" tanya pria tua itu
pangling.
"Ini aku, Paman. Bobby..."
"Bo-Bobby! Hahaha...! Paman benar-benar
sudah tidak mengenalimu. Sungguh Paman tidak

95
menyangka kalau sudah sebesar ini," kata sang
Paman seraya memeluk keponakannya itu.
"Bu! Ke sini Bu! Lihat nih siapa yang datang!"
teriak sang Paman memanggil istrinya.
Tak lama kemudian, istri sang Paman sudah
keluar, dan dia benar-benar terkejut ketika melihat
siapa yang datang. "Bo-Bobby! Kau Bobby kan?"
ucapnya seakan tak percaya.
Pada saat itu Bobby langsung mencium tangan
bibinya, kemudian melangkah bersama menuju ruang
tamu. Sang Paman pun tak mau ketinggalan, dengan
segera dia mengikuti dan duduk di sebelah
keponakannya.
Sang Bibi yang masih berdiri kembali membuka
suara, "Bob, kau berbincang-bincang saja dengan
pamanmu. Bibi mau buatkan minum dulu," ucapnya
seraya melangkah pergi.
"Terima kasih, Bi!" ucap Bobby.
"O ya, Bob. Bagaimana keadaan Ibumu di
Jakarta?" tanya pamannya tiba-tiba.
"Beliau sehat-sehat saja, Paman," jawab Bobby.

96
Sang Paman terus bertanya tentang keadaan
keluarga Bobby di Jakarta, dan tak lama kemudian
sang Bibi sudah kembali dengan membawa minuman
dan makanan, hingga akhirnya mereka pun
berbincang-bincang bersama di ruang tamu sambil
menikmati singkong goreng dan teh yang disediakan
oleh sang Bibi.
Sementara itu di rumah Dewi, seorang dokter
terlihat tengah memeriksa keadaan Dewi, dia tampak
mengamati kaki Dewi yang cidera. Ayah Dewi yang
bernama Pak Saman terlihat duduk di tepi tempat
tidur sambil memperhatikan putrinya dengan penuh
khawatir.
"Untunglah cideranya tidak terlalu parah, mungkin
dalam waktu dua minggu anak Bapak sudah bisa
berjalan kembali," jelas Pak Dokter kepada Pak
Saman.
"Syukurlah kalau begitu," ucap Pak Saman lega.
"O ya, Pak. Kalau begitu, sebaiknya saya pamit
sekarang saja. Dan ini ada beberapa obat yang harus

97
diminum oleh putri Bapak," kata Pak Dokter seraya
memberikan obat yang dimaksud.
Setelah mengantar Pak Dokter sampai ke muka
rumah, Pak Saman pun segera kembali menemui
Dewi di kamarnya. Sementara itu di tempat lain,
Bobby bersama paman dan bibinya masih terlihat
berbincang-bincang.
"O... jadi kau ingin belajar agama di sini?" tanya
Sang Paman mengerti.
"Benar Paman! Aku ingin memperdalam ilmu
agamaku," jelas Bobby sungguh-sungguh.
"Kalau begitu, besok Paman akan
mengenalkanmu dengan pimpinan pondok pesantren
di desa ini, mudah-mudahan beliau mau menerimamu
sebagai santri lepas," janji sang Paman.
"Terima kasih, Paman!" ucap Bobby.
Mereka terus berbincang-bincang hingga tak
terasa azan magrib pun mulai berkumandang, dan
suara itu berasal dari surau yang tak begitu jauh.
Mendengar itu, sang Paman pun segera mengajak
Bobby untuk menunaikan sholat magrib di surau

98
tersebut. Kini keduanya sedang menyusuri jalan
setapak yang menuju ke surau, saat itu lembayung
yang kemerahan tampak indah menghiasi bukit kecil
di seberang desa.

Empat

Tak terasa waktu begitu cepat berlalu, sampai-sampai sudah genap 100 hari Bobby menuntut
ilmu di desa Pamannya. Kini pemuda itu sudah bisa
menerima kepergian Nina, dan dengan perasaan
lapang dia sudah bisa sedikit melupakannya. Semua
itu bisa dia lakukan berkat ilmu agama yang
dipelajarinya, yang mana selama ini telah membuka
pintu hatinya untuk selalu menerima segala bentuk
kebenaran. Juga berkat kebaikan dan ketulusan
Dewi-gadis yang pernah ditolongnya dulu.
Maklumlah, selama ini gadis itu sering memberinya
perhatian dan selalu membantunya dalam membuka
tabir kebenaran. Keduanya pun sering berdikusi
membicarakan nilai-nilai yang terkandung dalam kitab
suci dan mengungkapkannya dalam sudut pandang
berbeda. Bobby yang dilahirkan sebagai seorang lelaki
akhirnya bisa memahami kalau wanita bukanlah

100
sekedar perhiasan, namun lebih dari itu. Wanita
adalah pelengkap yang melengkapi segala
kekurangan laki-laki. Baginya kehadiran wanita
merupakan hal penting yang membuatnya bisa lebih
memahami arti kehidupan. Begitupun dengan Dewi,
kini gadis itu sudah bisa memahami kenapa dia
diciptakan. Perannya di dunia ini adalah sebagai
pelengkap yang mana seharusnya bisa membuat
kaum lelaki menjadi lebih dekat kepada Tuhan,
bukannya membuat mereka justru berani melanggar
perintah Tuhan. Seperti yang dikisahkan oleh kitab
suci mengenai Adam dan Hawa yang mana
seharusnya menjadi pelajaran berharga buat anak
cucunya. Karena itulah, Bobby yang memang sudah
tertarik dengan Dewi sejak pandangan pertama,
mencoba untuk menjadikannya sebagai istri. Dengan
harapan, dia bisa menjalani kehidupannya bersama
Dewi-seorang gadis yang diyakininya bisa
membantunya dalam menyempurnakan akidah.
Selama ini kedua muda-mudi itu sudah sering
bertemu dan sudah semakin akrab.

101
Setelah menunaikan sholat Isya di Surau, Bobby
tidak langsung pulang, dia justru berniat ke rumah
Dewi untuk mencurahkan isi hatinya. Sementara itu di
tempat lain, di sebuah ruang tamu yang cukup
nyaman, seorang gadis terlihat sedang duduk sendiri.
Rupanya gadis itu masih saja memikirkan almarhum
kekasihnya-seorang pemuda yang di masa hidupnya
sangat perhatian dan begitu menyayanginya, sehingga
gadis itu merasa tidak ada sosok pemuda lain yang
bisa menggantikannya. Dialah Dewi yang hingga kini
belum juga bisa melupakan mendiang kekasihnya,
bahkan kenangan indah ketika bersamanya selalu
saja terbayang. Mendadak lamunan Dewi buyar
lantaran keterkejutannya akan ketukan pintu yang
begitu tiba-tiba, lalu dengan segera gadis itu beranjak
membukakan pintu.
"Oh kau, Kak. Ayo, silakan masuk!" kata gadis itu
ramah.
Bobby tidak segera masuk, saat itu dia tetap
bertahan di muka pintu. "O ya, Wi... apa orang tuamu
ada?" tanya pemuda itu canggung.

102
"O... mereka sedang mengunjungi kakek dan
nenekku. Eng... memangnya kau ada perlu dengan
mereka?" tanya Dewi menyelidik.
"Tidak, Wi. Aku justru ada perlu denganmu."
"O... kalau begitu, kenapa masih berdiri saja di
situ? Ayo silakan masuk!"
"Iya, Wi," ucap Bobby seraya melangkah masuk.
Setelah dipersilakan duduk, pemuda itu tampak
melihat ke sekeliling ruangan, di perhatikannya
berbagai hiasan indah yang ada di ruangan itu. Tak
lama kemudian, pandangan pemuda itu sudah beralih
kepada Dewi. Saat itu dilihatnya wanita itu tampak
begitu cantik, pesonanya pun membuatnya begitu
kagum kepada Sang Pencipta, apalagi ditambah
dengan kebaikan hatinya yang membuatnya begitu
tergila-gila. Sungguh kecantikan luar dalam yang tak
pernah membuatnya bosan. Saat itu raut wajah Dewi
tampak tersipu, sungguh dia merasa malu dipandang
seperti itu, "Tunggu ya, Kak! Aku akan buatkan
minum dulu," katanya seraya tersenyum.
"Terima kasih, Wi...! Kau tidak perlu repot-repot!"

103
"Tidak kok, Kak. Tunggu ya!" pinta Dewi seraya
melangkah ke dapur.
Tak lama kemudian Dewi sudah kembali, saat itu
dia membawa segelas minuman dan makanan kecil.
Setelah meletakkannya di atas meja, gadis itu kembali
duduk di hadapan Bobby. "Silakan diminum, Kak!"
tawarnya dengan senyuman yang begitu manis.
"Makasih, Wi," ucap Bobby seraya meneguk
minuman yang masih hangat itu.
"O ya, Kak? Ngomong-ngomong, sebenarnya
ada keperluan apa? Kok tumben Kakak mampir
malam-malam begini?"
"Mmm... Begini, Wi. Se-sebenarnya..." Seketika
Bobby terdiam, saat itu kepalanya tampak tertunduk
gelisah.
"Eng, sebenarnya ada apa, Kak? Kenapa kau
tampak gelisah seperti itu?"
"Wi... se-sesungguhnya... a-aku mencintaimu,
Wi..." ucap Bobby seraya menatap mata Dewi dalam-dalam.

104
Tak ayal, saat itu Dewi langsung tersentak.
Sungguh dia tidak menyangka kalau Bobby telah
menyatakan cintanya, sebuah ungkapan yang
terdengar begitu tulus namun sangat membebaninya.
Karenanyalah, gadis itu pun tak kuasa memberi
jawaban, saat itu dia hanya bisa tertunduk dengan
segala perasaan gundah.
�Kenapa, Wi? Apa kau tidak mencintaiku?� tanya
Bobby resah.
Lantas dengan berat hati, Dewi pun terpaksa
mengatakannya, "Kak... berdosakah jika aku menolak
ketulusan cintamu, yang dari lubuk hatiku juga mulai
mencintaimu. Dan berdosakah aku jika menghianati
janji setiaku, yang mana telah kuikrarkan pada
mendiang kekasihku-kalau kami akan selalu saling
mencintai hingga kehidupan nanti. Haruskah aku
menjadi pengkhianat demi cintaku padamu, dan
bisakah aku mencintaimu sepenuh hatiku sedangkan
aku masih mencintai mendiang kekasihku. Karena
itulah, aku mohon pengertianmu agar tak mencintaiku

105
lagi, sebab aku memang sudah berjanji pada diriku
untuk tidak mencintai orang lain."
Mendengar itu, Bobby tampak sedih. Harapannya
pun pupus sudah, bersamaan dengan pernyataan
Dewi yang kini sudah semakin meresap di lubuk
hatinya. Sungguh suatu perasaan yang sangat
menyakitkan. Bahkan saat itu dia sudah tidak mampu
berkata-kata, dia hanya terdiam dengan segala
perasaan yang bagaikan tersayat sembilu.
Bobby dan Dewi masih saja duduk saling
berhadapan, namun saat itu tidak sepatah kata pun
keluar dari mulut mereka-keduanya terus membisu
seribu bahasa. Setelah sekian lama terdiam, akhirnya
Bobby kembali bicara, "Kenapa kau masih mencintai
orang yang sudah menjadi bangkai, Wi? Bukankah itu
berarti menyia-nyiakan kehidupanmu."
Mendengar itu, seketika Dewi tersentak.
Sungguh dia tidak menyangka kalau Bobby akan
berkata sekasar itu, hingga mampu melukai hatinya.
Kemudian dengan alis mata merapat, dan juga sorot
mata yang berapi-api, gadis itu langsung memandang

106
Bobby geram. Sungguh kecantikan Dewi yang semula
begitu mempesona kini telah berubah menjadi sangat
menakutkan. Melihat itu, Bobby pun tidak mampu
berkata-kata, saat itu mulutnya seakan terkunci oleh
sebab perubahan paras Dewi yang demikian.
Kini Bobby tampak memalingkan wajahnya ke
arah lukisan yang terpampang di ruangan itu.
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba Dewi bangkit dari
duduknya dan langsung berkata lantang, "Kak!
Sebaiknya sekarang juga kau pergi! Dan jangan
pernah engkau menemuiku lagi! Sungguh kau tidak
akan mengerti dan tidak akan bisa memahami apa
yang ada dihatiku," pinta Dewi dengan amarah yang
tampaknya sulit untuk dipadamkan.
Mengetahui itu, Bobby pun segera bangkit dan
melangkah pergi. Sungguh pemuda itu benar-benar
menyesal karena telah membuat hati Dewi terluka,
dan itu semua karena rasa cemburunya kepada
mantan kekasih Dewi yang telah meninggal dunia.
Pada saat yang sama, Dewi tampak sedang duduk
termenung di kamarnya. Bahkan hingga hampir

107
tengah malam, gadis itu masih saja duduk termenung.
Saat itu dia terus memikirkan kata-kata Bobby yang
baginya sangat menyakitkan, namun entah kenapa
dari lubuk hatinya yang terdalam, dia merasa apa
yang dikatakan Bobby itu adalah sebuah kebenaran.
"Kau benar Kak. Seharusnya aku tidak boleh
menyia-nyiakan kehidupan ini. Seharusnya aku
menjalani kehidupan ini dengan penuh makna dan
kebahagiaan. Namun, apakah demi semua itu aku
harus menjadi pengkhianat. Sungguh kini aku bingung
akan makna kebenaran, yang mana selama ini biasa
dibisikkan oleh hati nuraniku. Entah kenapa selama ini
aku selalu mengingkari nuraniku yang memang
mencintaimu, apakah itu semua karena aku lebih
mendengarkan bisikan setan ketimbang nuraniku
sendiri?"
Dewi terus merenung dan merenung, hingga
akhirnya malam pun semakin larut. Sementara itu di
tempat lain, Bobby tampak gelisah di dalam
kamarnya, dia benar-benar menyesal karena telah
berkata dengan kata-kata yang menyinggung

108
perasaan Dewi. Andai saja dia bisa mengendalikan
diri tentu Dewi tidak akan marah terhadapnya. Saat
itu, Bobby tampak berguling ke kiri dan ke kanan,
sungguh pikirannya sudah membuatnya begitu kalut.
Lama pemuda merenung hingga akhirnya dia bangkit
dari tempat tidurnya dan melangkah menuju ke arah
jendela, kemudian dengan serta-merta dia membuka
gorden dan menatap ke luar jendela. Betapa
terkejutnya dia ketika melihat seorang gadis tengah
berdiri muka jendela dengan mata yang berkaca-kaca.
"De-Dewi... kaukah itu?" Bobby mengucek kedua
matanya.
"Benar, Kak! Ini aku, Dewi."
"Sedang apa kau di sini?" tanya pemuda itu
berbisik.
"A-aku... aku... entahlah, aku juga tidak mengerti
kenapa tiba-tiba aku ingin menemuimu. Tapi yang
jelas, aku ingin minta maaf. Sebab, semua kata-katamu yang menyakitkan itu memang benar adanya.
Dan yang terpenting adalah... aku ingin

109
mengungkapkan isi hatiku yang sebenarnya. Kalau a-aku... aku juga mencintaimu, Kak."
"Be-benarkah yang kau katakan itu, Wi?"
"Benar, Kak. Sebenarnya aku sudah
menyukaimu semenjak pertemuan kita pertama kali.
Selama ini aku memang belum bisa melupakan
segala kenangan indah yang kualami bersama
almarhum kekasihku, namun sebenarnya bukan itu
yang membebani hatiku, melainkan janji setiaku
padanya. Itulah yang selalu menutup hati nuraniku
untuk menerimamu sebagai orang yang aku cinta.
Namun, ketika kau berkata begitu, aku merasakan
sesuatu yang lain, dan hatiku pun mulai terbuka.
Walau semula kurasa sangat menyakitkan.
Ketahuilah, Kak... Setelah aku menyadari kalau yang
kau katakan itu adalah kebenaran, aku pun merasa
bersalah karena telah menolakmu, dan karena itulah
aku memberanikan diri untuk menemuimu di sini.
Kak... Kini aku sudah menyadari kalau kehidupan itu
dibagi menjadi tiga episode, yaitu episode sebelum
dunia, episode dunia, dan episode setelah dunia.

110
Karena itulah, sesungguhnya setiap jiwa tidak
selayaknya menuruti ego, namun yang terbaik adalah
mengikuti nurani. Sungguh sumpah setiaku dulu
adalah bentuk kesombongan akan kekuasaan Tuhan,
yang mana telah meyakini akan bertemu kembali
dengan mantan kekasihku kelak, dan karenanyalah
tidak sepatutnya aku mempertahankannya. Biarlah
Tuhan yang menentukan yang terbaik atas setiap
keinginanku, dan aku tak berhak menentukannya atas
dasar kesombonganku. Aku yakin, Tuhan itu Maha
Bijaksana, yang mana keputusannya tidak akan
merugikan jiwa yang dicintai-Nya."
Usai mendengar penuturan Dewi, mata Bobby
langsung berkaca-kaca, sungguh dia tidak
menyangka kalau Dewi mampu mengurai semua itu.
"Wi, Kalau begitu, sebaiknya sekarang kau pulang!
Sebab, tidak baik seorang gadis keluar rumah malam-malam begini," kata pemuda itu lembut.
Seketika itu juga, Bobby langsung melompat
keluar jendela dan menatap kedua mata Dewi yang

111
masih basah, "Wi... aku akan selalu menyayangimu,"
ucapnya seraya menggenggam kedua tangan Dewi.
Saat itu Dewi tersenyum. "Kak, aku bahagia
sekali," katanya kemudian.
"Aku juga, Wi. Eng... bagaimana kalau sekarang
aku mengantarmu pulang."
Saat itu Dewi mengangguk. Dan tak lama
kemudian, keduanya sudah melangkah ke rumah
Dewi sambil bergandengan tangan. Dalam perjalanan,
hati Bobby benar-benar bahagia, karena kini Dewi
telah menjadi kekasihnya. Begitu pun dengan Dewi,
perasaan bahagia pada kedua anak manusia itu
terpancar di wajah masing-masing, wajah keduanya
tampak begitu berseri-seri.
"Kak? Apakah kau akan selalu setia padaku?"
tanya Dewi tiba-tiba.
"Tentu saja, Wi. Aku akan selalu setia padamu."
"Kak? Aku mencintaimu, dan aku sayang
padamu."
"Aku juga demikian, Wi."

112
Seketika keduanya menghentikan langkah kaki,
kemudian saling berpandangan, lantas dengan serta-merta Bobby mengecup kening Dewi. Pada saat itu
Dewi tampak terpejam, perasaan bahagia di hatinya
telah menghilangkan segala kesedihannya selama ini.
Sungguh kedua muda-muda mudi itu kini sudah
dibutakan oleh api cinta yang membara, sehingga
mereka lupa akan larangan Tuhan dan tidak
menyadari kalau perbuatan mereka itu adalah awal
dari sebuah bencana.
Kini mereka kembali melanjutkan perjalanan
sambil terus bergandengan tangan. Begitu tiba di
pekarangan rumah Dewi, mereka dikejutkan oleh
sosok lelaki sedang berdiri di muka rumah. "Dewi!!!
Apa yang kau lakukan bersama seorang pria malam-malam begini, hah?� tanya lelaki itu dengan wajah
yang begitu geram. Kemudian lelaki itu kembali
melanjutkan kata-katanya, �Sungguh Ayah benar-benar kecewa. Baru juga ditinggal sebentar, kau
sudah berani kelayapan. Dasar anak tidak berbakti."

113
Melihat raut wajah sang Ayah yang sedemikian
marah, akhirnya Bobby berusaha angkat bicara.
"Eng... Be-begini, Pak. Ka-kami..."
Belum sempat Bobby menyelesaikan kalimatnya,
tiba-tiba sebuah tamparan keras mendarat di pipi
pemuda itu, dan sebuah tamparan lagi mendarat di
pipi Dewi. Saat itu Bobby benar-benar geram, namun
setelah menyadari siapa yang dihadapinya, akhirnya
dia mencoba untuk tidak emosi.
Kini pemuda itu tampak memandang kekasihnya
yang sedang menangis, saat itu dilihatnya darah segar
tampak keluar dari celah bibirnya yang tipis, lalu
dengan segera pemuda itu membersihkannya. Belum
usai darah dibersihkan, tiba-tiba sang Ayah sudah
menarik lengan Dewi dan membuat gadis itu
terpelanting. Seketika Dewi terkejut seraya menjerit
histeris, tubuhnya yang limbung langsung jatuh
tersungkur. Belum hilang rasa terkejutnya, mendadak
sebuah tamparan kembali mendarat di pipinya.
"Dasar anak tidak tahu diri! Apa kau mau
mencoreng muka orang tuamu, hah? Cepat katakan!

114
Apa yang sudah kau lakukan di luar sana?" tanya
Sang Ayah geram.
"Tidak, Ayah! Dewi tindak melakukan apa-apa,"
bela Dewi sambil terus menangis.
"Jangan bohong! Ayo mengaku! Apa saja yang
sudah kau lakukan bersamanya?" tanya Sang Ayah
lagi seraya menjambak rambut putrinya.
Melihat itu, Bobby berusaha menolong.
"Sabarlah, Pak...! Se-sebenarnya kami memang tidak
melakukan apa-apa," katanya memohon.
"Diam kau!!! Sekarang juga tinggalkan tempat
ini!" seru Sang Ayah murka.
"Tapi, Pak..."
Tiba-tiba sebuah tamparan keras kembali
mendarat di pipi Bobby, dan ketika lelaki separuh baya
itu ingin menghajarnya, Dewi pun langsung menahan,
"Sudahlah, Ayah! Dia tidak bersalah, yang salah itu
aku," ratap Dewi seraya menarik lengan Ayahnya.
"Diam kau!!!" bentak Sang Ayah seraya
menghentakkan tangannya dengan keras. Tak ayal,

115
saat itu Dewi langsung terpelanting dibuatnya,
kemudian jatuh terduduk tak berdaya.
Sementara itu, Sang Ayah langsung menghajar
Bobby dengan pukulan yang cukup keras. Saat itu
Bobby tidak melawan, dia hanya pasrah menerima
perlakuan itu, hingga akhirnya dia pun jatuh terduduk.
Kini pemuda itu tampak merintih sambil berusaha
mengelap bibirnya yang berdarah dan terasa sakit,
saat itu dia sama-sekali tidak berusaha untuk bangkit.
"Awas! Kalau kau masih berani datang ke mari,"
ancam lelaki paruh baya itu seraya menghampiri Dewi
yang saat itu masih terduduk menangis, "Ayo, Wi!
Sekarang juga kau masuk!" seru Sang Ayah seraya
menarik lengan Dewi dengan paksa.
Saat itu, Bobby hanya duduk terpaku melihat
perlakuan kasar Sang Ayah, yang begitu tega-terus
menyeret putrinya masuk ke rumah. Sungguh hati
pemuda itu begitu pilu kala mendengarkan suara Dewi
yang saat itu terus meratap-memohon ampun. Lalu
dengan perasaan sedih, pemuda itu perlahan bangkit
dan bergegas pergi. Dalam hati, pemuda itu benar-

116
benar menyesal lantaran tidak bisa melindungi
kekasihnya.
Sepulangnya dari Rumah Dewi, Bobby terus
memikirkan kekasihnya. Sungguh dia benar-benar
sedih saat kembali mengingat orang yang dicintainya
diperlakukan kasar oleh ayahnya sendiri. "Dewi...
maafkan aku, sungguh aku tidak bisa berbuat apa-apa
untuk melindungimu. Sebab, biar bagaimanapun,
beliau adalah Ayahmu, dan beliau berhak untuk
mendidikmu sesuai dengan caranya, walau aku
sendiri tidak setuju cara yang dilakukannya itu. Sebab,
masih banyak cara yang tak memerlukan kekerasan.
Kini aku hanya bisa berdoa dan mempasrahkan
semua ini pada Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, semoga Ayahmu bisa segera menyadari
kekeliruannya. Wi... aku sangat mencintaimu, dan aku
berharap semoga kita bisa bertemu lagi. Aku percaya,
jika kita memang berjodoh tentu Tuhan akan
mempersatukan kita."

Lima

Seminggu kemudian, di sebuah desa terpencil di
bumi Parahiyangan. Seorang gadis tampak
sedang mengendap-endap mendekati jendela kamar
Bobby. Lalu dengan perasaan was-was, gadis itu
segera mengetuk jendela yang masih tertutup rapat.
"Kak Bobby! Buka, Kak! Ini aku... Dewi," pinta gadis
itu pelan.
Bobby yang saat itu sedang terbaring melamun
langsung terkejut dibuatnya, lantas dengan segera dia
membuka jendela kamarnya. "Aduh Dewi! Kenapa
malam-malam kau kemari? Kalau ayahmu tahu,
beliau pasti akan marah besar," katanya khawatir.
Kemudian pemuda itu menatap mata kekasihnya, saat
itu dia melihat sebuah pancaran mata yang seolah
meratap, meminta pertolongannya.
Kini pemuda itu tampak memberhatikan sebuah
ransel yang ada di punggung kekasihnya. "Lho,

118
kenapa kau membawa tas segala, Wi?" tanya
pemuda itu heran.
"Kak? Cepat bawa aku pergi dari desa ini! Sebab,
tadi sore aku melihat pria yang ingin memperistriku
sudah datang. Besok pagi dia pasti akan menikahiku
dan langsung memboyongku ke Jakarta."
"A-Apa! Ka-kau akan dinikahkan?"
"Benar, Kak. Aku akan dinikahkan dengan Pak
Wangsa, pengusaha kaya dari Jakarta. Karenanyalah
malam ini aku datang ke sini agar kau mau
membawaku pergi."
"Kalau begitu, sebaiknya kau masuk, Wi! Kita
harus membicarakan masalah ini di dalam, sebab aku
takut ada orang yang melihat," pinta Bobby seraya
membantu kekasihnya menaiki jendela, dan setelah
menutup jendela itu rapat-rapat, akhirnya pemuda itu
sudah kembali berkata-kata. "Wi apa kau sungguh-sungguh ingin minggat?" tanyanya pada Dewi.
"Benar, Kak. Hal itu sudah kupikirkan masak-masak. Walaupun sebenarnya aku merasa berat

119
meninggalkan kedua orang tuaku, tapi... biar
bagaimanapun aku harus pergi."
"Wi... kalau Pak Wangsa itu memang pilihan
orang tuamu, kenapa kau tidak menurut saja?"
Mendengar itu Dewi langsung terkejut, kemudian
dia memandang Bobby dengan penuh kekecewaan.
Sungguh dia tidak menyangka, kalau orang yang
begitu dicintainya bisa berkata seperti itu. "Kak... Ke-kenapa kau membiarkan aku menikah dengannya? A-apakah kau sudah tak mencintaiku lagi?" tanyanya
lirih.
"Bu-bukan begitu, Wi... Se-sebenarnya aku
sangat mencintaimu, dan aku tidak mau berpisah
denganmu. Tapi... karena ini keinginan orang tuamu,
terpaksa aku harus merelakannya. Sebab, biar
bagaimanapun juga mereka adalah orang tuamu, Wi.
Orang yang selama ini dengan penuh kasih sayang
telah merawat dan membesarkanmu. Sekali lagi aku
sarankan, sebaiknya kau mau menuruti kehendak
mereka, walaupun sebenarnya hal itu sangat
menyakitkan hatiku."

120
"Kak... Sebetulnya bukannya aku tak mau
berbakti kepada orang tua, namun ada hal lain yang
begitu membebani hatiku.�
�Apa itu, Wi?� tanya Bobby penasaran.
�Ketahuilah, Kak. Selain aku tidak mencintainya,
ternyata Pak Wangsa itu sudah mempunyai tiga orang
istri."
"Be-benarkah yang kau katakan itu? Lalu, dari
mana kau tahu kalau dia sudah mempunyai tiga orang
istri?"
"Dari ayahku sendiri, Kak. Dan beliau sama
sekali tidak mempermasalahkannya."
"Lalu, bagaimana dengan Ibumu? Apakah beliau
juga setuju?"
"Mulanya sih beliau tidak setuju, namun setelah
ayahku memberi pengertian, akhirnya ibuku setuju
juga. Karena kata Ayah, dia seorang pengusaha yang
kaya. Kalau aku menikah dengannya, hidupku akan
terjamin, dan aku pun akan hidup senang. Malah
orang tuaku telah dijanjikan sepuluh puluh ekor sapi
sebagai mas kawinnya."

121
"Wi, apa yang dikatakan ayahmu itu ada
benarnya. Ketahuilah...! Walaupun Pak Wangsa
sudah mempunyai tiga orang istri, tentu kau tidak
akan ditelantarkannya. Dia kan orang kaya, tentu dia
bisa bertindak adil dalam memenuhi nafkah lahir-batin
istri-istrinya. Selain itu, kau juga bisa membahagiakan
kedua orang tuamu, dan kau juga akan merasa
senang karena hidup serba berkecukupan."
"Justru itulah yang memberatkanku, Kak. Pada
mulanya sih aku rela menikah dengannya, demi
baktiku kepada kedua orang tua. Tapi, setelah aku
tahu kalau Pak Wangsa itu orang yang tidak
bertanggung jawab, lantas aku pun jadi berpikir dan
memutuskan untuk tidak menikah dengannya."
"Maksudmu dengan tidak bertanggung jawab itu
apa, Wi?"
"Kak... biarpun dia itu orang yang kaya raya, tapi
dia tidak mempergunakan uangnya di jalan Allah.
Selama ini dia selalu mempergunakannya untuk hal
yang tidak baik, bahkan dia sering membuat istri-istrinya hidup menderita. Memang... pada mulanya dia

122
begitu sayang dan perhatian kepada istrinya. Tapi...
setelah tiga bulan menikah, istrinya akan
dicampakkan begitu saja-tanpa sedikitpun
memberikan perhatian dan kasih sayang, bahkan dia
tidak segan-segan bertindak kasar pada istri-istrinya.
Selama ini, istri-istrinya hanya dijadikan pemuas nafsu
birahi yang harus siap melayaninya kapan saja,
layaknya seorang budak yang dibeli untuk melakukan
itu."
"Kau tahu dari mana, Wi?"
"Dari Pak Amir, Kak. Dia itu kenal betul siapa Pak
Wangsa, dan dia memperingatiku untuk tidak menikah
dengannya."
"Eng... Memangnya Pak Amir itu siapa?"
"Dia itu supir pribadinya, Kak. Dan dia sangat
benci dengan prilaku tuannya yang tega berbuat
begitu."
"Aneh... jika dia memang tidak suka, kenapa dia
masih mau bekerja dengannya?"
"Karena salah satu istri Pak Wangsa adalah
orang yang paling Pak Amir cintai, dan dia pun

123
dipaksa menikah dengan Pak Wangsa menggunakan
alasan yang sama. Lantas untuk membalas sakit
hatinya, Pak Amir pun rela menjadi supir pribadinya
demi untuk menggagalkan usaha Pak Wangsa dalam
mencari daun muda di desa-desa. Dan terbukti,
selama ini Pak Amir memang selalu berhasil
menggagalkannya."
"Eng... Kalau begitu, kenapa dia tidak bicara
dengan ayahmu?"
"Dia tidak berani, Kak. Dia takut kalau ayahku
malah akan mengadukan hal itu. Maklumlah, ayahku
pasti akan lebih mempercayai Pak Wangsa yang
sudah begitu baik padanya.
"Kalau prilaku Pak Wangsa itu memang
demikian, tidak sepantasnya dia menikah denganmu,
Wi."
"Kau benar, Kak! Karenanyalah aku berharap
agar kau mau membawaku pergi dari desa ini!"
"Tapi, Wi. Aku sendiri tidak tahu harus
membawamu ke mana. Aku kan tidak mempunyai
uang, dan aku takut kalau kau akan menderita. Jika

124
aku membawamu ke Jakarta rasanya tidak mungkin,
apa kata ibuku nanti."
"Kak? Aku tidak peduli dengan segala
penderitaan yang akan kualami, tentunya selama aku
berada di sisi orang yang aku cintai"
"Hmm... Bagaimana ya, Wi..." Bobby tampak
berpikir keras, saat itu dia benar-benar bingung harus
berbuat apa.
Karena rasa cintanya yang teramat besar,
akhirnya pemuda itu terpaksa harus mengambil
keputusan yang baginya begitu berat. "Baiklah... aku
akan membawamu pergi dari desa ini," katanya
seraya membelai lembut rambut kekasihnya dan
memeluknya erat.
Kemudian tanpa buang waktu, pemuda itu
segera berkemas-kemas-mempersiapkan segala
keperluan dalam perjalanan nanti. Dan setelah
semuanya siap, mereka pun segera keluar kamar dan
melangkah mengendap-endap menembus gelapnya
malam. Saat itu, angin malam terasa begitu dingin,
namun hal itu tidak menghalangi niat mereka untuk

125
meninggalkan desa. Sambil terus bergandengan
tangan, keduanya tampak menyusuri jalan setapak,
kian menjauhi desa. Untunglah malam itu rembulan
bersinar terang, sehingga cahayanya mampu
menerangi jalan yang mereka lalui. Di kejauhan,
sayup-sayup terdengar suara burung hantu yang
membuat Dewi seketika bergidik, sehingga membuat
gadis itu semakin mempererat pegangannya.

Esok harinya di rumah Dewi terjadi kegemparan,
kedua orang tua Dewi sangat kaget begitu
mengetahui putri mereka sudah tidak ada di
kamarnya.
"Kurang ajar, berani benar anak itu!" kata ayah
Dewi seraya mencampakkan surat yang baru
dibacanya, "kalau nanti ditemukan, akan kuhajar dia."
Sementara itu, ibu Dewi hanya bisa menangis,
saat itu dia benar-benar merasa kehilangan putrinya.
Sedangkan Pria yang bernama Pak Wangsa merasa

126
sangat kecewa, saat itu raut wajahnya tampak begitu
geram. Mengetahui itu, ayah Dewi berusaha
meredakannya. "Maafkan prilaku putriku, Nak
Wangsa! Anak itu memang sudah sangat keterlaluan,"
katanya dengan nada menyesal.
"Sudahlah Pak! Biar aku saja yang menangani
masalah ini," kata Pak Wangsa seraya berjalan
menuju ke muka rumah.
Saat itu, Ayah Dewi tampak masih mematung, di
dadanya berkobar kemarahan yang meluap-luap
lantaran ulah putrinya. Tak lama kemudian, istrinya
datang menemui dan langsung mengajaknya bicara.
Sementara itu, Pak Wangsa yang sudah berada di
muka rumah langsung memanggil seorang anak
buahnya, "Gahar! Sini kau!" perintahnya lantang.
"I-iya, tuan!" sahut Pak Gahar seraya berlari
tergopoh-gopoh menghampiri tuannya. "A-ada apa
tuan?" tanyanya kemudian.
"Lekas kau cari Dewi! Dan jangan kembali
sebelum dia ditemukan," pinta Pak Wangsa tegas.

127
"Ta-tapi Tuan," kata Pak Gahar lagi sambil
mesam-mesem.
"Apa lagi, hah!" kata Pak Wangsa dengan wajah
yang masih terlihat marah.
"A-anu tuan. Eng... I-itu Tuan," kata Pak Gahar
seraya menggesekkan jari telunjuk dan ibu jarinya.
"Apa begitu-begitu? Mmm... uang maksudmu?"
kata Pak Wangsa mengerti.
"Be-betul Tuan."
"Huh! Kenapa tidak bilang saja? Pakai bahasa
isyarat segala," kata Pak Wangsa seraya mengambil
uang dari dalam dompetnya," Ini..." katanya lagi
seraya meletakkan uang itu di telapak tangan Pak
Gahar yang sudah menadah, namun saat itu Pak
Wangsa tak langsung menyerahkannya. "Tapi ingat,
jangan kau gunakan uang ini untuk foya-foya! Karena
aku tidak akan memberikannya lagi, mengerti?"
"Iya Tuan. Aku mengerti," kata Pak Gahar seraya
menarik uang dari tangan tuannya itu. "Kalau begitu,
aku berangkat sekarang Tuan," sambungnya
kemudian.

128
"O ya, ajak si Amir untuk menemanimu! Nah,
sekarang cepat pergi!" perintah Pak Wangsa pada
anak buahnya.
Mendengar itu, Pak Gahar segera melangkah
pergi. Sementara itu, Pak Wangsa terus
memperhatikan kepergiannya. "O ya, Gahar! Jangan
kau kembali sebelum menemukan dia!" teriaknya
kepada Pak Gahar yang saat itu tampak sudah kian
menjauh.
"Ehem...! Bagaimana, Nak Wangsa?" tanya ayah
Dewi yang tiba-tiba saja sudah berdiri di sebelah Pak
Waksa.
"Tenanglah, Pak! Aku sudah memerintahkan
anak buahku untuk mencarinya."
"Nak Wangsa... Sekali lagi Bapak minta maaf.
Sungguh Bapak tidak menduga, kalau Dewi akan
senekad itu."
"Tidak apa-apa, Pak. Nanti juga si Gahar akan
menemukannya."
Kini keduanya tampak duduk di kursi teras, dan
tak lama kemudian ibu Dewi tiba di tempat itu dengan

129
membawa dua cangkir teh. Pada saat yang sama, tak
jauh dari rumah Dewi tampak dua orang pria yang
sedang bercakap-cakap, mereka adalah Pak Gahar
dan Pak Amir.
"Ayo Mir, kita berangkat sekarang!" ajak Pak
Gahar kepada sopir pribadi Pak Wangsa itu.
"Mari, Har!" balas Pak Amir seraya melangkah
mengikuti Pak Gahar yang kini melangkah ke tempat
beberapa ekor kuda sedang ditambatkan.
Tak lama kemudian, keduanya tampak sudah
menaiki kuda masing-masing dan segera memacunya
menyusuri jalan setapak. Sementara itu di rumah
Dewi, Pak Wangsa masih bercakap-cakap dengan
ayah Dewi. Saat itu dia tampak sedang berpikir keras
sambil memutar-mutar cerutunya. �Hmm... kira-kira
ke mana Dewi melarikan diri, Pak?� tanya pria itu
pada ayah Dewi.
"Hmm... Apa mungkin Dewi bersembunyi di
rumah Bobby yang ada di Jakarta?" duga ayah Dewi
dengan kening yang tampak berkerut.

130
"Siapa Bobby itu, Pak?" tanya Pak Wangsa
seraya mengisap cerutunya dan menghembuskan
asapnya dengan sangat perlahan.
"Dia itu pemuda yang sudah berani memacari
anakku. Selama ini dia tinggal bersama pamannya
yang bernama pak Haris.�
"Hmm... jika demikian, tidak mustahil jika anak itu
membawa calon istriku ke rumahnya," kata Pak
Wangsa seraya mengusap-usap kumisnya yang tipis,
kemudian dia segera berteriak memanggil seorang
anak buahnya, "Dower sini kau!" panggilnya lantang.
Tak lama kemudian, orang yang bernama Dower
segera menghampiri, "I-iya Tuan. A-ada apa?"
tanyanya terbata.
Saat itu Pak Wangsa tidak menjawab, dia malah
menoleh pada ayah Dewi, "Pak? Sekarang tolong
Bapak beritahu rumahnya Pak Haris!"
"Baik, Nak Wangsa," kata ayah Dewi seraya
menjelaskan keberadaan rumah Pak Haris.
"Nah... Wer? Sekarang bawa beberapa anak
buahmu ke rumah Pak Haris. Tanyakan kepada dia

131
perihal rumah Bobby yang berada di Jakarta, kalau dia
macam-macam bunuh saja."
"Baik, Pak. Kalau begitu, aku segera berangkat,"
kata Dower seraya melangkah pergi.
Pada saat yang sama, Pak Wangsa dan Ayah
Dewi sudah kembali bercakap-cakap, sesekali
mereka tampak meneguk teh yang sudah mulai
dingin.

Enam

Di sebuah lembah, hamparan sawah tampak
membentang hingga ke kaki bukit. Saat itu di
atas pematang, Bobby dan Dewi tampak sedang
melangkah sambil bergandengan tangan. Di angkasa,
burung-burung pipit terlihat berterbangan sambil
berputar-putar di atas hamparan sawah, kemudian
bersama-sama turun untuk menikmati butiran padi
yang tampak sudah menguning.
Kini Bobby dan Dewi tampak berlutut di tepian
parit yang berair jernih, dan di parit itulah keduanya
mencuci muka-menghilangkan segala peluh yang
bercucuran di wajah masing-masing. Setelah itu,
keduanya kembali melangkah, menuju ke sebuah
pohon yang begitu rindang. Lantas, di bawah
keteduhan pohon itulah keduanya tampak duduk
beristirahat.

133
Kini Bobby tampak mengeluarkan air minum
yang dibawanya, kemudian bersama-sama melepas
dahaga. "Wi, lihatlah burung-burung itu! Mereka
tampak riang beterbangan ke sana-ke mari," unjuk
pemuda itu pada kekasihnya.
"Benar, Kak. Mereka terlihat begitu gembira
menikmati padi-padi yang menguning itu," timpal Dewi
seraya bersandar di dada kekasihnya, bersamaan
dengan itu Bobby tampak berpangku dagu di
kepalanya.
Kedua muda-mudi itu terus bermanja-manja
sambil memandangi kawanan pipit yang masih saja
menari di tengah sawah. Kawanan burung itu terbang
bersama, sejenak berputar-putar di atas hamparan
padi, kemudian hinggap lagi untuk kembali menikmati
butiran padi.
"Wi, aku mencintaimu," ucap Bobby seraya
membelai lembut rambut Dewi.
"Aku juga, Kak. Cintaku hanya untukmu," ucap
Dewi seraya mendekap tangan Bobby yang kini sudah
melingkar di pinggangnya.

134
"Wi? Aku sayang sekali padamu," ucap Bobby
lagi seraya menghirup harumnya aroma rambut Dewi.
Saat itu Dewi terpejam, merasakan hembusan
nafas yang terasa hangat, mengalir di sela-sela
rambut ikal mayangnya. Sungguh saat itu kedua
sudah kembali melupakan Tuhan, yang mana
dampaknya akan mengotori hati sehingga manusia
menjadi lebih cenderung menuruti keinginan.
Setelah puas beristirahat, kedua muda-mudi itu
kembali melanjutkan langkahnya. Kini mereka mulai
menaiki bukit, saat itu di kanan-kiri mereka tampak
pepohonan rindang yang senantiasa melindungi
keduanya dari terik sinar mentari. Kedua muda-mudi
itu terus mendaki dan mendaki, hingga akhirnya
mereka tiba di sebuah pancuran bambu. Saat itulah
keduanya kembali beristirahat, duduk berdampingan
sambil menikmati suara gemercik air yang berpadu
dengan kicauan burung, dan bunyi serangga.
�Nyaman sekali di sini ya, Kak,� komentar Dewi.

135
�Iya, Wi. Di tambah lagi dengan adanya dirimu di
sisiku, suasana di tempat ini sungguh semakin
bertambah nyaman.�
�Ah, Kakak bisa saja,� ucap Dewi tersipu.
�Sebentar ya, Wi! Aku mau mengisi tempat
minum dulu,� pinta Bobby seraya melangkah ke
pancuran untuk mengisi tempat minumnya yang
sudah kembali kosong.
Tak lama kemudian, pemuda itu sudah kembali
menemui kekasihnya. Namun belum sempat pemuda
itu duduk, tiba-tiba dia melihat seekor kobra sedang
merayap persis di belakang Dewi. �Jangan bergerak,
Wi!� pinta pemuda itu memperingati.
Saat itu juga, jantung Dewi langsung berdegup
kencang, dalam hati dia sudah bisa menduga kalau
ada sesuatu yang mengancam jiwanya. Karenanyalah,
saat itu dia tak berani bergerak walau hanya sedikit.
Tak lama kemudian, �Cepat kemari, Wi!� pinta
Bobby lagi.
Mendengar itu, Dewi langsung menurut. Dia
segera bangkit dan bergegas menghampiri Bobby,

136
kemudian memeluknya erat. �Se-sebenarnya tadi ada
apa, Kak?� tanya Dewi dengan disertai nafas yang
terengah-engah.
�Tenanglah...! Tadi itu cuma seekor kobra yang
sedang melintas di belakangmu, sekarang dia sudah
menjauh. Rupanya ular itu tidak menyadari akan
keberadaanmu, dan begitu mengetahuinya, dia pun
langsung lari terbirit-birit. O ya, sebaiknya sekarang
saja kita lanjutkan perjalanan!�
Kini mereka sudah kembali melanjutkan
perjalanan, keduanya terus melangkah menyusuri
jalan setapak yang masih mendaki, hingga akhirnya
mereka tiba di sebuah tanah terbuka. Saat itu hari
sudah menjelang senja, sinar mentari pun sudah tak
menyengat lagi.
Karena lelah, kedua muda-mudi itu memutuskan
untuk duduk beristirahat di sebuah batu besar yang
ada di tepian jurang. Sejenak mereka memandang
lembah yang begitu indah, saat itu di kejauhan terlihat
bukit hijau yang kini mulai berkabut.

137
Usai beristirahat sambil mengisi perut yang
terasa lapar, keduanya tampak berbincang-bincang
dengan penuh keceriaan. Tak lama kemudian,
keduanya tampak beranjak bangun dan berdiri di
tepian jurang, menikmati semilir angin sepoi-sepoi
sambil mengagumi keindahan alam. Saat itu, rambut
Dewi yang tergerai tampak terumbai-umbai tertiup
angin. Melihat itu, tanpa sadar Bobby sudah
menjamahnya, kemudian membelainya mesra dan
merasakan kelembutannya. Pada saat yang sama,
Dewi seketika merinding-merasakan belaian yang
begitu membuai jiwa. Lalu, tanpa sadar dia sudah
menatap Bobby sambil tersenyum manis. Saat itu,
Bobby pun membalasnya dengan tatapan yang
membuat Dewi kian tenggelam dalam candu asmara.
Keduanya terus saling bertatapan dengan penuh
hasrat bergelora, hingga akhirnya mereka pun saling
berpelukan erat.
Kini Dewi sudah melepaskan pelukannya,
matanya yang bening tampak memandang ke arah
bukit yang begitu indah. Pada saat yang sama, Bobby

138
segera memeluknya dari belakang. Keduanya tampak
bermanja-manja sambil menikmati matahari yang
mulai tenggelam. Kedua muda-mudi itu terus menatap
bukit yang dihiasi bias mentari yang keemasan,
sungguh pemandangan yang sangat indah. Sampai
akhirnya sang mentari tenggelam di balik bukit dengan
dihiasi warna merah, jingga. Saat itu, tanpa mereka
sadari noda hitam di hati masing-masing tampak kian
melebar.
"Bob, sebaiknya kita segera melanjutkan
perjalanan!" saran Dewi.
"Benar, Wi. Kita harus-cepat-cepat menemukan
tempat bersinggah," timpal Bobby seraya mengajak
kekasihnya meninggalkan tempat itu.
Kini mereka kembali menyusuri jalan setapak.
Saat itu malam tampak mulai menyelimuti senja. Dewi
yang sedikit takut terlihat berpegangan erat pada
lengan kekasihnya.
"Kak, apakah anak buah Pak Wangsa sudah
mengejar kita?" tanya gadis itu agak khawatir.

139
"Hmm... tentu saja. Tapi aku yakin, mereka
sudah salah jalan. Jika tidak, seharusnya mereka
sudah melewati jalan ini."
�Benarkah?� tanya Dewi Ragu.
"Benar, Wi. Namun jika mereka sudah menyadari
kekeliruannya, mereka pasti akan melalui jalan ini
juga?"
Sambil berbincang-bincang, kedua muda-mudi itu
terus berjalan menembus gelapnya malam, menyusuri
jalan setapak yang kini mulai terlihat samar-samar.
Untunglah cahaya rembulan masih cukup membantu
keduanya hingga tetap berada di tengah jalan. Kini
mereka mulai memasuki gerbang perkampungan, di
kiri mereka tampak tebing terjal yang menjulang
tinggi, dan di kanannya terlihat jurang yang
menganga. Keduanya terus berjalan sambil tetap
memperhatikan jalan yang kini semakin tak terlihat.
Hal itu dikarenakan awan mendung yang kian
menghalangi rembulan.
Kedua muda-mudi itu terus melangkah dengan
sangat hati-hati, sebab bila lengah sedikit saja,

140
mereka akan terperosok ke dalam jurang yang sangat
dalam. Kini jalan yang mereka lalui sudah tak terlihat,
keadaan di sekelilingnya pun sudah gelap gulita. Saat
itu, Bobby langsung menyalakan obor yang diambilnya
dari dalam tas. Seketika itu pula, api yang kemerahan
tampak membakar lemak hewan yang mengitari kayu,
sinarnya yang redup mampu menerangi jalan yang
kini mulai tampak basah. Rupanya gerimis mulai turun
membasahi bumi.
Lantas dengan penuh waspada, kedua muda-mudi itu kian mempercepat langkah mereka, hingga
akhirnya mereka melihat sebuah rumah tua dengan
pekarangan yang dipenuhi oleh semak belukar.
Rumah itu tampak begitu besar, di salah satu
sudutnya terdapat sebuah menara bekas antena
radio. Namun belum sempat kedua muda-mudi itu
sampai di pekarangan, tiba-tiba gerimis sudah
semakin deras. Dan tak lama kemudian, hujan pun
turun dengan lebatnya, diiringi bunyi halilintar yang
begitu menakutkan. Seketika itu, keduanya langsung

141
berlari memasuki rumah tua yang memang sudah
tidak begitu jauh.
Kini mereka sedang berdiri di ruang tamu sambil
mengamati keadaan di sekelilingnya. Keadaan
ruangan itu sungguh tampak menyeramkan, sarang
laba-laba ada dimana-mana, bahkan di sana-sini
banyak berserakan serpihan rumah yang termakan
usia. Ketika mereka tengah mengamati ruangan itu,
tiba-tiba mereka dikejutkan oleh gelegar halilintar yang
menyambar menara di luar rumah. Tak ayal, saat itu
sebuah tiang kayu ambruk dan hampir menimpa
kepala mereka. Dewi yang begitu terkejut, langsung
menjerit histeris dan memeluk Bobby erat. "Kak... aku
takut sekali," ucapnya lirih.
Saat itu Bobby langsung mendekapnya,
"Tenanglah, Sayang...! Kau tidak perlu takut! Aku
akan selalu di sisimu untuk melindungimu," ucap
Bobby seraya mengecup kening kekasihnya.
Sungguh kecupan itu mampu membuat Dewi
menjadi lebih tentram. Seiring dengan itu, sebuah
senyum tampak tersungging di bibirnya. Melihat itu,

142
Bobby pun segera meraih tangan kekasihnya dan
mengajaknya memasuki ruang tengah. Setibanya di
ruangan itu, Bobby tampak mengamati keadaan di
sekelilingnya dengan bantuan cahaya obor yang kian
meredup. Dan ketika sampai di dekat pendiangan,
keduanya lantas berhenti.
Kini Bobby menurunkan tas yang dibawanya,
kemudian bergegas mengumpulkan serpihan kayu
dan meletakkannya di dalam pendiangan. Lantas
dengan segera dia menyalakannya, menggunakan
obor yang ada di tangan. Saat itu, cahaya temaram
dari pendiangan langsung membias menerangi
penjuru ruangan. Bersamaan dengan itu, Bobby
tampak memadamkan obornya, kemudian segera
menggelar tikar lipat yang dibawanya.
Kini kedua muda-mudi itu sudah duduk di atas
tikar seraya menghangatkan diri di depan perapian.
Namun sayangnya, hangatnya api pendiangan itu tak
mampu menembus pakaian mereka yang basah.
Akibatnya, mereka pun tetap menggigil kedinginan.
Karena tak kuat menahan dingin, mereka pun

143
terpaksa duduk merapat untuk mengurangi rasa
dingin yang kian menusuk.
Di luar, hujan tak kunjung reda. Malam pun
sudah semakin larut. Di sudut ruangan terdengar
suara burung hantu yang berkukuk. Mendengar itu,
seketika Dewi bergidik dan semakin merapatkan
dirinya pada sang kekasih. Menyadari itu, Bobby pun
langsung mendekapnya erat. Lantas, seiring dengan
nafsu binatang yang kini mulai merasukinya, pemuda
itu segera merebahkan kekasihnya di atas tikar. Lalu
dengan sangat bernafsu, dia mulai menciumi leher
gadis itu dengan tanpa ada keraguan sedikit pun.
Kesediaan Dewi saat itu sungguh telah membuatnya
menjadi gelap mata. Di tambah lagi dengan rasa
dingin yang begitu menusuk, sungguh membuatnya
tak mampu lagi menahan hasrat birahi. Kini tangan
pemuda itu mulai menjalar ke bagian yang paling
terlarang. Namun tiba-tiba, "Kak Bobby! Apa yang kau
lakukan?" Bentak Dewi seraya meronta dan berdiri
menjauh.

144
"Wi, Kenapa? Ayolah! Kau jangan
mengecewakan aku, mari kita saling memberi
kehangatan!" pinta Bobby berharap.
"Tidak, Kak. Kita tidak boleh melakukan itu."
"Ayolah, Wi...! Aku sudah sangat kedinginan.
Apakah kau tidak merasakannya ."
"Iya, Kak. Aku pun merasakannya. Tapi, kita tidak
sepantasnya melakukan semua ini," jelas Dewi.
"Ayolah, Wi...! Apakah kau sudah tidak
mencintaiku?" tanya Bobby.
"Aku sangat mencintaimu, Kak. Tapi..."
"Kalau kau memang mencintaiku, ayolah kemari!
Kita saling menghangatkan diri," pinta Bobby
memotong perkataan Dewi.
"Sadarlah, Kak! Kalau kau memang mencintaiku,
aku harap kau bisa menahan diri! Bukankah kau
termasuk orang yang taat beribadah, mintalah kepada
Tuhan agar selalu melindungimu dari godaan setan
yang terkutuk. Terus terang, aku menyesal telah
membiarkanmu menyentuhku sampai sejauh itu. Kini
aku sadar, rupanya hal itulah yang menyebabkan tidak

145
diperbolehkannya lelaki dan perempuan yang bukan
muhrimnya untuk berdua-duaan. Sebab, kini aku
merasakannya sendiri, betapa hal itu memang sulit
untuk dihindari. Naluri kita sebagai sebagai manusia,
tak mungin lepas dari keinginan itu. Kak, aku takut
sekali. Bagaimana jika Tuhan sudah tak mau
memperingati kita lagi."
Dengan serta-merta Bobby terdiam, dia tampak
memandang kekasihnya dengan penuh penyesalan.
Lantas saat itu juga kobaran api birahi telah sirna
seketika, seiring dengan kesadarannya akan
kekeliruan yang baru saja diperbuatnya. Setan
memang lihai, sehingga makhluk laknat itu hampir
saja membuatnya melakukan perbuatan terlarang.
Begitulah manusia yang masih lemah iman,
jangankan mengalami kejadian yang dialami Bobby,
baru pembaca cerita ini saja bisa membuatnya
terangsang. Dan itu menandakan manusia yang
demikian masih mempunyai potensi untuk berzinah.
Jadi, berhati-hatilah!

146
Kini Bobby tampak bangkit dari duduknya,
kemudian melangkah menghampiri Dewi. "Maafkan
aku, Wi! Aku benar-benar telah gelap mata," ucap
Bobby menyesal.
"Sungguh! Kau benar-benar sudah menyadari
kekeliruanmu?" tanya Dewi ragu.
"Iya, Wi. Kini aku benar-benar sadar kalau
perbuatan itu memang tidak sepantasnya kita
lakukan," jawab Bobby.
Setelah mendengar jawaban itu, akhirnya Dewi
mengajak Bobby untuk duduk kembali, kemudian
memintanya merapatkan tubuh, sekedar memberi
kehangatan, tidak lebih. Karena lelah, akhirnya
mereka tertidur dengan tubuh saling berdekapan erat.
Lagi-lagi mereka telah berbuat tidak semestinya,
walaupun dengan alasan cuma saling memberi
kehangatan. Sungguh setan memang sangat lihai
memperdaya manusia dengan segala alasan yang
tampaknya baik namun pada kenyataannya tidak.
Untunglah kondisi iman mereka kini sudah lebih baik,
sehingga mereka masih bisa menahan diri. Andai saja

147
iman mereka kembali melemah, tentu mereka tidak
akan mampu menahan diri. Sementara itu, di luar
hujan masih turun dengan lebatnya. Sesekali halilintar
masih terdengar di kejauhan, dan sepertinya badai
akan segera berlalu.

Esok paginya matahari bersinar cerah, sinarnya
yang hangat memasuki ruangan melalui celah-celah
genting yang pecah serta tembok yang retak. Di luar
rumah, burung-burung tampak berkicau merdu,
melompat riang di atas ranting pepohonan. Saat itu
Bobby dan Dewi masih tertidur pulas, dengan tubuh
yang masih berpelukan. Tiba-tiba Bobby terbangun,
dia tampak mengucek kedua mata seraya
memperhatikan sekelilingnya.
"Wi? Bangun, Wi!" Kata Bobby seraya merapikan
pakaiannya yang sudah kering di badan, saat itu
tubuhnya dirasakan sudah segar kembali.

148
"Hmm... ada apa, Kak?" tanya Dewi seraya
mengucek kedua matanya.
"Sudah siang, Wi. Ayo sebaiknya kita segera
berkemas!"
Mengetahui itu, Dewi pun segera bangun dan
merenggangkan persendiannya, kemudian dia duduk
di sebelah Bobby yang kini sedang membuka tasnya
guna mengambil bekal yang tinggal sedikit. Setelah itu
keduanya tampak menikmati sarapan bersama-sama.
Usai sarapan, Dewi tampak sibuk menyisir
rambutnya yang kusut. "Kak, kita harus segera
meninggalkan tempat ini! Aku khawatir anak buah Pak
Wangsa sudah menyadari kekeliruannya dan sedang
menuju ke sini," katanya sambil terus menyisir.
Kemudian Dewi menceritakan tentang anak buah
Pak Wangsa yang diketahuinya sangat kejam, dan dia
mengetahui semua itu dari Pak Amir yang selalu
memberikan informasi kepadanya.
"Apa benar Pak Gahar sekejam itu, Wi?" tanya
Bobby sambil terus sibuk membenahi barang-barangnya.

149
"Benar Kak! Dia itu seorang pembunuh berdarah
dingin. Dan dia tidak segan-segan membunuh siapa
saja agar keinginannya tercapai."
"Kalau begitu, sebaiknya kita harus segera
berangkat, Wi. Aku khawatir kalau dia benar-benar
berhasil menemukan kita," kata Bobby seraya
bergegas mengenakan tas miliknya. "Ayo, Wi!"
ajaknya kemudian seraya meraih tangan Dewi yang
saat itu juga baru selesai mengenakan tas yang
dibawanya.
Tak lama kemudian, mereka sudah melanjutkan
perjalanan. Hingga akhirnya mereka tiba di
perumahan penduduk dan berniat mencari perbekalan
di sana. Kini Bobby tampak sedang menanyakan
perihal rumah Pak Kepala Desa kepada seorang lelaki
yang ditemuinya.
"O, kalau rumah Pak Kepala Desa ada di sebelah
sana," jelas lelaki itu seraya menunjuk ke arah rumah
yang terlihat cukup besar.
"Kalau begitu, terima kasih, Pak!" ucap Bobby
seraya tersenyum ramah.

150
"Sama-sama, Den," balas lelaki itu seraya ikut
tersenyum.
Saat itu, Bobby langsung menggandeng lengan
Dewi dan mengajaknya menuju ke rumah yang
dimaksud. Setibanya di sana, Bobby dan Dewi
langsung dipersilakan masuk, kemudian disuguhi
dengan makanan dan minuman ala kadarnya. Kini
Bobby mulai menceritakan maksud kedatangannya.
Pada saat itu Pak Kepala Desa tampak
mendengarkannya dengan rasa prihatin, hingga
akhirnya dia pun mulai berbicara, "Sungguh
keterlaluan si Wangsa itu, tidak selayaknya dia
dibiarkan hidup di muka bumi ini. Dengan seenaknya
dia ingin menikahi seorang gadis hanya untuk
bersenang-senang."
"Benar Pak! Orang seperti itu memang tidak
pantas dibiarkan hidup. Selama ini dia telah
membodohi kedua orang tua Dewi dengan cara
mengiming-imingi harta benda, hingga akhirnya
mereka pun lebih membela orang itu ketimbang
anaknya sendiri."

151
Lantas Bobby kembali melanjutkan ceritanya,
hingga akhirnya dia meminta bantuan perbekalan
guna melanjutkan perjalanan.
"O... jadi begitu," kata Pak Kepala Desa mengerti.
"Betul Pak! Kami memang harus lari sejauh
mungkin. Sebab jika tidak, anak buah Pak Wangsa
pasti akan menemukan kami. Karena itulah kami
butuh bekal agar bisa melanjutkan perjalanan," jelas
Bobby penuh harap.
"Aku benar-benar prihatin dengan kehidupan
yang harus kalian jalani. Kalau Wangsa mengadukan
hal ini kepada pihak yang berwajib, tentu akan
semakin rumit. Karena hukum pasti akan memihak
kepadanya."
"Benar Pak! Aku pasti akan mendekam di
penjara karena dituduh melarikan anak gadis orang.
Walaupun itu kulakukan demi untuk
menyelamatkannya."
"Kalau begitu, untuk sementara kalian boleh
tinggal di sini, dan aku akan melindungi kalian sebisa
mungkin. Anak buahku yang bernama Pak Dirman

152
akan kutugaskan untuk mengawasi setiap orang yang
masuk ke desa ini. "
"Kalau begitu, terima kasih banyak, Pak!" ucap
Bobby lagi.
Kemudian Pak Kepala Desa mempersilakan
Dewi untuk beristirahat di kamar anak perempuannya,
sedangkan Bobby terlihat berbincang-bincang dengan
Pak Kepala Desa.

Malam harinya, mereka mendengar kabar dari
Pak Dirman, bahwa seorang pria berwajah seram
dengan kumis melintang dan seorang yang berwajah
tampan datang mencari keduanya. Tak diragukan lagi,
mereka memang Pak Gahar dan Pak Amir, yang
ditugaskan untuk mencari Dewi. Untuk sementara,
Pak Kepala Desa menyuruh Bobby tetap berada di
rumahnya, sedangkan dia akan melindungi mereka
sebisa mungkin. Sementara itu di tempat lain, Pak
Gahar terlihat sedang menanyakan buruannya hampir

153
ke semua penduduk desa. Dengan sepucuk pistol dia
mengancam orang-orang desa untuk tidak berbohong.
Untunglah mereka tidak ada yang tahu, hingga
akhirnya Pak Gahar tiba di rumah Pak Kepala Desa.
Kini lelaki itu tampak berdiri di muka pintu sambil
menggenggam pistol di tangan kanannya. Kemudian
dengan tangan kirinya, lelaki kasar itu menggedor
pintu rumah itu berkali-kali. Mengetahui itu, Pak
Kepala Desa tidak tinggal diam, dia segera
memerintahkan Bobby dan Dewi untuk pergi ke rumah
Pak Kosim yang berada di atas bukit.
"Lekas, Nak Bobby! Pergilah ke sana! Mengenai
perbekalanmu akan kusuruh Pak Dirman untuk
mengantarnya."
"Baiklah, Pak. Terima kasih atas segala
bantuannya!"
Kemudian Bobby dan Dewi segera pergi lewat
pintu belakang, sedangkan Pak Kepala Desa segera
menemui Pak Gahar yang masih berdiri di muka pintu.
Begitu daun pintu terbuka, dilihatnya Pak Gahar
tampak berdiri dengan wajah yang begitu marah.

154
"Kenapa lama betul?" tanya Pak Gahar dengan
suara berat.
"Ma-maaf, Pak! Aku sedang sibuk di belakang.
Eng... Kalau boleh kutahu, sebenarnya ada keperluan
apa?" tanya Pak Kepala Desa pura-pura tidak tahu.
"Hmm.... begini, Pak. Kami sedang mencari dua
orang pelarian, dan kami ingin mendapat informasi
dari Bapak."
"O... Ka-kalau begitu, ayo silakan masuk!"
Pak Gahar dan Pak Amir segera masuk,
kemudian mereka duduk di ruang tamu guna
memperbincangkan masalah itu. Pada saat yang
sama, Bobby dan Dewi sedang dalam perjalanan,
mereka tampak melangkah dengan hati-hati sekali.
Maklumlah, jalan menuju rumah Pak Kosim memang
sangat terjal, apalagi gelapnya malam semakin
membuat jalan itu sulit dilalui. Namun begitu, mereka
tetap harus ke sana. Jika tidak, mereka tentu akan
tertangkap. Bobby dan Dewi terus melangkah,
menyusuri jalan setapak yang tampak samar lantaran

155
obor yang di pegang Bobby terus berkibar-kibar tertiup
angin malam yang dingin.
"Kak? Malam ini dingin sekali, sepertinya mau
turun hujan," kata Dewi seraya mempererat pegangan
tangannya. Saat itu, tiba-tiba kilat membias di
sekeliling mereka, kemudian disusul dengan suara
guntur yang cukup keras. Mendengar itu, seketika
Dewi terkejut dan langsung memeluk erat kekasihnya.
"Kak, aku takut sekali. Tampaknya hujan benar-benar
sudah mau turun," ungkap gadis itu khawatir.
"Kalau begitu, ayo lekas, Wi! Sepertinya hujan
memang sudah mau turun."
Lantas kedua muda-mudi itu segera
mempercepat langkah mereka. Benar saja, tak lama
kemudian hujan rintik-rintik mulai turun membasahi
bumi. Suara guntur pun semakin sering terdengar,
diiringi dengan angin yang terus bertiup kencang.
Bobby dan Dewi terus berlari kecil menyusuri jalan
setapak yang menaiki bukit. Saat itu, obor di tangan
Bobby tampak sudah semakin meredup.

156
Lihat, Wi!" seru Bobby ketika melihat sebuah
rumah di kejauhan.
"Apakah itu rumah Pak Kosim?" tanya Dewi
memastikan.
"Tidak salah lagi, Wi. Lihatlah pohon kelapa
bercabang itu!"
"Kau benar, Kak. Itu memang rumah Pak Kosim."
Lantas, kedua muda-mudi itu semakin
mempercepat lari mereka, hingga akhirnya mereka
tiba di pekarangan rumah Pak Kosim. Saat itu, hujan
lebat sudah menyiram keduanya. Bahkan ketika
mereka sudah berdiri di muka pintu, butiran hujan
masih saja menyiramnya--terhempas angin yang
begitu kencang. Sesekali, kilat tampak membias
dengan diiringi guntur yang menggelegar keras.
"Assalamu�alaikum...!" ucap Bobby dengan suara
keras.
Tak lama kemudian, Pak Kosim sudah
membukakan pintu dan mempersilakan keduanya
masuk. Kini ketiganya tampak duduk dengan

157
beralaskan tikar pandan, sat itu Bobby pun langsung
menceritakan maksud kedatangannya.
"O... jadi begitu. Baiklah, malam ini kalian boleh
menginap di sini," kata Pak Kosim mengerti.
"Terima kasih, Pak!" ucap Bobby senang.
Bobby dan Pak Kosim terus berbincang-bincang,
sedangkan Dewi tampak merebahkan diri di atas
hamparan tikar pandan yang harum mewangi.
Sementara itu, di rumah Pak kepala Desa, Pak Gahar
dan Pak Amir tampak masih berbincang-bincang.
"Hmm... jadi Bapak benar-benar melihat mereka,"
kata Pak Gahar seraya memilin kumisnya yang
melintang.
"Benar, Pak! Mungkin mereka langsung pergi ke
Desa Mahoni," jelas Pak Kepala Desa.
"Hmm... Desa Mahoni, kalau begitu mereka akan
tiba di sana dalam waktu yang cukup lama," kata Pak
Gahar yang sudah sekian lama malang-melintang di
bumi Parahiyangan.
"Benar, Pak! Desa itu memang cukup jauh.
Untuk sementara sebaiknya kalian tinggal di desa ini

158
saja, kuda-kuda kalian kan butuh makan dan
istirahat," saran Pak Kepala Desa.
"Benar juga apa yang di katakan Pak Kepala
Desa ini, Har. Sebaiknya kita tinggal saja di desa ini
untuk sementara waktu. Toh mereka juga tidak akan
sampai lebih dulu," timpal Pak Amir.
"Baiklah... Untuk sementara kita tinggal di desa
ini," kata Pak Gahar menyetujui.
Di rumah Pak Kosim, Bobby dan orang tua itu
masih saja berbincang-bincang, dan tak lama
kemudian Pak Kosim bangkit dari duduknya, "Nak
Bobby, sepertinya hari sudah larut. Sebaiknya
sekarang kau beristirahat! Saat ini, Bapak pun mau
istirahat."
"Iya, Pak. Selamat malam!"
"Selamat malam!" balas Pak Kosim seraya
melangkah menuju ke kamarnya.
Kini Bobby merebahkan diri di sisi kekasihnya,
sejenak dia memperhatikan Dewi yang saat itu
sedang tertidur pulas. Seketika, pikiran kotor mulai
merasuki otaknya. Berkali-kali dia memandangi wajah

159
Dewi yang tampak begitu cantik. Bahkan saat itu dia
ingin sekali mencumbuinya, namun karena
pengalamannya di rumah tua, akhirnya dia
membatalkan niatnya. Kini dia berusaha untuk tidur,
dalam hati dia terus beristigfar dan memohon kepada
Tuhan untuk menjauhinya dari segala bisikan setan
yang menyesatkan. Karena kantuk dan rasa lelah,
akhirnya Bobby tertidur juga. Suara jangkrik di luar
rumah terdengar mengisi kesunyian malam yang baru
saja diguyur hujan. Angin malam yang dingin
berhembus masuk melalui sela-sela lubang angin,
saat itu hawa dingin menyelimuti kedua muda-mudi
yang mungkin sedang bermimpi indah.

Tujuh

Pagi harinya, di rumah Pak Kosim. Seorang pria
baru saja membawakan perbekalan untuk
Bobby dan kekasihnya. Kini pria itu sedang bercakap-cakap dengan mereka. "Nah, sebaiknya kalian cepat
berangkat. Mumpung hari masih pagi," anjur pria itu.
"Hmm... Jadi mereka akan ke Desa Mahoni?"
tanya Bobby memastikan.
"Ya begitulah yang Pak Kepala Desa katakan,"
jelas pria yang bernama Pak Dirman.
"Baiklah, Pak. Kalau begitu, kami akan segera
berangkat," pamit Bobby seraya mengajak Dewi untuk
segera berkemas-kemas.
Dan tak lama kemudian, keduanya sudah
bergegas meninggalkan rumah Pak Kosim. Kini
mereka sedang menuju ke gerbang desa yang ada di
Selatan. Dengan berlari kecil, keduanya berusaha
mencapai tempat itu. Dan setelah melewatinya,

161
mereka pun mulai berjalan santai, menyusuri jalan
setapak yang menuju ke Desa Cendana, sebuah desa
yang atas petunjuk Pak Dirman merupakan desa yang
aman.
Kedua muda-mudi itu terus melangkah dan
melangkah, hingga akhirnya mereka memasuki
sebuah hutan yang cukup lebat. Hutan itu agak gelap
dan cukup menyeramkan, hanya sedikit sinar mentari
yang menerobos masuk-membias melalui celah-celah rimbunnya pepohonan besar. Di tengah
kerimbunan hutan itu, terdengar beragam suara
serangga, nyanyian burung, dan hewan kecil lain yang
berbaur dengan suara gesekan daun yang tertiup
angin. Terdengar begitu harmonis sehingga
menciptakan sebuah simfoni alam yang begitu indah.
Sesekali juga terlihat kera yang melompat dari pohon
satu ke pohon yang lain. Namun semakin lama, kera-kera yang terlihat di hutan itu semakin banyak. Saat
itu Bobby dan Dewi tampak khawatir dibuatnya.
Maklumlah, karena kawanan kera itu terus mengawasi
mereka sambil terus melompat-lompat dengan

162
teriakan yang menggetarkan jiwa. Karena tingkah
kera-kera itu semakin mengkhawatirkan, akhirnya
Bobby dan Dewi mempercepat langkah mereka.
Kedua muda-mudi itu terus melangkah dengan
begitu tergesa-gesa, bahkah sesekali mereka tampak
berlari kecil hingga akhirnya mereka berhasil keluar
dari hutan. Kini mereka sudah kembali berjalan santai
menyusuri jalan setapak. Setelah menyeberangi
sebuah jembatan kecil yang terbuat dari batang
kelapa, kedua muda-mudi itu berjumpa dengan
seorang ibu tua yang berusia kira-kira 54 tahun. Ibu
tua itu tampak kurus, pakaiannya pun tampak lusuh
dan begitu memprihatinkan. Kini ibu Tua itu tengah
berdiri sambil memperhatikan mereka, dari kedua
matanya terpancar sebuah harapan yang begitu
besar. "Kasihani aku, Nak... tolong beri aku makan!
Sudah sejak kemarin aku belum makan," ucapnya lirih
seraya menghampiri kedua muda-mudi itu.
Bobby dan Dewi merasa iba melihat ibu tua itu,
sepertinya dia memang benar-benar kelaparan. Lalu
dengan serta-merta Bobby mengambil sebagian bekal

163
yang dibawanya dan memberikannya kepada ibu tua
itu. Ibu tua itu pun segera menyambutnya dengan
penuh suka cita. "Terima kasih, Nak... Semoga Tuhan
senantiasa membalas kebaikan kalian," ucapnya
seraya duduk dan mulai menikmati makanan yang
baru didapatnya.
"O ya, ngomong-ngomong... Ibu mau ke mana?"
tanya Bobby yang kini sudah duduk di sisinya.
"Sebenarnya aku mau ke Desa Cendana, Nak.
Namun ketika aku melewati hutan kera, bekalku dicuri
oleh kera-kera nakal yang ada di hutan itu.
Karenanyalah aku tidak mampu melanjutkan
perjalanan, hingga akhirnya aku terpaksa berdiam di
tempat ini."
"Kalau begitu, Ibu bisa pergi bersama kami.
Karena kami pun sedang menuju ke desa itu."
Setelah si Ibu tua menghabiskan makanannya,
mereka bertiga lantas berangkat menuju ke Desa
Cendana. Saat itu, Bobby dan Dewi terpaksa berjalan
pelan mengikuti langkah si Ibu tua yang tertatih-tatih.
Ketiganya terus melangkah menyusuri jalan setapak

164
yang mulai menurun. Rimbunnya pepohonan yang
tumbuh di kiri-kanan jalan cukup melindungi mereka
dari sinar mentari yang menyengat, bahkan
keteduhannya mampu membuat mereka merasa
nyaman dan tidak membuat mereka cepat lelah.
Sementara itu di tempat lain, Pak Gahar dan Pak
Amir sedang bercakap-cakap sambil menikmati kopi
pahit di sebuah warung kecil. "Mir, besok pagi kuda-kuda kita pasti sudah segar kembali. Karenanyalah,
besok pagi kita harus segera berangkat. Jika terlalu
lama di desa ini, aku khawatir mereka keburu jauh,"
jelas Pak Gahar seraya menyeruput kopi pahitnya.
"Kenapa terburu-buru, Har. Lusa saja kita
berangkat! Aku yakin, lusa pun mereka belum tiba di
Desa Mahoni."
"Kita tidak boleh menunda-nundanya, Mir. Sebab
Pak Wangsa bisa naik-pitam lantaran kita terlalu lama
membawa gadisnya pulang?"
"Kalau begitu, terserah kaulah."
Tak lama kemudian, kedua lelaki itu tampak
meninggalkan warung-mereka melangkah untuk

165
mengurus kuda-kuda yang belum diberi makan.
Sementara itu di tempat lain, Bobby, Dewi, dan si Ibu
tua masih dalam perjalanan. Saat ini mereka sedang
melangkah menuruni lereng bukit, melewati jalan
setapak yang berada di antara tebing dan jurang.
Indahnya pemandangan yang terlihat dari tempat itu
sungguh membuat Bobby begitu takjub. Hijaunya
hutan yang terbentang di kejauhan terlihat begitu
menyejukkan mata, perbukitan kecil yang menjulang
di belakangnya pun tampak begitu indah, diselimuti
kabut tipis yang membayang, bagaikan untaian sutera.
"Wi, bagaimana kalau kita istirahat sejenak di
tempat ini!" ajak Bobby tiba-tiba.
Saat itu juga, Dewi langsung menghentikan
langkahnya. "Aku setuju, Kak. Tampaknya si Ibu juga
perlu istirahat. Lihatlah! Beliau tampak sudah
kepayahan," kata Dewi seraya menghampiri si Ibu tua
dan mengajaknya beristirahat.
Tak lama kemudian, ketiganya tampak sudah
duduk di bawah sebuah pohon yang begitu rindang-
beristirahat sambil menikmati pemandangan yang

166
begitu mempesona. Namun belum lama mereka
beristirahat, tiba-tiba Bobby merasakan setetes air
yang mengenai wajahnya. Kemudian dengan serta-merta, pemuda itu menyeka tetesan air itu seraya
mendongak ke atas-memperhatikan langit yang kini
sudah diselimuti awan mendung. "Wi, sepertinya mau
turun hujan. Ayo, kita segera mencari tempat
berlindung!" ajak Bobby seraya bangkit dari
duduknya.
Dewi dan si Ibu tua yang duduk di sebelahnya
juga segera bangkit, kemudian mereka bergegas
mengikuti Bobby yang sedang mencari tempat
berlindung. Tak lama kemudian, hujan pun turun
dengan lebatnya. Saat itu, Bobby dan kedua wanita
yang bersamanya semakin berusaha keras
menemukan coakan yang bisa dijadikan tempat
berlindung. Namun sayangnya usaha mereka gagal,
hingga akhirnya mereka terpaksa terus berjalan di
bawah siraman hujan yang begitu lebat. Setelah
sekian lama berjalan, akhirnya mereka sampai di

167
sebuah jalan yang mendatar, namun jalan itu masih
berada di antara tebing dan jurang.
"Lihat itu, Wi!" Seru Bobby gembira. Di kejauhan,
dia melihat sebuah pondok yang berdiri tak jauh dari
persimpangan jalan.
"Itukah pondok yang dimaksud oleh Pak Dirman,
sebuah pondok yang ada di persimpangan jalan
antara Desa Cendana dan Desa Mahoni," sambut
Dewi Gembira.
"Betul, Wi. Tidak salah lagi. Ayo lekas kita
berteduh di tempat itu!"
Saat itu, kedua muda-mudi itu tampak begitu
senang. Selain akan mendapat tempat berteduh,
keduanya sudah sampai di persimpangan yang akan
mengecoh kedua anak buah Wangsa. Lalu dengan
bersemangat, Bobby dan Dewi tampak berlari menuju
pondok. Pada saat yang sama, tiba-tiba mereka
mendengar suara teriakan si Ibu tua yang ternyata
sudah cukup jauh tertinggal di belakang.

168
"Tunggu, Nak...! Kenapa kalian meninggalkan
Ibu???" teriak si Ibu tua itu lagi sambil terus berusaha
mempercepat langkah kakinya.
Bobby dan Dewi segera menghentikan lari
mereka, kemudian berdiri menunggu si Ibu tua yang
masih melangkah dengan tertatih-tatih. Tak lama
kemudian, "Aduh! Kenapa dengan kalian ini. Ibu kan
tidak bisa berlari secepat itu."
"Maaf, Bu. Kami terlalu gembira dan ingin segera
berteduh. Jadi...."
"Iya, Ibu maklum. Waktu masih muda pun, Ibu
juga seperti kalian. Maunya serba cepat dan agak
tidak sabaran."
Mendengar itu, Bobby hanya bisa tersenyum.
"Eng... Kalau begitu, mari kita segera ke pondok itu!"
ajaknya kemudian.
Belum sempat mereka melangkah, tiba-tiba dari
atas tebing terdengar suara gemuruh yang begitu
keras, kemudian di susul dengan siraman lumpur
jatuh di atas kepala mereka. Menyadari itu, seketika

169
Bobby berteriak, "Longsor! Cepat tinggalkan tempat
ini!"
Lantas tanpa buang waktu, ketiganya langsung
berlari menyelamatkan diri. Namun sungguh sangat
sayangkan, saat itu si Ibu tua terjatuh akibat licinnya
jalan. Mengetahui itu, Bobby dan Dewi mencoba
menolong. Pada saat yang sama, dari atas tebing,
longsor tampak semakin menjadi-jadi.
"Wi! Cepat selamatkan dirimu!" pinta Bobby tiba-tiba.
"Tapi Kak..."
"Sudahlah...! Cepat tinggalkan tempat ini!" pinta
Bobby lagi seraya berusaha memapah si Ibu tua yang
masih meringis kesakitan.
Sejenak Dewi memandang kekasihnya, lalu
dengan bimbang gadis itu segera berlari menjauh.
Pada saat yang sama, Bobby masih berusaha
memapah si Ibu tua agar bisa segera meninggalkan
tempat itu. Namun ketika mereka sedang berusaha
keras, longsoran tampak sudah semakin dasyat.
Menyadari itu, Bobby dan si ibu tua segera berlindung

170
di tepi tebing yang menjorok ke dalam, keduanya
tampak berusaha berpegangan pada sebilah akar
yang ada di situ. Bersamaan dengan itu, longsoran
dasyat tampak menimpa keduanya-mengalir
bersama air dan batu bagaikan aliran sungai yang
begitu deras. Kini keduanya sudah tak terlihat lagi.
Sementara itu di kejauhan, Dewi tampak terpaku
menyaksikan kejadian yang baginya tampak begitu
mengerikan. "Kak Bobbyyy...!!!" teriak gadis itu
histeris.
Gadis itu terus berteriak-teriak memanggil Sang
Kekasih, sampai akhirnya dia terduduk lemas dengan
air mata yang terus mengalir. Pada saat yang sama,
dari arah persimpangan, terlihat tiga orang lelaki
tampak berlari ke arahnya. Tak lama kemudian, "Ada
apa, Nak? Apa yang telah terjadi?" tanya salah
seorang dari mereka. Orang itu tampak sudah tua dan
berjenggot putih.
"Tolong, Kek... Me-mereka... " belum sempat
gadis itu meneruskan kata-katanya, tiba-tiba dia
melihat sesuatu yang bergerak-gerak di gundukan

171
longsor. Lantas tanpa buang waktu, gadis itu segera
bangkit dan berlari mendekat. Pada saat yang sama,
ketiga orang tadi segera berlari mengikutinya.
Kini dari gundukan longsor, sebuah tangan
tampak menyembul keluar. "Kak Bobby!" teriak Dewi
senang ketika mengetahui kalau itu adalah tangan
kekasihnya, kemudian dengan sekuat tenaga gadis itu
mencoba menggalinya.
Melihat itu, ketiga orang tadi segera
membantunya-mereka tampak berusaha keras
menggali tanah yang mengubur Bobby.
"Kak Bobbyyy...!!!" teriak Dewi tiba-tiba ketika
menyadari tangan kekasihnya sudah terkulai tak
bergerak. Bersamaan dengan itu, kecemasannya pun
tampak semakin menjadi-jadi, hingga akhirnya air
matanya kembali jatuh berderai.
Sambil berlinang air mata, gadis itu tampak
semakin berusaha keras untuk terus menggali dan
menggali. Begitu juga dengan ketiga orang yang
membantunya, mereka dengan tanpa kenal lelah terus
berusaha menggali dan menggali. Dalam hati, Dewi

172
terus berdoa kepada Tuhan agar menyelamatkan
kekasihnya. Tak lama kemudian, wajah Bobby sudah
terlihat. Saat itu, wajahnya yang tampan tampak
begitu pucat, tak ada tanda kehidupan.
Melihat itu, Dewi tampak terpaku, bibirnya
bergetar, dan air matanya kian bertambah deras. �Kak
Bobbyyy...� ucap Gadis itu pelan, kemudian dia
terdiam. Sepertinya gadis itu sudah tak mampu lagi
berkata-kata karena menahan kesedihan yang
teramat sangat.
"Syukurlah, dia masih hidup," ucap si Kakek
berjenggot putih tiba-tiba.
Mendengar itu, Dewi bagaikan terlena oleh
nyanyian bidadari yang begitu merdu, yang mana telah
membuai sukmanya hingga merasa senang bukan
kepalang. Dalam hati dia sangat bersyukur
mengetahui kekasihnya masih hidup, lalu dengan
bersusah payah gadis itu terus membantu ketiga
orang tadi untuk terus menggali dan menggali.
Sampai akhirnya mereka berhasil mengeluarkan
tubuh Bobby dari longsoran yang menguburnya.

173
Kini Dewi dan kedua orang pemuda yang
ternyata murid si Kakek berjenggot putih sedang
berusaha membersihkan sisa-sisa lumpur yang
menempel di tubuh Bobby, sedangkan si Kakek
berjenggot putih tampak duduk bersila di hadapan
tubuh yang tak berdaya itu sambil menggerakkan
telapak tangannya-naik-turun dan dibulak-balik
dengan perlahan, kemudian dengan serta-merta
kakek itu menempelkan telapak tangannya di dada
Bobby seraya menyalurkan tenaga dalamnya.
Selagi si kakek mengobati Bobby dengan
menyalurkan tenaga dalamnya, Dewi tampak
menceritakan perihal Ibu tua yang juga tertimpa
longsoran kepada kedua murid si Kakek. Kedua orang
itu tampak mengangguk-angguk mendengar cerita itu,
lalu salah satu dari mereka langsung membuka suara.
"Sungguh kasihan ibu tua itu. Kita tidak mungkin
bisa menyelamatkannya. Beliau tentu sudah hanyut
dan terkubur lumpur di dasar jurang. Bukan begitu,
Kang Darma?"

174
"Yang kau katakan itu benar, Dimas. Tidak
seperti pemuda itu, yang mampu perpegangan pada
sebilah akar sehingga tidak hanyut terbawa arus,"
sahut orang yang bernama Darma.
Saat itu Dewi tampak sedih ketika mengetahui si
Ibu tua tidak mungkin bisa diselamatkan, dan harus
meninggal dengan cara mengenaskan seperti itu.
"Kang Darma, sepertinya kakek Brata sudah
selesai," ucap Dimas memberitahu.
Pemuda bernama Darma itu segera menoleh,
begitu pun dengan Dewi. Kini ketiganya tampak
memperhatikan sang Kakek yang baru saja
mengobati Bobby. Kakek itu terlihat begitu lemas
karena telah menyalurkan tenaga dalamnya. Lantas
untuk memulihkan kembali tenaganya, kakek itu pun
segera bersila dengan kedua tangan yang bertumpu di
lutut. Namun belum cukup kakek Brata menghimpun
tenaga, lagi-lagi dari atas tebing terdengar suara
bergemuruh. Kemudian tanpa buang waktu, Darma
dan Dimas segera berlari sambil menggotong Bobby
ke tempat yang aman. Saat itu, Dewi juga ikut berlari

175
bersama mereka. Sementara itu, Kakek Brata yang
masih lemah berusaha bangkit untuk menyelamatkan
diri. Sungguh sangat disayangkan, belum sempat ia
berlari, sebuah batu besar yang tertinggal dari bekas
longsoran pertama menghantam punggungnya. Tak
ayal, batu sebesar kepala manusia itu telah membuat
si kakek tersungkur ke tanah. Mengetahui itu, kedua
muridnya lekas-lekas berlari untuk
menyelamatkannya, hingga akhirnya mereka berhasil
menghindari longsoran yang lebih dasyat dari semula.
Kini sang kakek sudah dibaringkan di tempat yang
aman, sepertinya dia mengalami luka dalam yang
cukup parah. Malam harinya, mereka terpaksa
menginap di pondok yang ada di dekat persimpangan.

Esok paginya, Bobby sudah sadarkan diri, memar
di tubuhnya sudah tak terasa sakit. Itu semua berkat
tenaga dalam yang telah disalurkan oleh sang kakek,
dan tentu saja atas seizin Sang Pencipta. Ketika

176
sadar, orang yang dilihatnya pertama kali adalah si
kakek yang kini tengah terbaring sakit, kemudian
Darma dan Dimas yang dilihatnya tengah duduk di
sebelah kakek itu. "Siapa kalian...?" tanya Bobby
heran ketika melihat mereka bertiga.
Dewi yang saat itu sedang duduk menyendiri
begitu senang mendengar suara itu, kemudian
dengan segera gadis itu berlari mendekat. "Kak
Bobby!" panggilnya seraya duduk bersimpuh di
sisinya, "Syukurlah.... kau sudah sadar, Kak."
Bobby menatap mata kekasihnya. "Siapa
mereka, Wi...?" tanyanya kemudian.
"Mereka orang-orang yang telah menolongmu,
Kak."
Kini Bobby kembali memandang ketiga orang itu.
Dia benar-benar bersyukur kepada Tuhan karena
telah diselamatkan dari maut, dan dia pun segera
berterima kasih kepada orang-orang yang telah
menolongnya itu. Kini pemuda itu tampak duduk
bersimpuh di sisi sang Kakek sambil memandangnya
dengan penuh prihatin, saat itu dia benar-benar sedih

177
melihat kakek itu tampak tak berdaya. Pada saat yang
sama, sang Kakek tampak memandangnya sambil
mencoba tersenyum. Kemudian dengan terbata-bata,
sang Kakek mulai berkata-kata, "Bo-bobby... itukah
namamu, Nak?" tanyanya pelan.
"Benar, Kek? Itulah namaku," jawab Bobby.
Kemudian sang Kakek tampak memandang ke
arah Dewi, "Dewi... kemarilah, Nak...!"
Dewi pun segera menghampiri, "Iya Kek. Ada
apa?" tanyanya kemudian.
Sang Kakek lagi-lagi berusaha tersenyum. "Nak
Bobby, Dewi...? Sekarang dengarkan kakek baik-baik!" pintanya kemudian.
Saat itu juga, sang Kakek mulai menceritakan
perihal dirinya. Sementara itu Bobby dan Dewi tampak
mendengarkannya dengan penuh seksama. Tak lama
kemudian, sang Kakek tampak berbicara dengan
salah satu muridnya yang bernama Darma, dia
meminta kepada muridnya itu untuk mengambilkan
sebuah bungkusan kecil yang mereka bawa. Setelah
Darma menyerahkan bungkusan itu, sang Kakek

178
kembali berkata-kata, "Nak... di dalam bungkusan ini
terdapat sebuah pusaka dan surat yang akan Kakek
amanatkan kepada kalian. Kakek mohon, sudi kiranya
kalian mau pergi ke rumah Adik Kakek yang tinggal di
Desa Mahoni! Desa itu terletak di balik bukit sebelah
utara. Dan Jika kalian sudah tiba di sana, berikanlah
surat dan benda pusaka ini padanya."
Kemudian kakek itu segera menyerahkan
bungkusan yang berisi selembar kulit hewan yang
tergulung dan sebilah keris berlekuk tujuh itu kepada
Bobby. Saat itu juga Bobby langsung menanggapinya
dengan kedua belah tangannya. "Baik, Kek. Kami
akan..." belum sempat Bobby melanjutkan katanya-katanya, tiba-tiba si kakek sudah menghembuskan
nafas terakhirnya.
"Inalillahi...," ucap Bobby sambil menitikkan air
matanya. Kata-kata yang sama juga diucapkan oleh
Dewi, dan kedua murid si Kakek. Setelah meletakkan
bungkusan yang dipegangnya, Bobby tampak
mengusap kedua mata kakek itu hingga terpejam.
Kemudian dia tampak mematung di sisi jenazah sang

179
kakek sambil berlinang air mata, dia benar-benar
merasa sedih akan kepergian kakek Brata yang sudah
begitu baik padanya.
"Sudahlah, Bob...! Bukahkah sebaiknya kau dan
kekasihmu itu berangkat sekarang! Biarlah jenazah
kakek Brata ini kami yang urus. Kami akan
membawanya ke Desa Cendana untuk segera
dimakamkan," pinta Darma seraya menutupi wajah si
kakek dengan selembar kain. Pada saat yang sama,
Bobby dan Dewi tampak berkemas-kemas untuk
mempersiapkan segala-sesuatunya.
Setelah berpamitan dengan kedua murid Kakek
Brata, Bobby dan Dewi segera bergerak menuju ke
Desa Mahoni untuk menyampaikan amanat terakhir si
Kakek. Mereka terpaksa membatalkan tujuan mereka
ke Desa Cendana demi untuk menyampaikan amanat
itu. Sebenarnya bisa saja Bobby menolak dengan
menceritakan perihal dirinya. Tapi karena dia merasa
berhutang nyawa, pemuda itu pun tidak mau
melakukannya. Sementara itu, tak jauh dari tempat
longsoran. Pak Gahar dan Pak Amir tampak

180
memperhatikan jalan yang tertutup longsor. Pada saat
itu, Pak Gahar terlihat kesal sekali karena tidak bisa
melalui jalan tersebut. "Kurang ajar! Terpaksa kita
harus lewat jalan lain, Mir."
"Kita Lewat mana, Har?" tanya Pak Amir.
"Dari hutan kera tadi, kita terpaksa harus lewat
jalur Selatan. Walaupun jauh, kita terpaksa harus
melewatinya, karena hanya itulah satu-satu jalan yang
bisa kita lewati."
Lalu dengan perasaan dongkol, Pak Gahar
segera mengajak temannya untuk berbalik arah dan
memacu kudanya melewati jalan memutar.
Sementara itu Bobby dan Dewi masih dalam
perjalanan. Mereka terlihat melangkah dengan
waspada-khawatir jika sewaktu-waktu orang yang
mengejar mereka akan melewati jalan itu.

Delapan

Menjelang siang, Bobby dan Dewi sampai di
sebuah lembah yang begitu indah. Langit di
atas kepala mereka terlihat agak mendung, awan
hitam yang berarak tampak mulai menyelimuti
angkasa. Di kejauhan terlihat bukit dimana Desa
Mahoni berada, di bawahnya tampak terhampar
pohon padi yang menghijau. Kini kedua muda-mudi itu
terlihat sedang berdiri di persimpangan jalan.
"Wi, kalau ini jalan ke mana ya?" tanya Bobby
tiba-tiba.
"Kalau tidak salah, jalan ini menuju ke Desa Jati,
Kak," jelas Dewi.
Bobby kembali memandang ke langit, kini dia
melihat awan hitam tampak semakin menebal.
Kemudian matanya memandang ke sebuah saung
yang berada di tengah-tengah sawah, jaraknya kira-kira lima ratus meter dari tempatnya berdiri.

182
"Wi? Sepertinya hujan akan segera turun, ayo
kita berteduh di saung itu!" ajak Bobby seraya
menggandeng lengan kekasihnya.
Kini kedua muda-mudi itu tengah melangkah
menyusuri pematang sawah, pada saat itu hujan
rintik-rintik mulai turun menyiram keduanya.
Menyadari itu, keduanya lantas segera berlari menuju
saung yang sudah tak begitu jauh. Namun belum
sempat mereka tiba di sana, tiba-tiba hujan turun
dengan lebatnya. Siraman air hujan itu sempat
membuat sebagian pakaian mereka menjadi basah
kuyup. Dan setibanya di saung, mereka langsung
duduk bersila di tengah balai yang terbuat dari bambu.
Kini mata keduanya tampak memandang ke arah
bukit, sejauh mata memandang hanya terlihat
pemandangan yang tertutup kabut. Sementara itu,
angin dingin tampak bertiup kencang, membuat
butiran hujan sesekali tampyas-menyiram kedua
tubuh yang kini sedang kedinginan. Dewi menggigil,
hawa dingin yang dirasakannya terasa menyeruak
hingga ke dalam tulang. Giginya yang putih bersih

183
bergemeretak menahan dinginnya hembusan angin,
sedang bibirnya yang mungil terlihat agak pucat-
bergetar bersamaan dengan gemeretak suara giginya.
Bobby pun mengalami hal serupa, kemudian dia
mendekap kekasihnya dengan erat. Pipinya tampak
menempel di wajah kekasihnya, dengan maksud
saling memberi kehangatan.
Gemuruh hujan terus terdengar hingga tengah
hari. Dan lambat-laun mulai mereda, bersamaan
dengan suara guntur yang terdengar semakin jauh,
hingga akhirnya hujan berhenti dengan diiringi suara
katak yang saling bersahutan. Namun begitu. kedua
muda-mudi itu masih saja saling berdekapan.
"Kak... ayo kita pergi dari sini!" Ajak Dewi dengan
bibir bergetar.
"Sabar, Sayang... kita tunggu hingga matahari
kembali bersinar," kata Bobby seraya memandang
mata kekasihnya dan menyiap rambut kekasihnya
hingga ke belakang telinga.
"Tidak Kak... kita harus segera meninggalkan
tempat ini," kata Dewi dengan tatapan penuh harap.

184
"Baiklah, Sayang... kalau begitu ayo kita pergi
dari sini!" ajak Bobby seraya berkemas-kemas.
Tak lama kemudian, keduanya sudah
melanjutkan perjalanan, melangkah bersama sambil
bergandengan tangan. Kini mereka sedang berjalan
menyusuri pematang, di kanan-kiri mereka terhampar
padi yang baru berusia satu minggu. Sementara itu di
atas kepala mereka, matahari sudah kembali bersinar,
cahayanya yang hangat menembus melalui pakaian
mereka yang basah. Bobby dan Dewi terus
melangkah, sesekali mereka tampak berlari kecil.
Hingga akhirnya mereka tiba di kaki bukit.
Kini mereka mulai menyusuri jalan setapak yang
mendaki. Sementara itu di saung tempat mereka
berteduh, terlihat sebuah sapu tangan putih yang di
sudutnya bertuliskan nama Dewi. Dan tak jauh dari
saung itu, terlihat dua orang penunggang kuda yang
sedang mendekati tempat itu. Kini kedua penunggang
kuda itu sudah berhenti persis di depan saung. Salah
satunya terlihat turun dan mengambil sapu tangan
yang tergeletak itu.

185
"Tidak salah lagi, mereka memang melintasi
tempat ini," kata Pak Gahar dengan sinar mata yang
berbinar-binar. "Ayo Mir kita lanjutkan perjalanan!"
ajak Pak Gahar seraya kembali naik ke atas kudanya.
Kemudian kedua lelaki itu segera memacu
kudanya masing-masing menyusuri pematang sawah
yang sempit. Sementara itu, Bobby dan Dewi masih
terus melangkah. Kini mereka telah tiba di lereng
bukit. Di kanan mereka tampak tebing terjal yang
berdiri kokoh, dan di kiri mereka terlihat pemandangan
lembah yang begitu indah.
"Lihat, Kak! Di depan ada jalan bercabang," seru
Dewi tiba-tiba.
"Benar, Wi. Ayo, kita segera ke sana!" ajak
Bobby seraya mempercepat langkah kakinya. Kini
mereka sudah berdiri di persimpangan itu, keduanya
tampak sedang bingung memilih jalan. Jalan yang
satu tampak landai mengitari lereng bukit, sedang
yang satunya lagi berupa undakan yang mendaki
tebing terjal.

186
"Kita lewat jalan yang landai saja, Wi.
Tampaknya jalan yang mendaki ini cukup sulit dilalui."
"Jangan, Kak! Sebaiknya kita lewati jalan yang
mendaki ini, hanya ini jalan yang aman untuk kita
tempuh. Aku yakin mereka tidak akan melalui jalan
ini."
"Tapi, Wi. Jalan ini tampaknya cukup berbahaya.
Aku mengkuatirkanmu, Wi?"
"Tidak apa-apa, Kak. Selain itu, tampaknya jalan
ini lebih dekat ke desa yang berada di atas bukit."
"Baiklah kalau begitu, kita akan melewati jalan
mendaki ini."
Belum sempat mereka melangkah, tiba-tiba
mereka mendengar suara derap kaki kuda mendekat.
"Kak! Jangan-jangan... itu Pak Gahar," ucap
Dewi resah.
Bobby memandang kekasihnya yang tampak
ketakutan, "Kalau begitu... ayo, Wi! Lekas kita
sembunyi!" ajaknya kemudian.
Lalu dengan segera, kedua muda-mudi itu
bersembunyi di balik semak yang berada di bawah

187
jalan setapak. Dan tak lama kemudian, kedua ekor
kuda yang ditunggangi Pak Gahar dan Pak Amir
tampak mulai melintas. Bobby dan Dewi tampak
menahan nafas. Lalu dengan perasaan berdebar,
keduanya terus mengamati kedua penunggang kuda
itu, hingga akhirnya mereka bisa bernafas lega karena
kedua penunggang kuda itu telah pergi jauh melintasi
jalan yang landai.
"Ayo, Wi! Mereka sudah pergi jauh!" ajak Bobby
seraya menggandeng lengan kekasihnya melewati
jalan yang mendaki, kemudian dengan sangat berhati-hati keduanya berusaha menyusuri undakan yang
menanjak.
"Pengang erat-erat tanganku, Wi!"
"Iya, Kak," ucap Dewi menurut.
Keduanya terus mendaki, menyusuri tebing terjal
yang licin dan tampak tidak bersahabat. Ketika hampir
melewati undakan terakhir, tiba-tiba Dewi tergelincir.
Gadis itu terpekik sambil terus berpegangan pada
tangan kekasihnya. Pada saat itu, Bobby tampak
berusaha keras menahan kekasihnya agar tidak

188
meluncur ke bawah. "Ayo Wi, pegang tanganku yang
satu lagi!" pinta pemuda itu seraya meraih tangan
Dewi yang satunya.
Sambil terus memegang kedua tangan Bobby,
Dewi tampak berusaha bangkit, hingga akhirnya gadis
itu bisa berdiri kembali di salah satu undakan. Saat itu,
wajah Dewi tampak sedikit pucat lantaran
keterkejutannya yang tak terkira. Tak lama kemudian,
kedua muda-mudi itu sudah kembali mendaki, mereka
terus mendaki dengan susah payah, hingga akhirnya
mereka sampai di tanah yang agak landai.
"Wi, sebaiknya kita beristirahat di tempat ini.
Lihatlah... sebentar lagi malam akan tiba. O ya,
bisakah kau membantuku mencarikan ranting dan
rumput kering. Aku sendiri akan mencari pohon yang
sesuai untuk tempat kita beristirahat."
Setelah berkata begitu, Bobby segera mencari
pohon yang dimaksud. Dan tak lama kemudian dia
sudah menemukannya. Kini dia sedang membuat alas
tidur dengan ranting beserta rumput-rumput kering
yang dicarinya bersama Dewi. Dia membuatnya di

189
atas pohon yang memang tidak terlalu tinggi. Hingga
akhirnya keduanya tampak menaiki pohon itu dan
beristirahat hingga pagi hari.

Pagi harinya, Dewi sudah terbangun. Betapa
terkejutnya dia ketika melihat seekor ular tengah
bergelantungan tak jauh dari tempatnya duduk. " Kak!
Ba-bangun, Kak. A-ada ular!" serunya panik.
Bobby pun segera bangun dan melihat apa yang
terjadi. Saat itu, seekor ular besar tengah merayap di
dahan tempat mereka beristirahat. "O... ular sanca.
Biarkan saja, Wi! Paling dia hanya mau lewat,"
katanya ringan.
Kini ular itu merayap begitu dekat dengan Dewi. "
Kak, tolong jauhkan ular itu, aku takut sekali," katanya
seraya memeluk pemuda itu.
"Tenang saja, Wi! Ular itu tidak akan
memangsamu, sepertinya dia sedang kenyang. Kalau

190
kau banyak bergerak seperti ini justru akan menarik
perhatiannya."
Dewi pun menurut, dia mencoba untuk tenang
dan tidak bergerak sama sekali. Sedangkan Bobby
tampak tenang-tenang saja, dia melihat ular itu
memang sedang kenyang dan tidak berbahaya.
Setelah ular itu menjauh, Dewi kembali melepaskan
pelukannya sambil terus memperhatikan ular yang
kian jauh merayap.
"Ayo, Wi! Kita sarapan! Setelah itu kita lanjutkan
perjalanan."
�Iya, Kak. Aku pun sudah lapar sekali,� kata Dewi
seraya mengeluarkan perbekalan yang mereka bawa.
Tak lama kemudian, keduanya tampak menikmati
sarapan dengan lahapnya. Setelah kenyang, mereka
terlihat duduk sambil berbincang-bincang.
"Kak, ngomong-ngomong... apa mereka sudah
sampai di Desa Mahoni?" tanya Dewi.
"Tentu saja, Wi. Mungkin saat ini mereka sudah
memasuki gerbang desa."

191
"Sayang sekali ya, Kak. Seharusnya kan mereka
pergi ke Desa Jati."
"Benar, Wi. Kita memang telah salah duga.
Tapi..."
"Tapi apa, Kak?"
"Kita masih mempunyai satu peluang, Wi. Jika
mereka tidak menemukan kita di Desa Mahoni,
mungkin mereka akan menyadari kekeliruannya,
hingga akhirnya mereka akan termakan tipuan kita."
Mereka terus berbincang-bincang, sampai
akhirnya mereka turun dari atas pohon dan
melanjutkan perjalanan. Sementara itu di Desa
Mahoni, Pak Gahar dan Pak Amir baru saja selesai
sarapan. Kini mereka sedang berbincang-bincang di
sebuah warung kecil tempat mereka sarapan. Pak
Gahar tampak begitu kesal karena orang yang
mereka cari tidak ada di desa itu. "Masa tidak ada
seorang pun yang melihat, seharusnya kan mereka
sudah tiba di desa ini," keluh Pak Gahar.
"Mungkin mereka memang belum sampai," duga
Pak Amir.

192
"Tidak mungkin, Mir. Menurut perhitunganku, jika
mereka berjalan kaki dari Desa Sengon ke desa ini,
seharusnya mereka itu memang sudah sampai.
Jangan-jangan..." Pak Gahar tampak berpikir.
"Jangan-jangan apa, Har?" tanya Pak Amir
penasaran.
"Jangan-jangan mereka menipu kita, Mir."
"Mereka siapa, Har?"
"Ya... kedua orang yang sedang kita cari itu."
"Bobby dan Dewi menipu kita, maksudmu?" Pak
Amir tampak bingung.
"Ya mereka pasti mencoba menipu kita. Kau
masih ingat kan, dengan sapu tangan yang kita
temukan di saung."
"Ya, aku ingat."
"Nah... sepertinya tidak mungkin sapu tangan itu
terjatuh begitu saja. Mereka pasti sengaja
meletakkannya. Bukan begitu, Mir?"
"Iya ya... terus..."
"Mereka ingin mengakali kita agar seakan-akan
memang pergi ke desa ini, yaitu dengan

193
meninggalkan jejak sedemikian rupa. Ya... seperti
tertinggal saja..."
"Terus... terus."
"Aku rasa mereka tidak menuju ke desa ini
maupun ke Desa Cendana, tapi menuju ke Desa Jati.
Bukankah saung tempat kita menemukan sapu
tangan itu hanya lima ratus meter dari persimpangan
ke Desa Jati. Mungkin saja mereka sengaja
meletakkan sapu tangan itu dan kembali lagi ke
persimpangan, kemudian langsung menuju ke Desa
Jati."
"Tapi kata Pak Kepala Desa Sengon mereka
pergi ke sini."
"Amir... Amir. Kau percaya? Mana mungkin orang
yang menjadi buronan memberitahu arah larinya
kepada orang lain."
"Iya juga ya, Har."
"Ha ha ha...! Mereka memang cerdik, tapi
mereka tidak bisa mengakali aku yang sudah malang-melintang di dunia tipu-menipu," kata Pak Gahar
sombong.

194
"Kau memang pinta, Har," kata Pak Amir memuji.
Pak Gahar semakin tinggi hati dipuji seperti itu,
dia terus saja membangga-banggakan dirinya.
"Ayo, Mir! Kita berangkat sekarang!"
"Mari, Har!"
Keduanya lantas bergegas menuju ke kuda
masing-masing, dan tak lama kemudian mereka
sudah memacunya menuju ke Desa Jati. Sementara
itu, Bobby dan Dewi masih dalam perjalanan ke Desa
Mahoni. Mereka berjalan sambil berbincang-bincang.
"Kak, tipuan kita kemarin dengan sapu tangan itu
kan tidak berhasil. Ternyata Pak Gahar memang
menyangka kita pergi ke Desa Mahoni. Bagaimana
jika peluang yang kau katakan tidak terbukti?"
"Kita berdoa saja, Wi. Semoga Pak Gahar
termakan tipuan kita. Semula aku memang telah salah
duga. Kupikir dia itu pintar, tapi ternyata sangat bodoh,
dia percaya saja dengan sapu tangan itu. Seharusnya
jika dia pintar, dia pasti akan langsung menuju ke
Desa Jati setelah menemukan sapu tangan yang
sengaja kita letakkan di Saung. Semoga kali ini dia

195
pintar. Jika dia tidak menemukan kita di desa itu, dia
akan menyadarinya dan langsung menuju ke Desa
Jati."
Mereka terus melangkah sambil berbincang-bincang. Menjelang tengah hari, akhirnya mereka tiba
di gerbang desa. Kini mereka sedang melangkah
menuju warung tempat Pak Gahar dan Pak Amir
sarapan.
"Permisi, Pak! Apa Bapak melihat dua orang
penunggang kuda datang ke desa ini?" tanya Bobby
kepada si pemilik warung,
"O... iya, Den. Tadi pagi, mereka sarapan di
warung ini. Mereka sedang mencari sepasang muda-mudi. Apakah yang mereka cari itu kalian?"
"Benar, Pak. Mereka memang mencari kami. O
ya, kalau boleh kutahu, ke mana arah mereka, Pak?"
"Kalau tidak salah dengar, tadi mereka
menyebut-nyebut Desa Jati, dan kalau dilihat dari arah
perginya sepertinya mereka memang pergi ke sana,
Den."

196
Bobby memandang Dewi dengan mata yang
berbinar, kemudian dia tersenyum kepada
kekasihnya. Dewi pun tampak tersenyum, dia begitu
senang mengetahui kalau tipuan mereka telah
termakan. Kini Bobby kembali bertanya kepada
Penjual tadi, "O ya, Pak. Aku mau ke rumah Kakek
Yuda, bisakah Bapak menunjukkan di mana rumah
beliau."
"O, tentu saja, Den. Ngomong-ngomong Aden ini
siapanya Kakek Yuda?"
"Bukan siapa-siapanya, Pak. Aku hanya diminta
mengantarkan amanat dari Kakek Brata."
"Kakek Brata!" kata pemilik warung agak terkejut.
"Benar, Pak."
"Tapi... kenapa tidak beliau sendiri yang kemari,
bukankah beliau yang akan memimpin upacara ritual
di desa ini?"
Bobby pun segera menceritakan perihal Kakek
Brata. Pada saat itu pemilik warung tampak sedih
begitu mendengar cerita itu. "Kasihan Kekek Brata,"
katanya dengan wajah yang terlihat berduka. "Kalau

197
begitu, aku akan mengantarkan Aden sampai ke
rumah kakek Yuda," katanya kemudian. "Mbok! Aku
pergi dulu ke rumah kakek Yuda!" teriaknya
berpamitan kepada istrinya yang sedang menggoreng
singkong.
"Iya Pak!" teriak si Istri.
"Mari, Den, Non!" ajak si Pemilik Warung kepada
Bobby dan Dewi.
Kini ketiganya mulai melangkah menuju ke
rumah kakek Yuda. Di tengah perjalanan, Bobby
tampak berbincang-bincang dengan si Pemilik
warung. "Pak? Tadi Bapak mengatakan akan ada
upacara di desa ini. Memangnya upacara ritual apa?"
tanyanya penuh keingintahuan.
"O, itu upacara pengusiran bala, Den. Di desa ini
setiap musim hujan selalu saja tertimpa bencana
longsor, untuk itulah diadakan upacara untuk menolak
bala."
"Kenapa orang-orang di desa ini masih percaya
dengan upacara seperti itu, Pak? Bukankah hal
seperti itu seharusnya sudah ditinggalkan?"

198
"Memang, Den. Sebenarnya banyak desa-desa
tetangga yang sudah meninggalkan upacara itu. Tapi
karena di desa ini sering terjadi longsor, mau tidak
mau upacara itu harus dilaksanakan."
"Memangnya hal seperti itu dibenarkan menurut
ajaran agama?"
"Wah, kalau soal itu. Aku juga tidak tahu, Den.
Aku sendiri juga bingung, soalnya ada banyak
pendapat mengenai hal itu."
Setelah menempuh perjalanan yang tidak begitu
jauh, akhirnya mereka tiba di rumah kakek Yuda. Kini
mereka tengah duduk bersama si kakek di sebuah
teras yang begitu teduh. Saat itu Bobby langsung
menceritakan perihal kakek Brata yang telah
meninggal dunia, kemudian langsung memberikan
amanat yang dibawanya.

Malam harinya, upacara pengusiran bala pun
dimulai. Bobby dan Dewi menyaksikan ritual itu

199
dengan antusias. Di atas sebuah altar kayu, kakek
Yuda terlihat menggenggam keris berlekuk tujuh.
Sementara itu di atas altar tergeletak seekor domba
yang siap dikorbankan. Setelah membaca mantra-mantra, kakek Yuda segera menghujamkan kerisnya
pada domba yang terikat erat. Kemudian darah yang
mengalir dari domba itu segera ditampung ke dalam
sebuah bejana perunggu yang memang sudah
dipersiapkan. Setelah mengucapkan mantra-mantra,
sang Kakek terlihat membawa bejana itu keliling desa
dengan diiringi beberapa orang pembawa obor,
kemudian beliau tampak menumpahkan darah itu ke
setiap sudut desa.
Kini sang Kakek sudah kembali ke depan altar
dan kembali membaca mantra-mantra, dan tak lama
kemudian beliau memerintahkan kepada beberapa
orang untuk mengangkat domba yang baru
dikorbankan itu untuk dikubur di sebuah lubang yang
sudah digali di tengah desa. Setelah upacara selesai,
mereka segera kembali ke rumah masing-masing.

200
Saat itu, Bobby dan Dewi menginap di rumah
Kakek Yuda. Dewi yang sudah begitu mengantuk
langsung pergi tidur bersama cucu perempuan sang
Kekek di sebuah kamar yang cukup nyaman.
Sedangkan Bobby yang belum mengantuk tampak
masih bercakap-cakap dengan sang Kakek di ruang
tamu.
"Kek, kenapa ritual seperti itu masih
dilaksanakan?� tanya Bobby penasaran.
"Ini adalah sebuah usaha, Nak."
"Maksud Kakek?"
"Ya selain berdoa kepada Tuhan, kita juga harus
berusaha. Untuk itulah upacara tadi dilaksanakan?"
"Memangnya hal itu dibenarkan menurut ajaran
agama Islam."
"Itu tergantung kepada penafsiran masing-masing, Nak."
"Aku masih belum mengerti maksud, Kakek?"
"Begini, Nak. Untuk mempermudah
pemahamanmu, kakek akan mengumpamakannya
dengan sebuah jimat yang sering dipergunakan

201
sebagai penangkal bahaya. Biasanya jimat itu
digunakan dengan mengandalkan bantuan roh para
leluhur, seperti juga ritual tadi. Dengan bantuan roh
para leluhur hal-hal yang bisa membahayakan
manusia bisa dihindari."
Bobby tampak mengangguk-angguk
mendengarkan penjelasan Kekek Yuda. Kini dia bisa
memahami kenapa hal itu boleh dilakukan. Hingga
akhirnya, dia pun merasa tidak perlu bertanya lagi.
Dan setelah Kekek Yuda pamit tidur, pemuda itu
segera berbaring di atas tikar pandan yang sengaja
digelar untuknya. Kini pemuda itu tengah termenung-
memikirkan semua perkataan Kakek Yuda, "Apa
benar manusia boleh meminta bantuan kepada roh?
Lagi pula, apa iya roh itu benar-benar bisa berinteraksi
dengan manusia, padahal mereka sudah berada di
alam kubur? Setahuku yang bisa begitu hanyalah Jin
fasik, sebab orang yang sudah meninggal jelas sudah
terputus amalnya, jadi tidak mungkin diizinkan untuk
tolong menolong."

202
Bobby terus merenungi masalah itu, hingga
akhirnya dia terlelap karena kantuk yang tak
tertahankan. Malam itu terasa begitu dingin, karena
hujan baru saja turun dengan lebatnya. Suara guntur
terdengar berkali-kali memecah keheningan.

Keesokan paginya, Bobby dan Dewi sangat
terkejut begitu mengetahui kalau semalam telah
terjadi longsor, dan anehnya longsor itu sama sekali
tidak mengarah ke desa, longsoran itu berubah arah
menjauhi desa. Bobby dan Dewi cuma terpana
melihat keanehan itu, ternyata upacara yang telah
dilakukan kemarin telah membuahkan hasil. Memang
begitulah tipu daya setan dalam membodohi manusia,
membuat seolah Tuhan telah menolong mereka
dengan perantara arwah para leluhur. Dengan
demikian maka akan semakin yakinlah mereka, kalau
arwah leluhur itu memang benar-benar ada. Padahal

203
Islam sudah menegaskan kalau arwah orang yang
sudah meninggal tempatnya adalah di alam Barzah.
Sesungguhnya bencana itu sendiri adalah
perbuatan para Jin fasik, sebab jika manusia semakin
sesat maka energi mereka akan terserap oleh para
Jin fasik itu, hingga akhirnya membuat power mereka
kian bertambah kuat. Apalagi jika mereka dihormati,
dipuja-puji, dan diberi berbagai persembahan maka
kekuatan mereka pun akan semakin menjadi-jadi.
Di mata manusia yang tersesat, mereka itu di
anggap roh leluhur yang baik hati, tidak pernah
berdusta dan suka menolong. Padahal pada
kenyataannya, mereka yang membuat bencana,
mereka pula yang menanggulanginya, dengan
maksud semakin menyesatkan manusia. Jika power
mereka sudah semakin kuat dan iman manusia kian
melemah, maka manusia akan semakin bergantung
kepada mereka. Padahal, jika manusia mau
menggantungkan diri hanya kepada Allah, maka para
Jin fasik tak akan pernah mempunyai kekuatan apa-apa. Jangankan meruntuhkan gunung, menampakkan

204
diri saja mereka tidak akan sanggup. karena itulah,
orang yang tersesat akan lebih mudah melihat mereka
(saat menjelma sebagai roh leluhur) dari pada orang
yang tidak mempercayainya sama sekali.
Menjelang tengah hari, Bobby dan Dewi sudah
siap berangkat menuju ke Desa Cendana. Kini
keduanya sedang berpamitan dengan kakek Yuda.
"O ya, Nak Bobby... Ini ada kenang-kenangan
dari kakek, jagalah benda ini baik-baik!" kata kakek
Yuda seraya menyerahkan sebilah keris kecil berlekuk
tujuh yang panjangnya hanya 6 cm.
"Tapi Kek..."
"Sudahlah terima saja!"
"Baiklah, Kek. Terima kasih!"
Setelah menerima keris itu, Bobby dan Dewi
segera pamit meninggalkan desa. Kini kedua muda-mudi itu sedang dalam perjalanan, sinar mentari yang
cerah telah membuat jalan setapak yang mereka lalui
tampak mulai mengering. Sementara itu di Desa Jati,
Pak Gahar dan Pak Amir sedang berbincang-bincang.
Mereka sedang membicarakan buruan mereka yang

205
ternyata tidak ada di desa itu. "Brengsek! Mereka
memang licik," keluh Pak Gahar yang ternyata
menyadari dirinya telah diakali oleh buruannya. "Mir,
kau ada ide tidak?" tanyanya kemudian.
"Maaf, Har. Aku sama sekali tidak mempunyai
ide."
"Eng... Kalau begitu, bagaimana kalau kita
kembali ke Desa Mahoni?"
"Percuma saja, Har. Aku pikir mereka sudah
pergi dari desa itu."
"Kau benar, Mir. Bagaimana kalau kita menuju ke
Desa Cendana. Aku yakin mereka pasti pergi ke
sana."
"Jangan, Har! Sebaiknya kita ke Bandung saja.
Aku yakin, mereka pasti berniat pergi jauh, dan
mereka pasti akan membeli perbekalan di Bandung,"
anjur Pak Amir berusaha meyakinkan Pak Gahar.
Maklumlah, saat itu Pak Amir memang yakin sekali
kalau Bobby dan Dewi pasti menuju ke Desa
Cendana. Sebab di Desa Mahoni maupun di Desa Jati
memang tidak dijumpai tanda-tanda keberadaan

206
mereka. Dan karena hal itulah, Pak Amir yakin kalau
mereka memang benar-benar pergi ke Desa
Cendana.
"Kau benar, Har. Kalau begitu, ayo kita berangkat
sekarang!" ajak pak Gahar seraya memacu kudanya.
Saat itu, Pak Amir langsung mengikutinya di belakang.
Kedua penunggang kuda itu tampak
bersemangat, terus memacu kuda tunggangan
mereka menuju ke Bandung. Sementara itu, Bobby
dan Dewi masih dalam perjalanan.
"Kak, bagaimana kalau kita istirahat dulu! Saat
ini, aku sudah merasa lelah dan lapar."
"Iya ,Wi. Aku juga lapar sekali."
Kedua muda-mudi itu lantas mengeluarkan
perbekalan yang mereka bawa, kemudian
menikmatinya di bawah kerindangan sebuah pohon
besar. Setelah makan dan melepas lelah sejenak,
akhirnya kedua muda-mudi itu kembali melanjutkan
perjalanan. "Kak! Bagaimana jika kita tidak usah pergi
ke Desa Cendana.�
�Terus kita pergi ke mana, Wi?�

207
�Eng... Bagaimana kalau kita pergi ke Bandung
saja. Bukankah dari kota itu kita bisa pergi jauh."
"Kau benar, Wi. Aku khawatir, setelah mereka
mengetahui kita tidak berada di Desa Jati, mereka
pasti akan menuju ke Desa Cendana."
Akhirnya, mereka pun mengubah arah tujuan.
Kini mereka sedang melangkah menuju ke Bandung
dengan penuh bersemangat.

Sembilan

Esok malamnya, di sebuah penginapan yang
berada di Bandung. Dua orang lelaki tampak
sedang berbincang-bincang, mereka adalah Pak
Gahar dan Pak Amir yang baru saja selesai menikmati
santap malam.
"Mir, sekarang aku mau istirahat sebentar.
Sebaiknya sekarang kau pergi untuk mengetahui
laporan anak buahku yang ada di kota ini! Bukankah
tadi siang kita sudah menyebarkan foto Dewi pada
mereka." perintah Pak Gahar.
"Baik, Har. Sekarang juga aku berangkat," pamit
Pak Amir seraya bergegas pergi.
Kini lelaki itu sedang melangkah menuju ke
tempat anak buah Pak Gahar biasa berkumpul.
Betapa terkejutnya dia ketika melihat Bobby dan Dewi
tampak sedang makan di sebuah warung pinggir
jalan. Saat itu juga, Pak Amir langsung bergegas

209
menghampiri mereka dan menceritakan perihal Pak
Gahar yang juga berada di kota itu. "A-apa??? Ja-jadi
Pak Gahar berada di kota ini." Bobby tampak terkejut.
"Benar, anak muda. Sebaiknya sekarang juga
kalian pergi dari kota ini!"
"Tapi, Pak... sekarang kan sudah malam. Lagi
pula, kami terlalu lelah untuk melanjutkan perjalanan."
"Ya sudah kalau begitu, untuk sementara kalian
boleh istirahat malam ini. Tapi ingat, besok pagi kalian
harus cepat-cepat pergi."
"Baik, Pak. Kami akan secepatnya meninggalkan
kota ini."
"Nah, kalau begitu aku pergi dulu. O ya, aku
sarankan kalian berhati-hati, sebab anak buah Pak
Gahar banyak berkeliaran di kota ini."
"Baik, Pak. Terima kasih!"
Pak Amir segera melanjutkan niatnya, sedangkan
Bobby dan Dewi segera bersiap-siap mencari
menginapan. Ketika mereka sedang memesan
sebuah kamar, sepasang mata tampak mengawasi.
Rupanya seorang anak buah Pak Gahar yang

210
mengenal Dewi sedang menginap di tempat itu. Bobby
dan Dewi yang tidak menyadari akan hal itu tampak
tenang-tenang saja, mereka beristirahat di sebuah
kamar yang tidak terlalu besar sambil berbincang-bincang dengan santainya.
"Kak! Besok kita pergi ke mana?"
"Bagaimana kalau besok kita pergi ke Jakarta,
kau bisa tinggal di rumahku."
"Tapi, bagaimana jika mereka mencari kita ke
sana?"
"Kita tinggal di sana untuk sementara saja.
Setelah aku menambah perbekalan uang dan
keperluan lainnya, kita bisa pergi ke rumah temanku di
Palembang."
Kedua muda-mudi itu terus berbincang-bincang
mengenai rencana pelarian mereka. Dan ketika hari
sudah semakin larut, mereka lantas bergegas tidur.
Malam itu, Dewi tidur di atas tempat tidur, sedang kan
Bobby di lantai dengan beralaskan tikar lipat miliknya.

211
Esok paginya, Bobby dan Dewi sudah bersiap-siap meninggalkan penginapan. Namun belum
sempat mereka keluar penginapan, tiba-tiba mereka
sudah dihadang oleh beberapa orang yang
berperawakan kekar.
"Ha ha ha...! Sekarang kalian sudah tidak bisa ke
mana-mana lagi. Lebih baik menyerah saja!" kata Pak
gahar yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang mereka.
Mengetahui itu, Bobby dan Dewi tak punya pilihan
lain, mereka terpaksa menyerahkan diri. Kini mereka
tengah digelandang ke rumah orang tua Dewi yang
berada di Desa Sengon. Setibanya di sana, Bobby
langsung diperlakukan dengan tidak manusiawi.
Tubuhnya yang sudah tak berdaya karena perlakuan
kasar selama perjalanan, tampak terikat erat pada
tiang bambu yang berdiri kokoh. Sekujur tubuhnya
terus dihajar habis-habisan, bahkan telapak
tangannya sempat disiksa dengan disundut cerutu
sampai beberapa kali.

212
"Tolong hentikan, Ayah! Biarkan dia hidup...
biarkan dia hidup...!" ratap Dewi meminta kepada
Ayahnya.
"Terus... hajar dia! Biar dia tahu rasa!" seru sang
Ayah.
"Jangan ayah! Dewi mohon, hentikanlah!" Dewi
kembali meratap sambil berlutut dan memegang
tangan Ayahnya.
"Ayah... Dewi mohon, lepaskanlah dia! Dia tidak
bersalah Ayah, Dewilah yang telah memintanya untuk
membawa pergi dari desa ini. Ayah... lepaskanlah dia!
Dewi berjanji untuk menuruti semua keinginan Ayah.
Sekali lagi Dewi memohon, tolong hentikan...! Bobby
memang tidak bersalah..." Dewi terus memohon
dengan air mata yang terus berderai.
Mendengar ratapan Dewi yang begitu lirih,
akhirnya hati Sang Ayah tersentuh juga, "Baiklah...
ayah akan lepaskan dia. Tapi ingat, kau harus
menuruti kata-kata Ayah."
"Terima kasih, Ayah!" ucap Dewi dengan air
matanya yang masih saja berderai.

213
"Hei, hentikan! Biarkan dia pergi dari sini!" seru
ayah Dewi lantang.
"Tapi, Pak..."
"Sudahlah...! Biarkan saja dia hidup!"
Tak lama kemudian, Bobby sudah dibiarkan pergi
dengan tubuh penuh luka. Saat itu, kedua matanya
tak bisa melihat jelas, semua itu akibat darah yang
menghalangi pandangan. Sambil menahan rasa sakit,
Bobby terus melangkah, berusaha keras mencapai
rumah Pamannya.
Setibanya di rumah sang Paman, Bobby tampak
terkejut. Dilihatnya semua perabotan yang ada di
rumah itu tampak hancur berantakan, suasana pun
tampak hening tak ada aktifitas. Belum hilang rasa
bingungnya, tiba-tiba seseorang datang menghampiri.
"Bobby... apa yang terjadi padamu, Nak?" tanya
orang itu prihatin melihat keadaan Bobby yang babak
belur.
Bobby tidak menjawab, dia menatap orang itu
dengan pandangan sedih. "Apa yang telah terjadi
dengan Paman dan Bibiku, Pak?" tanyanya kemudian.

214
"Tabahkan hatimu, Nak...!" kata orang itu seraya
membantunya duduk di sebuah gelondong kayu.
Kemudian dia melanjutkan kata-katanya, "Mereka
telah tiada, Nak. Beberapa hari yang lalu mereka telah
ditemukan dengan kondisi yang begitu
memprihatinkan."
"Siapa yang telah melakukan semua itu, Pak?"
"Aku sendiri tidak begitu tahu, tapi... menurut
kabar angin mereka dibunuh oleh anak buah
Wangsa."
Mengetahui itu, Bobby sudah tidak bertanya-tanya lagi. Kini airmatanya tampak berderai bersama
darah yang keluar dari kelopak matanya. Sungguh dia
tidak menduga, akibat melarikan anak gadis orang,
semuanya harus dibayar dengan kehilangan orang-orang yang selama ini dicintainya.

Esok malamnya, di langit tampak awan hitam
yang bergulung-gulung. Sekilas kilat membias dengan

215
diiringi bunyi halilintar yang menggelegar keras. Tak
lama setelah itu, hujan pun turun dengan disertai
angin kencang yang berhembus menerpa dedaunan
basah. Beberapa kali kilat kembali membias dengan
iringan guntur yang menggelegar keras. Saat itu,
udara terasa semakin dingin, terus menyebar
menyelimuti malam yang kelam.
Di dalam kamar, seorang gadis sedang
memandang ke luar jendela, kedua matanya yang
basah oleh air mata tampak menatap kosong ke
lebatnya hujan. Kini dia menggigit bibirnya, bersamaan
dengan itu, air matanya kembali mengalir. "Oh, Kak
Bobby... inikah takdir yang harus aku jalani. Besok
aku akan menjadi istri Wangsa dan..." Dewi
meneteskan airmatanya lagi, dia begitu sedih
membayangkan apa yang akan terjadi setelah
menjadi istri Wangsa. Sesekali kilat membias
menerangi wajahnya yang murung. " Kak Bobby... aku
akan selalu mencintaimu, cintaku hanya untukmu.
Wangsa hanya bisa memiliki tubuhku, tapi tidak
hatiku. Oh, Kak Bobby... Aku menyayangimu."

216
Dewi terus meratapi nasibnya, hingga akhirnya
dia bisa pasrah menerima semua itu. Sementara itu di
jalan tol, sebuah bis tampak melintas. Di dalam bis,
terlihat seorang pemuda yang sedang duduk sambil
memandang ke luar jendela, kedua matanya tampak
berkaca-kaca. Rupanya pemuda itu sedang dalam
perjalanan ke Jakarta.
Pemuda bernama Bobby itu terus menatap ke
lebatnya hujan yang senantiasa mengiringi
perjalanannya. Luka memar yang dideritanya masih
terlihat jelas, namun luka itu tidak sepedih apa yang
dirasakan di hatinya. Ingin rasanya dia membalas
semua itu, namun apa daya jika dia tak punya kuasa
apa-apa. Tidak seperti Wangsa yang memang sangat
berkuasa. Bahkan, hukum pun bisa dibeli dengan
uangnya.
"Oh Dewi... aku sangat mencintaimu. Selama
pelarian, banyak sudah kenangan indah yang kita
alami bersama, dan aku tidak akan bisa melupakan
semua itu. Wi... aku sangat sayang padamu, hatiku
begitu pilu jika membayangkanmu menjadi istri

217
Wangsa." Bobby meneteskan air matanya, dia benar-benar sedih membayangkan orang yang begitu
dicintainya akan diperlakukan tidak manusiawi oleh
Wangsa. "Oh Tuhan... apakah ini hukuman untukku
yang telah banyak berbuat dosa? Sehingga aku harus
merasakan penderitaan ini sebagai hukuman atas
dosa-dosa yang telah kuperbuat."
Tiba-tiba renungan Bobby buyar seketika, di
dalam bis berkumandang alunan tembang indah dari
Raihan-sebuah grup nasyid yang cukup terkenal dari
negeri Jiran Malaysia.
Wahai Tuhan... ku tak layak ke surga-Mu...
namun tak pula aku sanggup ke neraka-Mu...
ampunkan dosaku terimalah taubatku...
sesungguhnya Engkaulah pengampun dosa-dosa
besar.
...Dosa-dosaku bagaikan pepasir di pantai...
dengan rahmat-Mu ampunkan daku... oh Tuhan-ku...
Wahai Tuhan... selamatkan kami ini dari segala
kejahatan dan kecelakaan... kami takut kami harap

218
kepada-Mu... suburkanlah cinta kami kepada-Mu...
kamilah hamba yang mengharap belas dari-Mu...
Setelah mendengar tembang itu, Bobby
langsung termenung. Lagi-lagi airmatanya tampak
berderai, rupanya pemuda itu telah menyadari kalau
selama ini dia telah berdosa besar. Dia masih
mencampuradukkan antara yang hak dan yang batil,
larangan agama masih banyak yang dilanggar. Saat
itu juga Bobby segera bertaubat, memohon ampun
kepada Tuhannya, kemudian dia berharap untuk bisa
menyuburkan rasa cintanya, juga berharap bisa
mendapat belas kasih-Nya. Kini pemuda itu tampak
menadahkan tangan, meminta petunjuk kepada
Tuhan guna meraih cita-citanya.
Setelah menempuh perjalanan yang lumayan
lama, akhirnya Bobby tiba di Jakarta. Saat itu di
terminal Kampung Rambutan terlihat ramai. Orang-orang terlihat naik-turun dari bis kota, dan para
pedagang asongan tampak ramai menawarkan
barang dagangannya. Kini Bobby menaiki sebuah
angkot dan duduk di bagian belakang. Lama dia

219
menunggu, hingga akhirnya angkot itu berangkat
meninggalkan terminal Kampung Rambutan.
Setibanya di muka rumah, Bobby tampak
terkejut. Saat itu dia melihat rumahnya sudah hangus
terbakar, yang tertinggal hanyalah puing-puing yang
menghitam. Kini pemuda itu menatap kosong ke puing
bangunan yang menghitam itu, kesedihan yang
mendalam seketika terpancar di wajahnya yang kusut.
"Nak Bobby. Kaukah itu?" sapa seseorang tiba-tiba.
Bobby pun segera menoleh, dilihatnya seorang
lelaki tua tampak memandangnya dengan heran.
Ternyata orang itu ketua RT di kampungnya. "Apa
yang telah terjadi denganmu, Nak? Kenapa dengan
wajahmu?" tanya Pak RT prihatin.
"Ceritanya panjang, Pak," jawab Bobby, "O ya,
Pak. Sebenarnya apa yang telah terjadi dengan
rumahku? Apakah Ibuku baik-baik saja?" tanyanya
kemudian.
"Nak... Tabahkan hatimu! Terimalah semua ini
dengan penuh kesabaran. Karena Ibumu..." Pak RT

220
tidak melanjutkan kata-katanya. Matanya memandang
Bobby dengan penuh prihatin, kemudian kedua
tangannya memegang pundak pemuda itu. "Ibumu
sudah tiada, Nak?" katanya kemudian.
Mendengar itu, Bobby pun langsung
mengeluarkan air matanya. Dia benar-benar tidak
menyangka, ibu yang begitu dicintainya telah pergi
untuk selama-lamanya. Kini dia tampak melangkah
mendekati reruntuhan rumahnya, saat itu air matanya
tampak mengalir deras. Wajahnya yang murung
dengan duka mendalam, terus memandang ke arah
rumah yang sudah habis terbakar.
Kini Bobby telah hidup sebatang-kara-dia sudah
tidak punya siap-siapa lagi. "Ya Tuhan, kenapa hal
buruk selalu menimpa diriku. Setelah kekasihku
diambil orang, lalu paman dan bibiku terbunuh, dan
kini Kau mengambil ibuku-orang yang paling aku
cintai. Ya Tuhan, hukuman apa lagi yang akan Kau
timpakan padaku kemudian? Berilah aku petunjuk-Mu,
agar aku bisa tabah menghadapi segala cobaan ini,"
Bobby membatin.

221
"Sudahlah, Nak! Relakan saja kepergian ibumu!
Kalau kau ingin ke makam Ibumu, Bapak bisa
mengantarmu sekarang," kata Pak RT. Merasa iba
seraya menepuk-nepuk bahu pemuda itu.
Bobby tidak berkata-kata, dia terlihat cuma
menganggukkan kepalanya. Tak lama kemudian,
keduanya tampak sudah melangkah menuju ke tanah
pemakaman yang letaknya lumayan jauh. Setelah
lama berjalan, akhirnya mereka mulai memasuki area
pemakaman. Pohon-pohon kamboja tampak tumbuh
dengan suburnya. Terpaan angin yang lumayan besar
sempat membuat bunga-bunga di pohon itu jatuh
berguguran.
Bobby dan Pak RT terus melangkah melewati
deretan makam yang tampak tak terawat, hingga
akhirnya mereka tiba di sebuah makam yang
tanahnya masih terlihat kemerahan. Kemudian kedua
orang itu segera berjongkok dengan kedua tangan
menadah ke atas, mendoakan Ibu Bobby yang belum
lama meninggal dunia. Setelah itu, Pak RT

222
membiarkan Bobby seorang diri, dia sendiri segera
melangkah ke sebuah makam yang tidak terlalu jauh.
Di depan makan Ibunya, Bobby kembali
menangis. Dia benar-benar merasa kehilangan
seorang Ibu yang begitu dicintainya, "Bu... Maafkan
Bobby, Bu...! Bobby benar-benar menyesal karena
telah meninggalkan Ibu hingga jadi begini. Bobby akan
selalu berdoa agar Ibu tentram di alam sana, dan
Bobby akan selalu berdoa untuk Ibu...."
Derai air mata pemuda itu terus bercucuran, lalu
dengan lembut pemuda itu membelai pusara makam
Ibunya, "Bu... Bobby akan selalu melaksanakan apa
yang telah Ibu ajarkan selama ini, dan Bobby akan
selalu ingat pesan-pesan Ibu itu."
Bobby terus berada di makam ibunya, hingga
akhirnya Pak RT. Mengajaknya pulang untuk singgah
dan beristirahat di rumahnya.

Sepuluh

Semenjak kematian Ibunya, Bobby memutuskan
untuk berkelana ke luar negeri. Pemuda itu ingin
memperdalam pengetahuan agamanya di sebuah
negara yang konon menjadi salah satu tempat rujukan
yang baik untuk menuntut ilmu. Sebelum berangkat ke
sana, pemuda itu berniat pergi ke Malaysia untuk
transit dan menemui temannya yang ada di negara itu.
Karena tak mempunyai cukup uang, akhirnya Bobby
memutuskan untuk pergi ke Malaysia melalui jalur
laut, yaitu melalui Pulau Sumatera.
Lalu dengan berbekal seadanya, pemuda itu
segera berangkat ke Palembang. Di sana dia
langsung menemui temannya yang memang
berpengalaman dalam mengurus surat-surat yang
diperlukan. Dan temannya yang warga palembang itu
dengan senang hati mau membantunya. Setelah

224
semua surat-suratnya siap, akhirnya Bobby berangkat
ke Riau dan langsung berlayar ke Malaysia.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup
melelahkah, akhirnya Bobby tiba di dermaga Malaka.
Kemudian pemuda itu segera turun dari atas kapal
dan bergegas menuju ke terminal bis. Saat itu, orang-orang terlihat hilir-mudik dengan segala keperluannya
masing-masing, para pedagang tampak sibuk
menawarkan dagangannya kepada calon pembeli.
Bobby terus melangkah mencari bis kota yang
akan mengantarnya ke tempat tujuan. Dan setelah
dapat, pemuda itu segera masuk dan duduk
menunggu. Hingga akhirnya, bis yang ditumpanginya
mulai berangkat meninggalkan terminal. Dari dalam
bis, pemuda itu tampak terkagum-kagum melihat
keindahan bumi Melayu yang tampak elok. Hingga
akhirnya bis yang ditumpanginya mulai memasuki
kota tujuan, saat itu matanya tak henti-hentinya
memandang keindahan kota yang cukup bersih. Dan
bersamaan dengan itu, di dalam bis berkumandang

225
alunan tembang indah dari Raihan-sebuah grup
nasyid yang cukup terkenal di negeri itu.
Sebenarnya... hati ini cinta kepada-Mu...
Sebenarnya... diri ini rindu kepada-Mu... tapi aku tidak
mengerti... mengapa cinta masih tak hadir... tapi aku
tidak mengerti... mengapa rindu belum berbunga...
Sesungguhnya... walau kukutip semua permata
di dasar lautan... sesungguhnya... walau kusiram
dengan air hujan dari tujuh langit-Mu... namun cinta
tak kan hadir... namun rindu tak akan berbunga....
Kucoba mengguyurkan... semua hadiah kepada-Mu... tapi mungkin karena isinya tidak sempurna tiada
sering... kucoba menyiramnya... agar tumbuh dan
berbunga... tapi mungkin kerena airnya tidak sesegar
telaga Kautsar...
Sesungguhnya... walau kukutip semua permata
di dasar lautan... sesungguhnya... walau kusiram
dengan air hujan dari tujuh langit-Mu... namun cinta
tak kan hadir... namun rindu tak akan berbunga... jika
tidak mengharap rahmat-Mu... jika tidak menagih
simpatik... padamu ya Allah.

226
Tuhan... hadiahkanlah kasih-Mu kepadaku...
Tuhan... kurniakanlah rinduku kepada-Mu... moga
kutahu... syukurku adalah milik-Mu.
Sejenak Bobby merenungi kata-kata itu, hatinya
seakan bergetar dengan kedua mata yang tampak
berkaca-kaca. Dan tak lama kemudian, terdengar pula
tembang berikutnya.
Iman adalah mutiara... di dalam hati manusia...
yang meyakini Allah... Maha Esa... Maha Kuasa...
Tanpa-Mu iman bagaimanalah... merasa diri
hamba pada-Nya... tanpa-Mu iman bagaimanalah...
menjadi hamba Allah yang bertakwa...
Iman tak dapat diwarisi... dari seorang ayah yang
bertakwa... ia tak dapat dijual-beli... ia tiada di tepian
pantai...
Walau apapun caranya jua... engkau mendaki
gunung yang tinggi... engkau merentas lautan api...
namun tak dapat jua dimiliki... jika tidak kembali pada
Allah...
Bobby kembali merenung, airmatanya pun mulai
menetes. Kata-kata pada kedua tembang tadi

227
semakin membuka pintu hatinya untuk selalu
mendekatkan diri kepada Tuhan. Kini hatinya semakin
mantap untuk menuntut ilmu, karena tanpa ilmu tidak
mungkin dia bisa mengenal Tuhannya, dan jika tidak
mengenal Tuhannya bagaimana dia bisa
mendapatkan Mutiara Cinta-sebuah nikmat iman
sebagai wujud cintanya kepada Tuhan dan cinta
Tuhan kepada hamba-Nya.
Akhirnya Bobby tiba di tempat tujuan, yaitu di
sebuah pesantren tempat temannya menuntut ilmu.
Dalam waktu singkat, pemuda itu sudah menjumpai
temannya yang dulu pernah sama-sama kuliah di
Jakarta. Setelah saling melepas rindu, akhirnya
pemuda itu mulai menceritakan maksud
kedatangannya.
"O, begitu... Jadi, kau ingin menuntut ilmu di
Pakistan?" tanya Sapta memastikan.
"Benar, Ta. Aku ingin sekali memperdalam ilmu
agama di sana," jelas Bobby.
"Kalau kau ingin ke sana. Kau bisa pergi
bersama-sama dengan rombongan dari sini, mereka

228
akan ke sana untuk tujuan pertukaran metode
dakwah. Mereka bisa memberi bantuan dana untuk
mengurus segala surat-surat yang kau butuhkan."
"Benarkah yang kau katakan itu, Ta? Kapan
mereka akan berangkat?"
"Bulan depan, Bob. O ya, bagaimana kalau
sekarang kau kuperkenalkan dengan mereka."
Saat itu juga, Bobby langsung mengangguk
setuju. Dari wajahnya terpancar sebuah ekspresi
kebahagiaan yang tiada tara. Hingga akhirnya
pemuda itu bisa berjumpa dan berkenalan dengan
anggota rombongan. Dan dalam waktu singkat,
pemuda itu sudah terlihat akrab dengan mereka.
"Kalau kau memang ingin menuntut ilmu, kami
bersedia membantu dengan menyisihkan sebagian
uang yang kami punya," kata pimpinan anggota
rombongan.
"Sebelumnya aku ucapkan banyak terima kasih
karena Bapak dan teman-teman mau membantuku
untuk menuntut ilmu di sana," ucap Bobby tulus.

229
"Sudahlah, Nak. Terus terang, kami sangat
senang bisa membantumu. Karena pemuda sepertimu
memang sangat dibutuhkan untuk perjuangan umat,
dan karenanyalah kami tidak segan-segan untuk
menyisihkan uang kami untuk itu," kata pimpinan
anggota rombongan itu lagi.
Tiga minggu kemudian, Bobby mulai mengurus
visa ke Bangladesh dan memesan tiket pesawat.
Selama tinggal di Pesantren itu, sedikit banyak dia
telah mendapatkan beberapa pelajaran yang sangat
berharga.

Seminggu kemudian, rombongan itu berangkat
menuju ke Bangladesh dengan menggunakan
pesawat terbang. Setibanya di bandar udara Dhaka,
rombongan segera berangkat menuju ke sebuah
Pesantren di Kakrail. Dan setelah tinggal selama 45
hari di Pesantren itu, akhirnya rombongan
melanjutkan perjalanan menuju ke Citagong.

230
Kini rombongan itu sudah berada di stasiun
Tonggi. Dan setelah membeli tiket jurusan Tonggi-Citagong mereka pun segera menunggu di peron,
menunggu kereta yang akan tiba. Suasana saat itu
tampak benar-benar ramai dan penuh hiruk-pikuk.
Para pedagang tampak berjuang mengais rezeki
hampir di sepanjang peron, para tuna wisma pun tak
mau ketinggalan-mereka tampak meratap
mengharap belas kasihan.
Setelah agak lama menunggu, akhirnya kereta
yang menuju Citagong tiba dengan gagahnya. Kini
kereta itu sedang memasuki sepur dengan sangat
perlahan, di dalamnya terlihat para penumpang yang
berdesakan memenuhi gerbong. Setelah kereta itu
berhenti, sebagian penumpangnya tampak
berdesakan keluar, sedangkan yang mau naik tampak
berdesakan memasuki gerbong. Pada saat itu, Bobby
tampak berusaha menaiki gerbong yang sudah
semakin padat. Dan karena saling berdesakan, tiba-tiba saja sandal jepit yang dikenakannya terlepas.
Saat itu juga, Bobby langsung berusaha

231
mengambilnya kembali, kemudian dengan segera
pemuda itu berusaha menaiki kereta yang kini mulai
bergerak maju. Kini pemuda itu sudah berada di
dalam gerbong dan sedang mencari teman-temannya
yang sudah masuk lebih dulu.
"Bob, sini, Bob!" panggil salah satu teman
rombongannya yang melihatnya. "Kau ke mana saja,
sih?" tanyanya kemudian.
"Oh, tadi sandalku terlepas, dan aku berusaha
untuk mengambilnya."
"Untung saja kau tidak ketinggalan kereta, Bob.
Lain kali kalau sandalmu terlepas, biarkan saja. Kau
kan bisa beli lagi."
"Bukan itu masalahnya, Teman. Sandal itu kan
pemberian sahabatku, dan aku tidak mau menyia-nyiakannya."
Mendengar penjelasan itu, teman Bobby tampak
mengerti. Dia paham akan maksud pemuda itu. Jika
Sahabatnya memberikan sandalnya untuk Bobby yang
akan menuntut ilmu, tentu dia berharap pemberiannya
itu akan bermanfaat, dan jika dia ikhlas, tentunya dia

232
akan mendapatkan kebaikan setiap kali Bobby
mempergunakan sandal yang diberikannya untuk
tujuan yang baik.
"Minum tuan," tawar seorang pedagang di kereta
itu dengan bahasa Bangladesh.
Bobby tampak bengong, dia sama sekali tidak
mengerti apa yang dikatakan orang itu. Akhirnya
pedagang itu terus berlalu dan kembali menawarkan
dagangan kepada penumpang yang lain. Di
Bangladesh Bobby sangat berhati-hati untuk membeli
makanan, karena dia belum tahu apakah makanan
yang dijual itu haram atau tidak. Karena kata teman-temannya, pedagang di situ kebanyakan non muslim.
Kini Bobby memandang keluar jendela.
Hamparan sawah yang terbentang luas tampak
menghijau, dan sesekali dia melihat sungai kecil yang
berair keruh. Selanjutnya kereta api melewati rawa-rawa yang sama sekali tidak indah, perjalanan
memang terasa sedikit membosankan. Pemandangan
yang dia lihat hampir sama dengan yang ada di

233
negerinya, namun begitu Bobby mencoba untuk tetap
menikmatinya.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup
melelahkan, akhirnya rombongan tiba di stasiun
Tonggi. Kini rombongan itu sudah turun dan tengah
berjalan menuju ke sebuah bis kota. Bis itu benar-benar penuh, semua penumpangnya terlihat
berdesakan. Di atapnya terlihat barang-barang yang
bertumpuk-tumpuk. Bukan hanya barang-barang, tapi
manusia juga berada di atap bis itu. Tiba-tiba dari arah
belakang bis, terlihat sebuah bis yang baru datang.
Lalu dengan segera rombongan menghampiri bis itu
dan berusaha menaikinya. Tak lama kemudian hal
serupa pun terjadi, bis penuh sesak-di dalam
maupun di atas bis. Dan setelah tak ada lagi yang
naik, akhirnya bis itu berangkat meninggalkan stasiun
dan berjalan menyusuri jalanan yang berdebu. Setelah
menempuh perjalanan cukup jauh, akhirnya
rombongan itu turun di sebuah desa miskin yang agak
terpencil.

234
Kini mereka tengah berjalan menyusuri jalan
yang menuju ke pemukiman penduduk. Di kejauhan
terlihat rumah-rumah tampak berjajar dengan warna
kelabu, hal itu dikarenakan rumah-rumah itu terbuat
dari tanah lumpur. Ada beberapa juga yang terbuat
dari anyaman bambu. Semuanya berbentuk persegi
dan tampak begitu sederhana, benar-benar rumah
orang miskin yang hidup serba kekurangan. Tak lama
kemudian, rombongan terlihat sudah memasuki
pemukiman penduduk. Mereka terus berjalan
menyusuri jalan setapak yang tidak diaspal. Orang-orang yang berada di luar rumah tampak
memperhatikan rombongan dengan mata penuh
tanda tanya. Orang-orang itu mengenakan pakaian
seperti halnya orang India. Berpakaian gamis dengan
menggunakan ikat kepala yang begitu khas.
Kini rombongan itu sampai di sebuah masjid yang
ada di desa itu. Masjid itu tidak terlalu besar, namun
dindingnya benar-benar tebal. Arsitektur masjid
tersebut hampir sama dengan masjid-masjid di

235
kebanyakan tempat. Kini rombongan tampak
beristirahat dan menunaikan ibadah di tempat itu.

Malam harinya, rombongan menginap di masjid
itu. Saat itu Bobby benar-benar heran, walaupun
orang-orang di kampung itu begitu miskin, mereka
mau datang ke masjid dan menyumbang makanan
yang terbilang cukup mewah. Malam itu, rombongan
dan masyarakat setempat makan bersama-sama,
hidangannya roti gandum dengan daging cincang
yang dimasak sedemikian rupa. Selain itu, ada pula
daging yang dipanggang dengan bumbu yang sangat
lezat. Minumnya pun susu kambing yang penuh
dengan gizi.
Selama Bobby berada di desa itu, dia belajar
banyak tentang kehidupan orang-orang yang tinggal di
situ. Walaupun mereka hidup miskin, tapi mereka
hidup dengan damai. Mereka tetap bersyukur dengan
kehidupan mereka yang memang sudah demikian.

236
Malah seorang petani yang hanya mempunyai satu
sapi rela menyembelih sapinya hanya untuk
menyambut para tamu yang memang mau bertukar
metode berdakwah ke desa itu. Petani itu tidak
memikirkan apakah besok dia dapat membajak
sawahnya lagi atau tidak, karena dia percaya Tuhan
pasti akan memberinya ganti dan pahala yang berlipat
ganda.
Selama Bobby tinggal di desa itu, dia
mendapatkan pelajaran yang begitu banyak, dia
menjadi mengerti akan kehidupan bermasyarakat
secara islami. Karena kehidupan di tempat itu
memang sangat bersahaja. Orang-orang di tempat itu
sangat peduli dengan agama yang dianutnya. Mereka
lebih mengutamakan hal-hal yang berhubungan
dengan agama ketimbang kehidupan duniawi.

Setelah 45 hari, akhirnya Rombongan
melanjutkan perjalanan ke Pakistan. Mereka

237
berangkat dengan menggunakan pesawat terbang.
Setibanya di bandara Karachi, rombongan segera
menuju ke stasiun kereta api di Karachi untuk pergi ke
suatu desa dengan menumpang kereta api yang
menuju Rewin.
Kereta terus melaju di atas relnya, debu-debu
tampak beterbangan mengiringi kereta yang terus
melaju. Bobby memandang keluar jendela. Sejauh
mata memandang hanya terlihat hamparan tanah
tandus yang berpasir. Pohon-pohon gurun tampak
tumbuh di tanah tersebut, semuanya hanya berupa
semak belukar. Hanya di sekitar oasis saja yang
tumbuh pohon-pohon kurma yang terlihat menghijau.
Tak lama kemudian, kereta tampak melintasi tepi
sungai Hindus. Saat itu, Bobby benar-benar takjub
melihat keindahan sungai itu, matanya tak berkedip
memandang sungai yang begitu lebar. Bobby terus
memandang keindahan sungai Hindus, mulutnya tak
berhenti memuji-muji kebesaran Tuhan.
Kini kereta melintasi peternakan. Peternakan itu
begitu luas, di tempat itu banyak sekali onta, keledai,

238
dan sapi. Semuanya terlihat gemuk dan sehat.
Beberapa orang terlihat tengah menggiring hewan-hewan itu masuk ke kandangnya. Beberapa wanita
berkerudung tampak membawa bejana air yang
diletakkan di atas kepala mereka.
Kereta terus melaju, sementara itu di dalam
kereta teman-teman Bobby terlihat sedang bercakap-cakap. Mereka membicarakan masalah agama,
sedangkan Bobby mendengarkannya dengan penuh
perhatian. Sesekali pedagang asongan melintas
menawarkan makanan dan minuman. Kini kereta
tampak memasuki bukit yang terbelah, di kanan-kirinya menjulang tebing-tebing terjal. Semak belukar
tumbuh hampir di sepanjang tebing, seekor ular derik
terlihat melintas di antara semak-semak yang rimbun.
Kereta terus melaju di antara tebing, hingga
akhirnya kereta itu tiba di stasiun Rewin. Dan setelah
menuruni gerbong, rombongan itu segera mencari bis
yang akan mengantar mereka ke tempat tujuan.
Seperti halnya di Bangladesh, keadaan serupa juga
terjadi di negara itu. Bis tampak penuh sesak

239
sehingga membuat mereka terpaksa harus
berdesakan lagi.
Setibanya di tempat tujuan, rombongan segera
turun dari bis dan langsung melangkah menuju ke
sebuah desa. Di kanan-kiri mereka hanya terlihat
gurun tandus-bahkan hampir sejauh mata
memandang. Pada saat itu, pakaian dan tas Bobby
sudah dipenuhi dengan debu pasir yang melekat di
sela-sela jahitan. Bukan cuma itu, pada sebagian
rambutnya yang tidak tertutup kopyah seakan terasa
begitu kaku. Hal itu dikarenakan debu yang melekat
pada rambutnya yang memang agak berminyak.
Kedua matanya terasa pedih dan terlihat memerah,
kulitnya yang putih pun terlihat kemerahan karena
terbakar teriknya sinar mentari.
Beberapa menit kemudian, rombongan sudah
sampai di desa yang dituju. Kini mereka tengah
disambut oleh orang-orang yang sepertinya sudah
sangat dikenal oleh kepala Rombongan. Pada saat
itu, kepala Rombongan langsung berpelukan dan sun
pipi kiri-kanan kepada orang-orang itu, kemudian

240
anggota rombongan yang lain juga melakukan hal
serupa, tak terkecuali Bobby. Sambutan yang begitu
hangat dan bersahabat itu sempat membuat Bobby
terharu. Pemuda itu merasakan sudah tidak ada
pemisah di antara mereka, walaupun mereka dari
negara dan kebudayaan yang berbeda. Bobby
merasakan sebuah ikatan persaudaraan yang begitu
kental-ikatan saudara sesama muslim.
Kehidupan orang-orang di desa itu tidak jauh
berbeda dengan kehidupan orang-orang muslim di
sebuah desa di Bangladesh yang begitu mencintai
agamanya. Mereka pun disuguhkan hidangan yang
terbilang istimewa. Setelah rombongan menikmati
makanannya, mereka beristirahat untuk
menghilangkan rasa lelah sepanjang perjalanan yang
mereka tempuh. Pada hari-hari selanjutnya, anggota
rombongan mulai melakukan kegiatannya untuk
pertukaran berdakwah di desa itu, mereka saling
bertukar informasi dan berbagi pengalaman tentang
metode dakwah yang mereka terapkan di negara
masing-masing.

241
Setelah waktu misi pertukaran metode dakwah
habis, akhirnya Rombongan berniat kembali ke
Indonesia. Sebelum pulang, pemimpin rombongan
menitipkan Bobby kepada salah seorang kakek yang
bersedia menampungnya. Dan Kakek itu pun sangat
berminat menjadikan Bobby sebagai muridnya.
Karena semasa muda, kakek itu pun gemar menuntut
ilmu hingga ke seluruh penjuru timur tengah. Dan
karena itulah kakek itu merasa berkewajiban
menurunkan ilmunya kepada orang yang memang
membutuhkan. Hingga akhirnya, Bobby diizinkan
untuk tinggal menetap di desa itu bersama sang
kakek yang bijak guna menuntut ilmu kepadanya.
Hari demi hari terus dilaluinya bersama sang
kakek, menuntut ilmu setiap saat dan tanpa kenal
lelah, hingga akhirnya pemuda itu bisa menyerap
sedikit ilmu yang diturunkan kepadanya. Dan
sekarang, bahasa setempat pun mulai lancar di
lidahnya.

Sebelas

Pada suatu hari, Bobby dan gurunya pergi untuk
menemui seseorang di sebuah gurun terpencil.
Mereka berdua mengarungi gurun tandus di tengah
teriknya sinar mentari. Mereka terus melangkah dan
melangkah. Sang guru tampak sudah terbiasa dengan
perjalanan seperti itu, dia tampak melangkah dengan
begitu santainya. Bobby yang baru pertama kali
mengarungi gurun yang begitu panas tampak sangat
kelelahan, keringatnya bercucuran membasahi tubuh,
lagi-lagi kulitnya yang putih mulai kemerahan terbakar
mentari. Beberapa kali Bobby mengelap peluh yang
terus bercucuran di wajahnya, dan sengatan sinar
mentari membuatnya merasakan dahaga yang amat
sangat. Sebentar-sebentar dia mengeluarkan tempat
minumnya, hingga akhirnya air minumnya habis tak
tersisa.

243
Ketika merasa haus lagi, Bobby pun mencoba
meminta kepada gurunya. "Kek aku haus sekali,
bolehkah aku meminta air minum Kakek?" pintanya
seraya menelan ludah untuk membasahi lehernya
yang terasa sudah begitu kering.
Sang kakek menoleh, lantas sambil geleng-geleng kepala dia tampak memperhatikan muridnya
yang tampak sudah begitu kehausan. "Bob, bukankah
kita sudah membawa minuman sendiri-sendiri. Lalu
kenapa kau masih meminta kepada Kakek?" tanyanya
kemudian.
"Minumanku sudah habis sepuluh menit yang
lalu, Kek."
"Itulah akibatnya jika kau terlalu serakah dan
tidak mau berhemat."
"Kek, perjalanan ini benar-benar melelahkan, dan
aku tidak mungkin bisa bertahan tanpa banyak minum
air."
"Jika, Kakek bisa. Kenapa kau tidak?"

244
Bobby terdiam, dia merasa sang Kakek berkata
benar. "Jadi aku harus bagaimana, Kek? Sedangkan
kerongkonganku sudah terasa begitu kering."
Sang Kakek tidak menjawab, beliau malah
melangkah pergi.
"Kek, kenapa Kakek malah pergi?" tanya Bobby
seraya mengikutinya.
"Kau harus menahannya, Bob! Seharusnya
disaat seperti itulah kau mempergunakan air
minummu-di saat lehermu seakan tercekik karena
merasakan haus yang teramat sangat."
Bobby tidak berkata-kata lagi, sebab percuma
saja jika bicara pada gurunya yang agak keras itu.
Biarpun Bobby terus meratap, beliau pasti tidak akan
memberinya minum. Mereka berdua terus melangkah,
namun belum sampai lima menit melangkah tiba-tiba
Bobby sudah terjatuh, dia benar-benar sudah tidak
kuat lagi menahan dahaga yang teramat sangat.
Mengetahui itu, sang Kakek pun langsung
memberikannya minum. Pada saat itu, Bobby
langsung meminumnya dengan begitu rakus.

245
Menyadari itu, sang Kakek buru-buru menyambar
tempat minum miliknya hingga terlepas dari
genggaman Bobby. "Belum lama Kakek sudah
memberi tahumu agar kau jangan serakah, kini kau
sudah lupa," katanya seraya menutup rapat tempat
minumnya.
"Kek, hausku belum benar-benar hilang."
"Sabarlah, Bob. Kau jangan terlalu serakah!
Tunggu sampai lehermu kembali terasa tercekik. Kau
memang perlu belajar sabar, agar kau bisa menahan
diri dari segala keinginanmu yang begitu menggebu-gebu."
Bobby tidak berkata-kata lagi, dia terus mengikuti
gurunya melangkah dan melangkah. Jika dia merasa
lehernya tercekik barulah dia meminta air kepada
sang Kakek. Bobby kini menyadari betapa pentingnya
bersabar agar bisa berhemat guna bisa bertahan
hidup, kalau saja dia dan gurunya orang-orang yang
serakah tentu mereka sudah mati di tengah gurun
yang tandus.

246
Kedua lelaki itu terus melangkah hingga akhirnya
mereka sampai di sebuah oasis yang menghijau,
itulah tempat tujuan mereka-tempat tinggal sahabat
sang guru. Kini mereka tengah menghampiri
seseorang yang tengah duduk sambil memperhatikan
domba-dombanya yang terlihat meminum air di
sebuah kolam kecil. Melihat domba-domba yang asyik
minum di air yang jernih, Bobby pun segera berlari ke
arah kolam dan segera memuaskan dahaganya
bersama domba-domba itu. Pada saat itu, sang Guru
hanya geleng-geleng kepala sambil terus melangkah
menemui sahabatnya yang kini berdiri menyambut
kedatangannya.
"Assalamu�alaikum..."
"Walaikum salam...."
Sang Kakek dan sahabatnya tampak berpelukan,
kemudian mereka duduk bersebelahan. Tak lama
kemudian, Bobby sudah menyusul duduk di hadapan
mereka. Kini wajah pemuda itu sudah tak terlihat layu,
dan itu semua karena dahaganya yang sudah benar-benar hilang. Saat itu, sang Kakek langsung

247
memperkenalkannya dengan si Sahabat, dan
sepertinya sahabat kakek itu begitu menyukainya. Dia
melihat ada sesuatu yang terpancar di wajah pemuda
itu, sesuatu yang memang bisa diharapkan.

Malam harinya, Bobby dan gurunya menginap di
oasis itu. Mereka dijamu dengan makanan dan
minuman yang istimewa. Sepotong daging domba
kering yang diawetkan dan semangkuk susu domba
yang penuh dengan lemak dan protein. Itulah
makanan yang memang mereka butuhkan untuk
hidup di gurun yang begitu liar dan tidak bersahabat.
Setelah kenyang, ketiganya tampak beristirahat di
dalam sebuah tenda kecil.
Pada tengah malam udara terasa benar-benar
dingin. Walaupun Bobby sudah tidur di dalam tenda
dengan berselimutkan kulit domba yang cukup tebal,
pemuda itu masih saja merasa kedinginan. Kini dia
tampak memandang ke langit melalui celah jendela

248
yang tidak mempunyai penutup, bintang-bintang
terlihat indah berkelap-kelip menghiasi malam yang
dingin. Sampai akhirnya pemuda itu terlelap karena
lelah dan kantuk yang tak tertahankan.

Esok paginya, Bobby dan gurunya kembali
pulang, mereka kembali mengarungi gurun yang
tandus. Di dalam perjalanan mereka kembali
berbincang-bincang.
"Kek? kenapa sahabat Kakek itu tinggal
sendirian."
"Itu karena beliau mau lebih mendekatkan diri
kepada Sang Pencipta, selain itu beliau itu seorang
penulis yang karya-karyanya selalu mengajak kepada
orang untuk lebih mencintai Tuhan."
"Sejak kapan beliau memutuskan untuk tinggal
menyendiri."
"Sejak kematian istrinya yang paling dia cintai.
Semenjak itu dia memutuskan untuk tidak menikah

249
lagi, dia lebih suka hidup menyendiri dan lebih
mendekatkan diri kepada Sang Pencipta."
"Kenapa beliau tidak menikah lagi"
"Bob? Setiap orang itu berbeda-beda, beliau
merasa lebih baik tidak menikah karena beliau
memang mampu hidup sendiri. Beliau lebih
mengutamakan ibadah ketimbang kehidupan duniawi,
dengan hidup menyendiri beliau bisa mencintai
Tuhannya dengan sepenuh hati. Kalau sudah
demikian, Tuhan pun akan sangat mencintai dan
menyayanginya. Dengan demikian, semua ibadah
adalah kenikmatan, dan kenikmatan itu mampu
menyingkirkan segala kenikmatan duniawi yang
selama ini kita kenal. Jadi, kau tidak perlu heran jika
beliau lebih menyukai hidup sendiri. Sebenarnya
beliau tidak hidup sendiri, beliau hidup bersama
Tuhannya yang selalu berada sangat dekat
dengannya."
"Apakah untuk bisa seperti beliau harus
meninggalkan semua kehidupan duniawi?"

250
"Tidak juga, Bob. Itu semua tergantung kepada
manusianya sendiri, dan juga lingkungan tempat di
mana dia tinggal."
"Maksud Kakek?"
"Begini, Bob. Kalau seorang merasa mampu
untuk mendekatkan diri di tengah-tengah
kemungkaran, itu tidak menjadi masalah. Tapi jika
seseorang merasa terganggu, mau tidak mau dia
harus mencari tempat yang lebih baik. Karena tidak
semua orang mempunyai mental yang sama, dan
tidak semua orang bisa menjadi ikan di tengah lautan
yang tidak menjadi asin walaupun dikelilingi air yang
asin.
Setiap orang memang sudah mempunyai misi
masing-masing yang harus diemban dalam hidupnya,
dan itu memang sudah digariskan oleh Sang
Pencipta. Seperti beliau, Tuhan menentukan jalan
hidupnya demikian karena beliau mempunyai misi
menyampaikan pesan-pesan Tuhan melalui karya-karyanya.

251
Sedangkan Kakek sendiri mempunyai misi yang
lain lagi. Kakek mempunyai misi membantu orang-orang yang ingin mendekatkan diri kepada Tuhan
secara langsung, yaitu dengan cara berdakwah ke
tempat-tempat tertentu. Selain itu Kakek juga
membantu orang-orang yang ingin mencari tempat
yang mereka anggap tidak nyaman dalam
mendekatkan diri kepada Tuhan."
"Apa maksud Kakek dengan mencarikan tempat
yang mereka anggap tidak nyaman"
"Maksud Kakek mencarikan tempat yang lebih
baik, artinya mereka bisa mendekatkan diri kepada
Tuhan tanpa merasa tertekan."
"Seperti apa itu, Kek?"
"Sudahlah! Suatu hari nanti, kau pun akan
mengerti."
Mereka terus melangkah dan melangkah, hingga
akhirnya matahari tampak sudah berada di atas
kepala. Hal itu sempat membuat Bobby merasakan
dirinya bagaikan di neraka. Namun begitu, pemuda itu
masih bisa bertahan. Soalnya sekarang dia sudah

252
bisa menghemat air minumnya, dan dia sudah mulai
bersabar walaupun rasa haus terasa begitu menyiksa.

Di hari minggu yang cerah, sang Kakek
mengajak Bobby untuk menjemput seseorang yang
ingin mencari tempat yang lebih baik dalam
mendekatkan diri kepada Tuhan. Karena itulah, lagi-lagi mereka harus mengarungi gurun yang tandus.
"Kek sebenarnya kita mau ke mana?" tanya
Bobby seraya menutup tempat minumnya.
"Kita akan ke perbatasan untuk menjemput
seseorang dari Bangladesh."
"Seseorang dari Bangladesh?"
"Benar, Bob. Di negaranya, beliau sangat
dimusuhi oleh beberapa pejabat yang ada di
pemerintahan, dan karenanyalah beliau berniat pindah
ke Pakistan untuk mencari perlindungan."

253
Bobby sangat terkejut begitu mengetahui gurunya
akan menjemput seseorang yang masuk secara
illegal.
"Kek, apakah hal ini dibenarkan?"
"Kalau menurut hukum keimigrasian hal ini sama
sekali tidak dibenarkan, tapi kalau menurut Kakek
sah-sah saja. Orang boleh hijrah ke mana saja
selama tujuan hijrahnya untuk mendekatkan diri
kepada Sang Pencipta, karena seluruh muka bumi ini
adalah milik Tuhan dan karenanyalah seseorang
berhak pergi ke mana saja untuk mendekatkan diri
kepada yang memiliki bumi ini. Tentu saja jika hal itu
memang mendesak dan tidak ada cara lain yang bisa
dilakukan. Kita akan berdosa kalau tidak membantu
saudara kita yang dizalimi, dan itulah yang membuat
Kakek mau membantu untuk hal-hal semacam itu.
Kakek hanya mau membantu jika hal itu menyangkut
perjuangan untuk kepentingan Islam, dan Kakek tidak
akan membantu jika hal-hal itu menyangkut
kepentingan lainnya."

254
Menjelang petang mereka tiba di perbatasan, dan
tak lama kemudian orang yang dimaksud tiba dengan
beberapa orang yang mengantarnya.
"Assalamu�alaikum..."
"Wa�allaikum salam..."
Mereka semua tampak berpelukan dan sun pipi
kiri-kanan, selanjutnya Guru Bobby mengajak orang
yang dimaksud meninggalkan perbatasan, sedangkan
orang-orang yang mengantarnya kembali lagi ke
Bangladesh.
Bobby, sang Guru, dan seorang lelaki yang
bernama Mustafa tampak terus melangkah dengan
mengendap-endap, mereka berusaha menghindari
penjaga di perbatasan yang terkadang suka berpatroli.
Setelah sekian lama berjalan dengan mengendap-endap akhirnya mereka tiba di tempat yang aman. Kini
ketiganya tengah melangkah menyusuri gurun yang
gersang.

255
Malam harinya, mereka menginap di tengah
gurun. Pada saat itu, udara malam terasa begitu
dingin. Sementara itu di tengah kegelapan, hewan-hewan malam yang lapar sesekali terlihat merayap
mencari makan. Bahkan seekor tarantula tampak
merayap di dekat peristirahatan mereka.
"Sana pergi!" teriak sang Kakek mengusir
tarantula itu.
"Ada apa, Kek?" tanya Bobby.
"Tidak ada apa-apa. Hanya seekor tarantula yang
mau menghangatkan diri bersama kita."
Bobby agak bergidik mendengar kata tarantula,
hewan yang katanya bisa membunuh hanya dengan
sekali sengatan.
"Kek? Apa tarantula itu akan kembali lagi?"
"Ya... mungkin saja"
"Apakah dia akan menggigitku?"
"Kau tidak perlu takut, Bob! Hewan itu sama
sekali tidak berbahaya. Selama kita tidak
mengganggu, hewan itu juga tidak akan menggigit.
Hewan itu hanya menggigit bila dirinya merasa

256
terancam, dan dia akan menjauhi setiap makhluk
yang lebih besar darinya. Lihat saja tadi, begitu dia
melihat kakek yang lebih besar darinya, dia pun
langsung lari terbirit-birit."
Selama ini Bobby memang kurang mengerti betul
tentang prilaku hewan yang satu itu, tapi begitu tahu,
dia pun tidak merasa takut lagi.
"O ya, Kek. Ngomong-ngomong, di gurun ini ada
hewan apa lagi?"
Banyak sekali, Bob. Ada kadal, kalajengking, ular
derik, dan masih banyak lagi."
"Lihat itu, Kek? Hewan apa yang seperti itu. Aku
baru pertama kali ini melihatnya?"
"Di mana, Bob?"
"Di sana. Kek."
Begitu melihat hewan yang dimaksud, sang
Kakek langsung terdiam dengan mulut yang tampak
berkomat-kamit. Sepertinya dia sedang membaca
sesuatu.
"Ada apa, Kek? Kenapa kakek malah berkomat-kamit. Memangnya hewan apa itu ?"

257
Sang kakek masih tidak menjawab, dia terus saja
berkomat-kamit. Setelah hewan itu pergi barulah sang
kakek kembali bicara. "Bob itu yang dinamakan
Ankeset."
"Hewan apa itu, Kek"
"Ya... semacam hewan jadi-jadian."
"Apa! Di tempat ini ada hewan seperti itu?" Bobby
tampak terkejut.
"Banyak sekali, Bob. Tapi, mereka jarang sekali
menampakkan diri. Hanya kepada orang tertentu saja
mereka menampakkan diri. Sebenarnya mereka itu
para kesatria hitam dari Bangladesh, mereka adalah
jin fasik yang mempunyai power yang sangat kuat
lantaran mereka sering dipuja-puji dan diberi
persembahan oleh orang kafir Bangladesh.
Karenanyalah mereka mampu menampakkan diri di
hadapan kita. Kini kau tidak perlu khawatir, tadi kakek
sudah mendoakanmu agar dia tidak berani berbuat
macam-macam."
"Ja-Jadi dia mengincarku, Kek."

258
"Bukan... bukan begitu. Kau kan orang asing di
negeri ini, dan kakek rasa dia mau berkenalan
denganmu."
"Kalau cuma ingin berkenalan kenapa muka
kakek tadi begitu khawatir?"
"Sudahlah, Bob. Lupakan saja! Hewan itu tidak
akan macam-macam selama kau selalu mendekatkan
diri kepada Tuhan."
Tiba-tiba, Pak Mustafa yang sejak tadi terdiam
kini tampak berbicara dengan terbata-bata
"Ada apa, Saudaraku?" tanya sang Kakek
bingung.
"Di-di-disana. Li-lihat di sana!"
Sang kakek pun menoleh. Betapa terkejutnya dia
ketika melihat hewan yang tadi muncul kembali. Tapi
kali ini hewan itu tidak sendirian, dia muncul bersama
kelima temannya.
"Celaka...!" ucapnya sangat khawatir. Lantas
dengan segera dia membuat sebuah lingkaran
dengan tongkat kayunya, dan setelah itu dia mengajak

259
Bobby dan Mustafa untuk ikut masuk ke dalam
lingkaran yang dibuatnya.
Kini sang Kakek dan Pak Mustafa tampak bersila
dengan mulut terus berkomat-kamit, sedangkan
Bobby tampak memperhatikan mereka. Sementara itu
di kejauhan, keenam hewan jadi-jadian itu tampak
sedang bergerak mendekat, dan begitu tiba di dekat
lingkaran hewan-hewan itu pun berhenti. Bobby
ketakutan bukan kepalang, dalam hati dia menduga
hewan-hewan itu pasti sedang mengincarnya. Kini
Bobby terpejam, dalam hati pemuda itu terus berdoa
kepada Tuhan agar melindunginya. Pemuda itu tak
henti-hentinya membaca ayat-ayat yang pernah dia
pelajari. Sesekali dia membuka matanya, dan keenam
hewan yang seperti anjing dengan tanduk yang
melingkar-lingkar masih saja mengawasinya.
Pandangannya tampak buas dengan sorot mata yang
begitu tajam. Bobby pun kembali terpejam, kali ini dia
tidak berani lagi untuk membuka matanya.
Setelah agak lama, hewan-hewan itu pun pergi
menjauh, dan sang kakek tampak lega melihatnya.

260
"Bob! Hewan-hewan itu sudah pergi" katanya seraya
menepuk bahu muridnya.
Bobby segera membuka kedua matanya, saat itu
dia merasa lega sekali. Dan dia begitu bersyukur
karena Tuhan masih melindunginya. "Kek, apakah
mereka sudah benar-benar pergi, dan apakah nanti
mereka kembali lagi? Jangan-jangan nanti malah
tambah banyak."
"Kau tidak perlu khawatir, Bob. Ternyata mereka
memang hanya ingin mengenalmu. Tadi kakek
sempat bicara pada mereka, dan mereka mengatakan
bahwa salah satu dari bangsa mereka menderita di
dalam keris kecil milikmu. Kini mereka tidak akan
mengganggu lagi, karena kakek sudah berjanji untuk
membebaskan bangsa mereka yang ada di keris itu.
Nah... sekarang berikan keris itu kepada kakek!"
Saat itu juga Bobby langsung mengeluarkan keris
miliknya. "Tapi, Kek... Ini adalah keris kenang-kenangan yang diberikan padaku. Apa benar keris ini
ada penunggunya?."

261
"Keris itu memang ada penunggunya, Bob. Dan
dia sangat menderita karena dipaksa untuk selalu
bersamamu, sebaiknya dia harus segera dilepaskan."
"Ini, Kek," katanya seraya menyerahkan keris
kecil pemberian kakek Yuda.
Begitu sang kakek menerima keris itu, sang
kakek langsung membaca sesuatu, dan mendadak
keris itu lenyap dari telapak tangan sang Kakek.
"Nah sekarang dia sudah pergi, Bob. O ya,
kenapa kau tidak mengatakan kepada kakek kalau
kau mempunyai keris yang ada penunggunya."
"Aku sama sekali tidak tahu, Kek. Ketika keris itu
diberikan, aku cuma diminta menjaganya. Itu saja."
"Ya sudah! Lain kali, jika kau diberikan sesuatu
yang seperti itu, sebaiknya kau tanyakan kepada
orang yang pintar (bukan dukun). Dengan demikian
kau bisa mengetahui, apakah berpenghuni atau tidak."
"Baik, Kek. Aku akan selalu ingat nasihat kakek."
"Kalau begitu, mari kita kembali beristirahat."
Akhirnya ketiga orang itu kembali beristirahat.
Kini mereka mulai merebahkan diri dengan

262
berselimutkan kulit hewan. Saat itu, udara malam
memang terasa semakin dingin, hingga akhirnya
ketiga orang itu terlelap karena kantuk dan rasa lelah.

Pagi harinya mereka sudah melanjutkan
perjalanan. Kini ketiganya tengah menyusuri gurun
sambil berbincang-bincang. "O ya, saudaraku. Apakah
kita akan sampai di desamu sore nanti?" tanya
Mustafa.
"Benar saudaraku? Sore nanti kita akan tiba di
gerbang desa. Tapi sebelum itu, kita akan pergi untuk
menemui sahabatku yang tinggal di tepi sungai
Hindus."
"Diakah orang yang akan mengurus surat-surat
untukku?"
"Benar saudaraku. Semoga kau bisa cepat
menjadi penduduk yang sah di negeri ini."
Mereka terus berbincang-bincang mengarungi
gurun yang panas, dan menjelang tengah hari mereka

263
tiba di tepi sungai Hindus. Kini mereka hendak
menumpang sebuah perahu kecil yang ditambat pada
sebuah pohon yang cukup besar. Setelah melepaskan
tali penambat, ketiganya segera menaiki perahu itu.
Sekarang mereka mulai menyusuri sungai sambil
menikmati pemandangan sungai Hindus yang begitu
indah.
Setelah dua jam perjalanan, akhirnya mereka tiba
di tempat kediaman sahabat Kakek. Kini mereka
terlihat sedang bercakap-cakap di dalam sebuah
ruangan.
"O, jadi dia ini muridmu?" kata Abu-sahabat
Kakek.
"Benar sekali, Saudaraku. O ya, apa si Hasan
sudah kemari?" tanya Kakek.
"Ya, dia sudah kemari. Setelah dia menitipkan
pesananmu, dia langsung pamit pulang."
"Kenapa dia langsung pulang?"
"Entahlah... tapi katanya dia ada urusan penting.
Tadi dia juga meminta sebuah jimat dariku."

264
"Dia meminta jimat, dan kau memberikannya
wahai saudaraku?"
"Ya tentu saja, seperti dia memang
membutuhkannya. Memangnya kenapa?"
"Ah tidak, tidak apa-apa."
"Kalau begitu, aku ambilkan dulu pesananmu itu
ya?"
Guru Bobby tampak mengangguk, kemudian dia
berbicara kepada Bobby yang terlihat sedang bingung.
"Bob, kenapa kau kelihatan bingung?
Sebenarnya ada apa?" tanya gurunya.
"Ah tidak ada apa-apa, Kek."
Sebenarnya Bobby sedang memikirkan masalah
jimat yang selama ini selalu menjadi pertanyaannya.
Ketika Bobby akan mengajukan pertanyaan, Abu
sudah kembali, dia membawakan pesanan untuk sang
Kakek.
"Baiklah saudaraku. Sekarang aku permisi dulu!"
pamit Kakek.
"Kenapa terburu-buru, saudaraku?" tanya Abu.

265
"Aku masih ada urusan lain yang harus segera
kuselesaikan."
"Ya sudah kalau begitu. O ya, Bob. Ini ada hadiah
dariku, sebuah jimat penangkal bahaya."
"Terima kasih, Kek!" ucap Bobby seraya
memakai jimat yang berupa kalung ke lehernya.
"Sudah ya saudaraku. Aku pergi,
Assalamu�alaikum..."
"Wa�allaikum salam..."
"Hai, saudaraku Mustafa! Mari kita pulang," seru
Kekek kepada Mustafa yang dari tadi menunggu di
muka rumah.
Dan tak lama kemudian, mereka tampak sudah
bergegas meninggalkan tempat itu. Kini mereka
sudah menumpang perahu untuk kembali pulang. Di
dalam perjalanan, sang Kakek langsung meminta
jimat yang diberikan kepada Bobby. "Bob, berikan
jimatmu itu padaku!" pintanya tidak main-main.
Bobby pun menurut, dia segera melepaskan
jimatnya dan memberikan kepada sang Kakek. Begitu

266
jimat itu diterima, sang kakek langsung membuangnya
ke tengah sungai.
"Kenapa, Kek? Kenapa Kakek membuangnya?"
"Kau tidak memerlukan itu, Bob."
"Kenapa yang lain boleh, aku tidak, Kek?"
"Kau jangan ikut-ikutan dengan mereka, Bob!
Kalau kau memang masih mau menjadi muridku,
ikutilah semua perkataanku."
"Baiklah, Kek. Tapi terus terang aku masih
bingung dengan masalah ini, bisakah Kakek
menjelaskannya?"
"Begini, Bob. Pada dasarnya jimat itu meminta
bantuan kepada jin untuk selalu menjaga kita, dan hal
itu sangat dilarang oleh Nabi kita Muhammad SAW."
"Iya, Kek. Aku juga sudah mengetahui hal itu, dan
yang masih membuatku bingung adalah kenapa hal
itu tidak diperbolehkan oleh Nabi."
"Bob, jimat itu dapat membuat orang menjadikan
seseorang takabur dan musrik. Sesungguhnya jimat
itu tak mempunyai kekuatan apa-apa, namun karena
ada Jin fasik yang memanfaatkannya, maka jin itu

267
tidak segan-segan membantu si pengguna jimat,
dengan maksud memperdaya si pengguna agar
menjadi syirik.
Ketahuilah, Bob! Sesungguhnya manusia itu
telah diciptakan lebih hebat dari Jin, buktinya adalah
Nabi Sulaiman AS yang mampu memerintah para Jin
lantaran beliau berkuasa atas jin-jin itu. Dan semua itu
lantaran beliau sudah mendapat izin dari Allah, dan
Allah akan senantiasa melindunginya dari tipu daya
Jin-jin itu.
Begitupun di zaman Rasulullah. Pada zaman
beliau, justru Jin lah yang meminta bantuan untuk
menyelesaikan segala urusan di kalangan mereka.
Waktu itu Nabi Muhammad SAW pernah mengutus
seorang sahabatnya untuk membantu saudara
mereka yang dari kalangan Jin untuk menyelesaikan
urusan itu. Dan hal itu semakin membuktikan bahwa
manusia memang mempunyai derajat yang lebih
tinggi ketimbang Jin. Karenanyalah, kita sebagai
manusia tidak sepantasnya meminta bantuan kepada
mereka. Hanya kepada Allah-lah kita wajib memohon

268
pertolongan. Jika Allah sudah berkehendak, maka
para malaikat akan dikerahkan-Nya untuk membantu
kita."
"Tetapi, kenapa Kakek mendiamkan saja orang
lain menggunakannya?"
"Sebenarnya Kakek tidak tinggal diam, Kakek
juga pernah bicara kepada mereka. Tapi karena
mereka mempunyai pandangan dan alasan tertentu,
jadi Kakek pun tidak bisa berbuat banyak. Yang
penting, tugas Kakek sudah dilaksanakan, yaitu telah
menyampaikan kebenaran itu, selebihnya Kakek
kembalikan kepada diri mereka masing-masing.
Kakek tidak mau berdebat soal itu, karena perdebatan
justru akan menambah kekerasan hati mereka."
Setelah sekian lama mereka mengarungi sungai
Hindus, akhirnya mereka tiba di tempat semula. Kini
ketiganya melanjutkan perjalanan untuk kembali ke
desa.

Dua Belas

Hari ini matahari bersinar seperti biasa, panas
dan membakar kulit. Bobby dan gurunya
kembali ke luar desa. Kali ini Bobby diajak gurunya
untuk menemui seorang yang menjadi pemimpin
sebuah laskar yang akan berjuang ke Afghanistan.
Setelah dua jam berjalan kaki, akhirnya mereka tiba di
tempat tujuan. Orang-orang terlihat berbaris dengan
rapi, mereka adalah para pejuang yang akan di kirim
ke Afghanistan.
"Zar! Ini uang dari masyarakat yang berhasil
dikumpulkan," kata si Kakek kepada Pimpinan Laskar.
"Syukurlah... akhirnya para sukarelawan bisa
juga berangkat menuju ke medan jihad."
Bobby masih menunggu sang guru yang tengah
berbicara dengan Pimpinan Laskar, dia menunggunya
di sebuah tenda kecil yang cukup nyaman. Setelah
sekian lama menunggu akhirnya sang Kakek

270
menemuinya di dalam tenda, kemudian tampak
mereka berbincang-bincang.
�Kek, aku dengar Rezim Taliban memberlakukan
hijab yang terlalu ekstrim?�
"Ya, itu karena Taliban ingin rakyatnya dapat
membeningkan hati ini dengan mudah, selain itu
Taliban juga ingin melindungi kaum wanita dan
memuliakan mereka. Ketahuilah, Bob... Setiap pria
yang sudah menginjak dewasa tentu akan
membutuhkan kebutuhan biologis. Karena itulah,
setiap kali mereka melihat sesuatu yang berbau
hasrat seksual, walaupun hanya sekejap, tentu akan
menimbulkan nafsu birahi, terutama pemuda
sepertimu. Ketahuilah, setiap pria normal memang
sudah ditakdirkan seperti itu."
"Lantas, bagaimana untuk bisa
mengendalikannya, Kek?"
"Dengan membuat kondisi yang lebih baik, yaitu
seperti yang diterapkan Taliban."
"Apakah mengucap Istigfar setiap kali kita
melihat hal-hal itu bisa membantu."

271
"Tentu saja. Hal itu sangat membantu. Sebab jika
kita selalu ingat Tuhan, tentu Tuhan juga akan selalu
melindungi kita dari hal-hal yang demikian. Tapi tidak
untuk mereka yang masih lemah iman, di mulut
mereka mengucapkan dengan fasih tetapi di hati
mereka tetap menikmatinya, dan yang terbaik adalah
dengan berzikir setiap saat, dengan berzikir pikiranmu
akan selalu dialihkan kepada Sang Pencipta. Karena
zikir memang dapat mengalihkan segala pikiran sesat
yang ada di setiap benak manusia."
"Kek? Mungkinkah kita bisa ingat Tuhan jika hati
kita belum bening?"
"Bisa saja tapi sangat sulit, tidak semua orang
bisa. Hanya mereka saja yang memang bersungguh-sungguh mau membeningkan hatinya dan tetap
berusaha untuk selalu memperjuangkan undang-undang yang bisa mendukung hal tersebut, dan
orang-orang seperti mereka akan mendapat ujian
yang sangat berat, kalau mereka tetap sabar mereka
akan tetap memperjuangkannya sampai akhir
hayatnya dengan cara yang baik, tapi kalau mereka

272
yang tidak sabar tentu akan melakukan dengan cara
yang keras, seperti merusak tempat-tempat yang
dianggap penyebar kemungkaran dan yang lebih
ekstrimnya lagi adalah yang seperti orang-orang
Amerika dan sekutunya tuduhkan sebagai Teroris."
"Kasihan sekali orang-orang itu, Kek?"
"Ya, dan yang paling kasihan dari orang-orang
yang ingin membeningkan hati adalah mereka yang
memilih hidup menyendiri, enggan keluar rumah dan
tidak mau bicara dengan siapa saja. Mereka
mempasrahkan hidupnya kepada Tuhan, dengan
hanya melakukan ibadah dan hidupnya
menggantungkan diri dengan orang lain, dan lebih
kasihan lagi adalah mereka yang menjadi orang gila
karena tidak kuat menahan segala beban di batinnya."
"Kek? Kalau begitu memang sulit sekali jika ingin
membeningkan hati di sebuah negara yang tidak
mempunyai undang-undang yang Kakek maksudkan.
Bisa-bisa aku juga akan bernasib seperti mereka,
soalnya di negaraku hampir setiap hari bisa melihat
hal-hal yang Kakek maksudkan bisa membuat hati ini

273
kelam dan keras membatu. Selama berada di
negaraku, nafsu birahiku sulit sekali diredakan, tidak
seperti di sini yang kondisinya masih bisa menahan
birahi."
"Ini kan di desa, Bob. Kalau di kota ya sama saja
dengan di negaramu. Tapi kau tidak perlu kuatir! Bila
lingkunganmu memang tidak memungkinkan, kau
bisa menggunakan cara-cara yang sedikit Kakek
ketahui."
"Bagaimana itu, Kek?"
"Menyendiri, tidak keluar rumah."
"Pasrah dan hidup menjadi seperti benalu, begitu
Kek?"
"Tidak, bukan begitu, Bob. Kakek tahu setiap
orang butuh makan, mau tidak mau kau harus
mencari uang agar bisa makan dan tidak menjadi
benalu."
"Jadi aku harus mencari pekerjaan yang lebih
sering di dalam rumah, begitu kan Kek?"
"Benar sekali, Bob. Dengan bekerja di rumah
akan mengurangi interaksi dengan hal-hal yang

274
merusak pandangan, seperti menjadi pekerja seni
misalnya."
"Apakah aku bisa, Kek?"
"Kenapa tidak, semua itu mungkin saja Bob,
tentunya jika kau mau bersungguh-sungguh berusaha
dan banyak berdoa. Tapi kalau kau tidak bisa menjadi
pekerja seni, kau bisa pergi ke tempat sunyi dan jauh
dari keramaian, seperti yang sahabat Kakek lakukan."
"Hidup sendirian dan bertahan hidup dengan
mengandalkan alam, begitu kan Kek?"
"Benar, Bob."
"Wah, Kek. Rasanya sulit juga, apa mungkin aku
bisa melakukan itu? Terus terang, aku takut sesuatu
mengancam diriku jika sendirian. Kalau hidup di
hutan, bisa-bisa aku malah dimakan binatang buas.
Kalau di gurun, tidak deh, Kek. Terlalu panas."
"Bobby... Bobby. Kau kan tidak sendirian, kau
selalu ditemani oleh Tuhan yang selalu melindungimu
di mana saja kau berada."

275
"Iya ya, Kek. O ya, Kek. Kalau membutakan
kedua mata kita atau dikebiri menurut Kakek
bagaimana?"
"Kakek tidak setuju dengan hal itu, karena itu
berarti menyianyiakan apa yang sudah Tuhan berikan
kepada kita. Hal itu bersifat permanen dan tidak bisa
dikembalikan lagi, jika kedua mata kita buta berarti
akan mengurangi kesempatan kita untuk bisa belajar
lebih jauh, dengan adanya mata kita akan lebih
mudah untuk mencari ilmu dan bekerja lebih baik. Jika
dikebiri berarti memutuskan keturunan, dan itu berarti
kita tidak mungkin bisa mempunyai penerus untuk
melanjutkan perjuangan kita kelak."
"Kek? Menurut Kakek, sebaiknya cara seperti
apa yang bisa kulakukan?"
"Itu terserah kepada keputusanmu. Kakek tidak
bisa menentukan apa yang terbaik, karena setiap
orang berbeda. Lakukanlah yang bisa kau lakukan,
dan jangan menjadi orang-orang munafik dengan hati
yang gelap. Pesan Kakek ikuti saja arus yang ada di
negaramu, tetapi kau harus meredam pandangan dari

276
hal-hal yang bersifat glamor dan membangkitkan
hasrat seksual, yaitu dengan tinggal dilokasi yang
lebih baik, selanjutnya berusahalah memperjuangkan
hak-hakmu seperti yang Kakek lakukan selama ini."
"Untuk menjaga pandangan yang bersifat glamor
mungkin masih bisa, Kek. Tapi, untuk menjaga
pandangan dari hasrat seksual rasanya agak sulit."
"Untuk itu kau harus menikah, Bob."
"Menikah? Kenapa harus menikah, apa tidak ada
cara lain lagi untuk meredam birahi?"
"Bisa, yaitu dengan berpuasa? Tapi karena
tingkat syahwat orang berbeda-beda, berpuasa belum
tentu mampu meredamnya. Karena puasa orang
awam berbeda dengan puasanya orang-orang yang
sudah bening hatinya. Jadi, jika yang tidak mampu
berpuasa di atas tingkatan orang awam, jalan satu-satunya memang harus menikah."
"Aku takut jika menikah, Kek."
"Kenapa mesti takut, Bob?"
"Aku takut nantinya akan menelantarkan istriku.
Kalau aku mempunyai penghasilan mungkin tidak

277
menjadi masalah, tapi jika tidak, tentunya akan
menimbulkan masalah."
"Bob, Tuhan itu Maha Pemurah. Kau pasti akan
mendapat rezeki jika menikah kelak. Walaupun hanya
sedikit rezeki, kau dan istrimu tetap akan bisa hidup."
"Itulah sulitnya, Kek. Sulit sekali mencari wanita
yang mau menerima kita apa adanya."
"Ya itu memang sulit jika di negerimu masih
banyak wanita yang mementingkan masalah
duniawi-wanita yang menuntut materi. Untuk
mengatasinya kau harus bekerja keras guna
mendapatkan uang, diiringi dengan doa dan berbuat
baik. Setelah semua tercapai dan mencukupi lekas-lekaslah menikah."
"Tapi Kek, mendapat pekerjaan dengan
pendapatan yang mencukupi juga sangat sulit
dilakukan."
"Kalau begitu, mau tidak mau kau harus mencari
istri yang benar-benar salehah, bukan sekedar luarnya
saja, tapi juga dalamnya. Karena dia akan bersedia
diajak hidup susah dengan alasan ibadah, dan

278
bekerjalah apa saja yang kau bisa kerjakan, yang
penting halal dan cukup untuk makan. Setelah kau
menikah, maka Insya Allah kau bisa meredam segala
pandangan yang menimbulkan birahi. Kemudian jalani
kehidupan seperti biasa, teruslah berusaha berbuat
baik dan perbanyak ibadah. Kalau kau tetap
konsisten, maka Insya Allah kau akan bisa mencapai
bening hati."
"Sanggupkah aku melakukan semua itu jika
hatiku masih kotor dan belum bening?" tanya Bobby
ragu.
"Cobalah semaksimal mungkin, dan jika kau
tidak bisa pasrahkan saja kepada Sang Maha
Pengasih Lagi Maha Penyayang! Biarlah Tuhan yang
akan memberi ganjaran setimpal untuk mereka yang
tidak mau membantu orang-orang yang ingin
membersihkan hati dengan alasan apapun."
"Hidup seperti benalu, Kek?"
"Ya mau apa lagi, kalau semua usaha sudah kau
lakukan semaksimal mungkin. Mau tidak mau kau

279
harus pasrah, dan setelah kepasrahanmu Tuhan pasti
akan membukakan jalan keluarnya."
"Baiklah, Kek. Aku akan renungkan semua kata-kata Kakek."
"Kalau begitu mari kita kembali ke desa!"
"Mari Kek!" Setelah berpamitan dengan pimpinan
para sukarelawan akhirnya Bobby dan gurunya pulang
kembali ke desa. Mereka terus melangkah melewati
gurun, hingga akhirnya mereka tiba di desa.

Setelah dua tahun menuntut ilmu akhirnya Bobby
berniat kembali ke negaranya. Saat ini dia sedang
duduk berhadapan dengan Sang Guru guna
mendengarkan petuah beliau yang mesti dia ketahui.
"Bob... Kakek berpesan, janganlah kau menjadi
takabur dan sombong dengan segala ilmu yang sudah
kau pelajari. Pergunakan dan amalkanlah ilmu yang
sudah kau dapat sesuai dengan perintah Allah, dan
ingat, janganlah kau mengajarkan ilmu yang belum

280
kau amalkan sendiri atau yang kau tidak tahu
realitanya. Ajarkanlah ilmu-ilmu yang memang kau
sudah tahu realitanya, atau ilmu yang kau sendiri
sudah mengalaminya. Untuk itu kau harus pandai-pandai dalam menjaga kebersihan hatimu, agar tidak
menjadi kotor dan akhirnya malah membuat kau
menjadi hina. Sampaikanlah segelintir ilmu yang kau
tahu dalam bentuk lisan maupun tulisan. Nanti kalau
kau sudah istiqamah, berjuanglah dengan sekuat
kemampuanmu di dalam jihad yang sesungguhnya,
yaitu berjuang mendirikan khilafah agar Islam benar-benar bisa menjadi rahmat untuk sementa alam."
"Insya Allah, Kek. Semua petuah Kakek akan
kuingat dan kulaksanakan dengan sebaik mungkin.
Untuk itu aku akan terus berusaha untuk selalu
mendekatkan diri kepada Allah dan akan selalu
berada di jalan-Nya."
Setelah mencium tangan gurunya, Bobby segera
bergabung dengan rombongan pendakwah. Kemudian
Rombongan itu bergerak meninggalkan desa untuk
kembali ke Malaysia. Orang-orang desa terlihat masih

281
berdiri memandang kepergian mereka, beberapa
orang terlihat melambaikan tangannya. Hembusan
angin yang cukup kencang terlihat menyapu debu-debu hingga beterbangan. Mentari yang kini condong
ke Barat sudah tidak terlalu menyengat, dan seekor
burung elang terlihat berputar-putar di angkasa.

Tiga Belas

Bandara Soekarno Hatta terlihat ramai, saat itu
Bobby baru saja keluar dari lobby utama. Ketika
hendak menumpang taksi, tiba-tiba saja matanya
tertuju kepada seorang gadis melayu yang sedang
berjalan dengan seorang pria bule, kedua orang itu
sedang berjalan ke arahnya.
"Li-lisa! Kau Lisa kan," sapa Bobby kepada gadis
itu.
"Kak Bobby! Apa kabar?"
"Hmm... baik. Kau sendiri?"
"Aku juga baik-baik. O ya, kenalkan! Ini suamiku,
Pieter."
Kemudian Bobby segera menjabat tangan Pieter,
"Senang berkenalan dengan Anda," katanya pelan.
"Aku juga," balas Pieter.
"Lis... bisa kita bicara berdua sebentar."

283
"Tunggu ya!" pinta Lisa seraya berbicara dengan
suaminya, "Sayang... boleh kami bicara berdua
sebentar!"
"Silakan...," izin sang suami seraya tersenyum.
"Terima kasih, Sayang!" ucap Lisa seraya
menghampiri Bobby. Kemudian keduanya melangkah
pergi menjauhi Pieter.
"Memangnya ada apa, Kak?" tanya Lisa.
"Maaf! Apa suamimu itu seorang muslim?"
"Tentu saja, Kak."
"Syukurlah... tadinya aku kuatir kau menikah
dengan pria yang bukan muslim. Maafkan aku Lis!
Aku telah berprasangka buruk."
"Sudahlah... aku bisa mengerti kok. O ya,
ngomong-ngomong bagaimana kabarnya Randy?"
"Randy? Wah, maaf Lis! Aku juga tidak tahu, aku
sendiri baru pulang dari Malaysia."
"Kapan terakhir kau bertemu dia?"
"Kira-kira dua setengah tahun yang lalu, Lis."
"Apakah saat itu dia sudah mempunyai kekasih?"

284
"Sudah. Lis. Namanya Yuli, dia seorang gadis
yang baik dan juga cantik. Sama sepertimu, Lis."
"Syukurlah... aku bahagia sekali mengetahui hal
itu."
"O ya, Lis. Aku sampai lupa... aku ucapkan
selamat ya, semoga kalian menjadi keluarga yang
sakinah mawadah warahma."
"Amin... Terima kasih, Kak! O ya, Kak.
Ngomong-ngomong... apa kau sendiri sudah
menikah?"
"Belum, Lis. Selama dua tahun ini aku menuntut
ilmu ke negeri orang, dan aku sama sekali belum
memikirkan hal itu."
"Kalau begitu, aku doakan semoga kau cepat
mendapat jodoh."
"Amin... Terima kasih, Lis!"
Tiba-tiba Pieter datang menghampiri, "Maaf
sayang... pesawat kita akan berangkat lima menit
lagi."
Lisa memandang suaminya seraya
menganggukkan kepala, kemudian pandangannnya

285
segera kembali ke arah Bobby. "Kak... maaf ya! Kami
harus segera pergi," pamit Lisa seraya tersenyum.
"Selamat jalan, Assalamu�alaikum..." ucap Bobby.
"Waalaikum salam..." balas Lisa dan Pieter
hampir bersamaan.
Kemudian suami-istri itu melangkah pergi.
Sejenak Bobby memperhatikan kepergian mereka,
kemudian dia pun melangkah pergi meninggalkan
tempat itu. Bobby sangat senang bertemu dengan
Lisa, dan dia begitu bersyukur karena mengetahui
Lisa sudah menikah.
Kini Bobby terlihat sedang menaiki sebuah taksi,
dia berniat kembali ke tanah kelahirannya-tempat
dimana Ibunya dimakamkan. Ketika sedang dalam
perjalanan, tiba-tiba dia mendengar azan Ashar
berkumandang. Lalu, dengan segera pemuda itu
menyetop taksi yang ditumpanginya dan melangkah
menuju ke sebuah masjid yang ada di dekat situ. Di
tempat itulah pemuda itu menunaikan sholat Ashar,
dan setelah itu dia berzikir dengan penuh hikmat.
Lama dia berzikir, sampai-sampai masjid pun kembali

286
sepi. Biarpun masjid itu sudah sepi, Bobby masih
terus berzikir-menyebut nama Tuhannya sambil
berlinang air mata. begitulah Bobby sekarang, semua
pelajaran yang di dapat selama ini benar-benar telah
membuatnya berubah. Dia sudah menjadi seseorang
yang mulai memahami arti kehidupan. Kecerdasan
spiritualnya benar-benar sudah meningkat, sekarang
dia bisa menjalani kehidupannya tanpa ada beban
sedikitpun. �Sesungguhnya sholatku dan ibadahku,
hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan yang
memelihara dan menyerukan sekalian alam.� Itulah
kata-kata yang selalu menjadi pegangannya dalam
menjalani kehidupan ini. Intinya adalah keiklasan hati
dalam mengemban tugas sebagai seorang khalifah di
muka bumi ini, minimal sebagai khalifah untuk dirinya
sendiri. Kini dikesehariannya, Bobby selalu mengisi
kehidupannya dengan hal-hal yang bermanfaat dan
selalu membantu sesama, tak lupa setiap saat selalu
mendekatkan diri kepada Tuhannya. Tidak ada lagi
yang membuatnya merasa takut, karena dia hanya
takut kepada Allah semata. Di hatinya tidak ada lagi

287
kesedihan dan kegundahan, karena dia selalu
mengembalikan semuanya kepada Sang Pencipta.
Yang ada dihatinya hanya rasa cinta kepada
Tuhannya dan kepada sesama, dia juga merasakan
cinta Tuhan dengan selalu berprasangka baik dan
senantiasa beryukur kepada-Nya.
Sekitar pukul lima sore Bobby menghentikan
zikirnya, rupanya pemuda itu sudah merasa
keroncongan. Akhirnya, pemuda itu pergi untuk
makan di sebuah warung yang sederhana. Selesai
makan, Bobby segera membayarnya dengan uang
lima ribuan yang tinggal satu-satunya. Maklumlah,
uang yang didapat dari teman-temannya di Malaysia
memang hanya sedikit, dan itu hanya cukup untuk
ongkos pulang ke Indonesia. Karena tidak mungkin
membayar penginapan, akhirnya malam ini Bobby
terpaksa menginap di masjid. Sepanjang malam
pemuda itu selalu berzikir dan berzikir. Sampai
akhirnya dia tertidur di teras masjid.

288
Esok paginya, Bobby terlihat sedang duduk di
pagar jembatan tak jauh dari gerbang masjid. Saat itu
perutnya terasa lapar, karena terakhir kali dia makan
kemarin sore. Tapi Bobby tidak mempedulikan rasa
laparnya itu, dia terus saja berzikir sambil mengamati
jalan raya yang ramai. Di kejauhan terlihat seorang ibu
yang baru saja turun dari mobil, sepertinya dia
membawa banyak belanjaan. Saat itu si Ibu tampak
berjalan dengan tertatih-tatih lantaran belanjaan yang
dibawanya cukup berat juga. Melihat itu, Bobby
merasa kasihan, lalu dengan segera dia langsung
menawarkan diri untuk membantu membawakan
barang-barang itu. Si Ibu terlihat senang karena ada
seorang pemuda yang mau membantunya disaat dia
sedang kesusahan.
Kini keduanya tampak berjalan menyusuri jalan
kecil yang ada di samping masjid, tak lama kemudian
mereka sampai di rumah si Ibu. Setelah meletakkan
belanjaannya di depan rumah, Bobby segera mohon
diri.
"Terima kasih ya!" ucap ibu itu seraya tersenyum.

289
"Sama-sama, Bu," balas Bobby.
Ketika Bobby hendak pergi, tiba-tiba, "Tunggu,
Nak! " tahan si Ibu.
Seketika Bobby menghentikan langkahnya, "Ada
apa Bu?" tanyanya kemudian.
"Ini..." katanya si Ibu seraya memberikan
sebungkus Roti, "Sepertinya kau belum makan ya?"
tanyanya kemudian.
"Iya Bu," katanya pelan seraya menerima
pemberian si Ibu dengan senang hati, "Terima kasih
banyak, Bu!" ucapnya kemudian.
Setelah berkata begitu, Bobby segera pergi
meninggalkan tempat itu. Dalam hati, dia tak henti-hentinya bersyukur atas rezeki yang dia dapatkan pagi
ini. Sesampainya di depan masjid, pemuda itu kembali
duduk di pagar jembatan dan segera membuka
pembungkus rotinya.
"Ya Allah, aku benar-benar sangat bersyukur atas
karunia yang Engkau berikan ini. Bismillah..." ucap
Bobby seraya menikmati sepotong roti yang baru saja
didapatnya sebagai upah membawa belanjaan.

290
Walaupun semula dia tidak mengharapkan imbalan
apa-apa, namun karena si ibu memberinya dengan
ikhlas dia pun mau menerima. Dia merasa hal itu
merupakan rezeki Tuhan yang tak patut ditolak.
Setelah kenyang, Bobby tampak melanjutkan
perjalanannya. Kini dia sedang berjalan di sebuah
jalan yang ramai. Bobby terus berjalan dan berjalan,
hingga akhirnya dia melihat seorang lelaki setengah
tua tampak sedang mengalami kesulitan.
"Permisi, Pak. Ada yang bisa kubantu?" tanya
Bobby menawarkan bantuan.
"O, tolong bantu aku mengangkat kulkas ini!"
pinta lelaki setengah tua itu.
Tanpa banyak bertanya, Bobby segera
membantunya. Lalu dengan sekuat tenaga, dia dan
lelaki setengah tua itu mengangkat sebuah kulkas ke
atas mobil secara bersama-sama, dan setelah
bersusah payah, akhirnya mereka bisa menaikkan
benda itu.
"Terima kasih, Nak!" ucap lelaki setengah baya
itu.

291
"Sama-sama, Pak," balas Bobby seraya permisi
untuk meninggalkan tempat itu.
"Tunggu dulu, Nak. Ini ada sedikit uang untuk beli
rokok,"
"Terima kasih, Pak! Aku tidak merokok. Lagi pula
aku sangat senang bisa membantu Bapak," tolak
Bobby.
"Sudahlah terima saja! Terserah mau kau
gunakan untuk apa," desak lelaki setengah baya itu.
"Baiklah.. kalau begitu aku ucapkan terima kasih
banyak," ucap Bobby seraya pergi meninggalkan
tempat itu.
Bobby terus melangkah mengikuti jalan yang
menuju ke arah kampungnya. Di tengah perjalanan
pemuda itu bertemu dengan seorang wanita tua dan
seorang anak kecil yang begitu memprihatinkan,
mereka terlihat duduk di tepi jalan sambil memegang
perut yang sepertinya sangat kelaparan. Lalu dengan
segera Bobby menghampiri mereka.
"Bu, terimalah uang ini," ucap Bobby seraya
memberikan uangnya yang baru didapatnya.

292
"Aduh... terima kasih banyak, Nak!" ucap Ibu itu
senang.
"Berterima kasihlah kepada Allah yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang, karena Allah-lah yang
telah memberikan rezeki kepada Ibu melalui perantara
hamba-Nya." Setelah berkata begitu, Bobby kembali
melangkah pergi.
Bobby terus melangkah dan melangkah, hingga
akhirnya terdengar azan Juhur berkumandang.
Sejenak pemuda itu melihat ke arah matahari yang
kini berada tepat di atas kepalanya, kedua matanya
tampak memicing sambil mengelap peluh yang
mengalir di dahinya. Walau pun saat itu perutnya
mulai merasa lapar, namun pemuda itu tidak
menghiraukannya, dia tampak berjalan menuju ke
sebuah masjid untuk menunaikan sholat juhur. Seusai
sholat, Bobby berdiam diri sejenak di masjid untuk
berdoa dan mengucapkan syukur. Saat itu, Bobby
merasakan perutnya sudah semakin lapar, namun
begitu dia merasakan lapar itu sebagai sebuah
kenikmatan.

293
Kini Bobby kembali melanjutkan perjalanannya,
dan dalam tempo yang tak terlalu lama akhirnya
pemuda itu sampai di kampung halamannya. Ketika
sedang melintasi sebuah jembatan, tiba-tiba pemuda
itu melihat seseorang yang tengah dikejar-kejar oleh
beberapa orang polisi. Orang itu tampak berlari
menuju ke arahnya. Pada saat itu, Bobby sempat
terkejut ketika mengetahui kalau orang yang sedang
dikejar polisi itu adalah si Johan-bandar narkoba
yang memang sudah sangat dikenalnya. Belum hilang
rasa terkejutnya, tiba-tiba pemuda itu mendengar
beberapa suara tembakan. Pada saat itu, dia
menyaksikan Johan terjerembab dengan kepala
tertembus timah panas.
Bobby terpaku melihat kejadian itu, dilihatnya
darah segar tampak mengalir dari kepala Johan
hingga membasahi sebagian tubuh pemuda yang
tengah terkapar itu. Sungguh suatu pemandangan
yang cukup mengerikan. Pada saat itu, tiba-tiba saja
Bobby merasakan dadanya terasa panas. Kemudian
dia merasa sulit untuk bernafas-dadanya mendadak

294
terasa sesak, dan tiba-tiba saja kedua matanya
menjadi berkunang-kunang. Lalu dengan serta-merta
tubuh pemuda itu roboh dengan sebuah luka di dada
kanannya, ternyata sebuah peluru nyasar telah
menyerempet paru-parunya.
Lantas dengan segera, pemuda itu diangkut ke
rumah sakit terdekat dan segera dimasukkan ke unit
gawat darudat. Sementara itu di tempat lain, seorang
gadis terlihat sedang menangis. Dialah Erna kekasih
Johan, saat itu dia begitu sedih lantaran mendengar
tentang kematian pacarnya. Bagaimana mungkin dia
bisa hidup tanpanya, yang selama ini selalu menyuplai
kebutuhannya. Kini dia berniat menyusul kekasihnya
ke alam baka, dengan segelas racun serangga dia
menghabisi nyawanya sendiri. Erna meninggal dengan
kondisi yang begitu mengerikan. Matanya terlihat
melotot dengan lidah terjulur keluar, dari mulutnya
keluar busa yang mengalir ke lantai.

Empat Belas

Pada suatu pagi, udara dingin terasa menusuk
kulit, kabut tebal masih menyelimuti perbukitan.
Saat itu, Randy dan istrinya sedang berdua di teras
sebuah Villa, rupanya mereka sedang berbulan madu
setelah menikah sebulan yang lalu.
"Kak... berapa anak yang akan kita miliki?"
"Sebanyak aku sanggup memelihara, Yul..."
"Kamu ingin anak pertama kita laki-laki atau
perempuan?"
"Bagiku laki-laki atau perempuan sama saja,
yang penting mereka bisa tumbuh sebagai anak-anak
yang saleh."
"Kak... aku menyayangimu"
"Aku juga, Yul. Oh Adindaku sayang... jika kau
sedang bermanja seperti ini, wajahmu tampak begitu
mempesona."
"Ah, Kak Randy bisa saja... "

296
"O ya, Yul! Tadi kata Pak Ujang, rumah kita
sudah selesai direnovasi. Nanti sepulang berbulan
madu, kita langsung tinggal di rumah itu ya!"
"Jangan dulu, Kak! Aku masih belum bisa
meninggalkan Paman dan Bibiku, karena selama ini
mereka begitu baik dan begitu menyayangiku. Dan
aku pun sudah menganggap mereka sebagai kedua
orang tuaku sendiri. Jika aku pergi, mereka tentu akan
merasa kehilangan, sebab selama ini mereka sudah
menganggapku sebagai anaknya sendiri. Kau tahu
kan, kalau mereka belum dikaruniai seorang anak
pun."
"Baiklah, Yul. Kalau memang itu yang kau
inginkan," kata Randy menyetujui, karena dia mengerti
betapa sayangnya Yuli kepada paman dan bibinya.
Sehingga dia bisa memahami jika istrinya tidak mau
segera pindah.
"O ya, Kak. Apakah selama ini kau sudah
mendapat kabar dari Bobby?"

297
"Belum, Yul. Selama ini dia tidak pernah
memberitahu kabar tentang dirinya. Sepertinya dia
lenyap begitu saja tanpa ada kabar beritanya."
"Semoga dia baik-baik saja ya, Kak."
"Kita doakan saja, semoga dia selalu sehat wal-afiat."
Keduanya terus berbincang-bincang sambil
bermanja-manja dengan penuh kebagiaan.
Sementara itu, di dalam villa terlihat pesawat TV yang
belum dimatikan, saat itu di layat kaca sedang
diberitakan tentang dua orang yang tertembak, dan
salah seorang yang tertembak itu kini sedang
mengalami koma di rumah sakit.
Sementara itu di luar, matahari tampak semakin
meninggi dan kabut mulai menghilang dari
pandangan. Pada saat itu, Randy dan Yuli tampak
melangkah meninggalkan teras depan, dan sekarang
mereka sedang menyaksikan acara di televisi. Mereka
berdua sedang menyaksikan acara musik.
"Sayang... lagu ini mengingatkan aku ketika
pertama kali kita jadian."

298
"Benar, Yul. Saat itu memang benar-benar
malam yang indah."
Yuli bersandar di dada suaminya, "Sayang...
akankah kita akan selalu seperti ini?"
"Kenapa kau berkata begitu?"
"Karena ketika aku melihat pengalaman dari
teman-temanku sendiri tidak demikian, cinta mereka
yang semula begitu besar lambat laun akan sirna
seiring dengan berjalannya waktu. Kehidupan rumah
tangga mereka tidak lagi harmonis, karena mereka
selalu dikejar-kejar dengan segala permasalahan
yang selalu datang. Baik masalah ekonomi, anak,
maupun orang ketiga-mertua dan pacar gelap."
"Ya namanya juga hidup, Yul. Orang yang hidup
pasti akan mengalami segala macam masalah. Untuk
itulah kita sebagai manusia dianjurkan untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan, agar kita selalu
diberi jalan petunjuk yang lurus."
"Apakah cintamu kepadaku akan hilang juga?"
"Selama kita selalu mendekatkan diri kepada
Tuhan, masih saling percaya, saling setia, saling

299
terbuka dan saling pengertian, mudah-mudahan hal
itu tidak akan terjadi."
"Sayang... apakah kau akan selalu setia
padaku?"
Randy tidak segera menjawab, dia tampak
termenung. Karena dia juga tidak tahu harus berkata
apa, karena itulah pertanyaan yang bisa menjadi buah
simalakama. Jika dia terbuka dengan berkata jujur
tentu akan menyakiti perasaan istrinya, sedangkan
jika dia berbohong berarti dia tidak terbuka, dan kata
saling percaya lambat laun akan terlupakan.
"Sayang... kenapa kau diam? Jawablah
pertanyaanku itu," desak Yuli.
"Yul dengarkan aku! Aku ini hanya manusia, aku
sama sekali tidak bisa mengetahui hal itu. Kau
mengajukan pertanyaan ini begitu cepat, padahal kita
baru saja mengarungi bahtera rumah tangga.
Sebaiknya kita jalani saja kehidupan kita, nanti juga
kau akan mengetahui jawabannya."
Dahi Yuli sedikit berkerut, kemudian dia
memandang Randy dengan mata berkaca-kaca.

300
"Kak... apakah semua laki-laki memang seperti itu,
tidak bisa setia dan suka selingkuh."
"Tidak juga, Yul. Tidak semua laki-laki seperti itu.
Semua itu tergantung kepada pribadi masing-masing
dan tentunya kehidupan bersama pasangannya."
"Maksudmu?"
"Tidak mungkin seorang lelaki berselingkuh jika
tanpa suatu sebab, begitu juga sebaiknya. Karena
suatu sebab itulah yang memicu hal demikian."
"Sebab apakah itu, Kak?"
"Ya itu tadi. Tidak saling percaya, tidak saling
terbuka, tidak saling setia dan tidak saling pengertian.
Karenanyalah, jangan kau tanyakan lagi tentang hal
itu, dan kau tidak perlu mencurigai aku. Percayakan
saja kalau aku akan selalu setia padamu. Yang jelas
saat ini aku begitu menyayangimu..."
Kini Yuli tidak bertanya-tanya lagi, dia percaya
Randy akan selalu setia dan tidak akan menyakitinya.
Karena Yuli menyadari kalau Randy memang
berpotensi untuk tidak setia, dan dia bisa mengerti
tentang kodrat Randy sebagai seorang lelaki.

301
Sekarang yang harus dia lakukan adalah
mempercayai kata-kata suaminya, dan dia berharap
agar Randy tidak menyalahgunakan kepercayaannya
itu. Untuk itu, dia harus berbuat semaksimal mungkin
guna membahagiakan suaminya, dengan harapan
suaminya akan selalu menyayanginya. Kalau
suaminya sudah sayang, tidak ada alasan baginya
untuk berkhianat.
Kini keduanya terlihat mesra, Randy mendekap
istrinya yang masih bersandar di dadanya. Sementara
itu di kamar rumah sakit, Bobby masih belum
sadarkan diri. Dia masih berkelana di alam bawah
sadarnya. Peralatan pemantau terus terpasang pada
tubuhnya, grafik indikator terus memberikan informasi
tentang keadaan Bobby. Sesekali dokter datang ke
kamar itu untuk mencatat perkembangannya.
Di alam bawah sadarnya, Bobby sedang
berpetualang ke dunia lain. Dia melihat pegunungan
yang tinggi menjulang, kabut tebal tampak
menyelimuti dari kaki hingga ke lerengnya. Pemuda
itu terus merasakan dirinya melayang menuju ke

302
sebuah gunung yang paling besar, seakan-akan
memang ada yang membawanya ke sana. Hingga
akhirnya pemuda itu tiba di sebuah gua yang
menganga lebar.
Kini pemuda itu sedang berdiri di mulut gua
sambil memperhatikan sekitarnya dengan penuh rasa
was-was, dalam hati dia merasa bingung dengan
kejadian yang sedang dialaminya. Kemudian dengan
perlahan, pemuda itu mulai melangkah memasuki gua
yang di kiri-kanan dindingnya terdapat obor-obor yang
terus menyala. Perasaan takut mulai menyelimuti
hatinya, namun dia kembali teringat dengan
Tuhannya. Tiada yang perlu ditakuti jika Tuhan masih
bersamanya, karena Dia yang Maha Besar, Maha
kuasa dan Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Tuhan pasti akan melindunginya dari marabahaya
apapun, selama dia masih beranggapan Tuhan
memang selalu melindunginya.
"Ya Allah lindungilah aku, karena tiada daya dan
upaya melainkan dengan pertolongan-Mu. "

303
Bobby terus melangkah sambil terus berdoa-
meminta pertolongan kepada Tuhannya. Kini
keberaniannya semakin nyata, dan dia semakin cepat
melangkahkan kaki. Akhirnya dia tiba di sebuah
ruangan yang cukup luas, di hadapannya
membentang jembatan yang terbuat dari tulang-belulang manusia. Di bawah jembatan itu merupakan
jurang yang berisi lahar yang sangat panas.
Kini Bobby melangkah melewati jembatan itu,
hingga akhirnya dia tiba di seberang dengan selamat.
Bobby memperhatikan keadaan sekitarnya, Obor-obor
yang menyala terlihat mengelilingi tempat itu. Di
hadapannya terlihat sebuah altar batu yang dikelilingi
lahar panas yang menyala-nyala. Di depan altar itu
terdapat anak tangga yang juga terbuat dari batu, dan
di atas altar itu terdapat sebuah batu permata yang
sangat besar.
Bobby melangkah untuk melihatnya lebih dekat,
matanya tak berkedip melihat kilauan permata yang
begitu indah-kilauan yang bisa membuat orang
terkagum-kagum. Ketika dia baru menginjakkan

304
kakinya pada anak tangga yang pertama, tiba-tiba di
belakang permata itu berdiri mahluk berkaki dua
dengan seluruh tubuh penuh bulu dan berwarna
hitam-seperti hitamnya kerbau. Kedua tangannya
mempunyai cakar yang begitu runcing. Pada
kepalanya terdapat dua buah tanduk kecil, dan dia
juga mempunyai ekor yang kecil pula. Wajahnya
terlihat menyeringai dengan gigi-giginya yang runcing,
sungguh menyeramkan.
Bobby sangat terkejut dengan penampakan
mahluk itu yang begitu tiba-tiba, dan dia tidak tahu
mahluk apakah itu gerangan. Belum sempat Bobby
berpikir lebih jauh, tiba-tiba mahluk itu tertawa keras,
suaranya menggema hingga ke seluruh ruangan.
Kemudian dengan suara yang berat dan agak
menggema dia bertanya kepada Bobby, "Hai manusia!
Apakah kau menginginkan permata itu?"
"Kau akan memberikan permata itu untukku?"
Bobby balik bertanya.
"Tentu saja... tapi ada syaratnya."
"Syarat! Syarat apakah itu.?"

305
"Ayam... aku meminta sepuluh ekor ayam?"
"Hanya itu?"
"Ya... hanya itu," kata mahluk yang
menyeramkan itu.
Dalam hati Bobby berpikir, "Kenapa mahluk itu
ingin memberikannya permata yang begitu besar, dan
dia hanya meminta sepuluh ekor ayam?"
Bobby benar-benar bingung dengan semua itu,
karena yang diminta hanya sepuluh ekor ayam.
Setelah berpikir sejenak, akhirnya dia pun
menyanggupi, "Baiklah aku akan memberikanmu
sepuluh ekor ayam."
"Sebelum kuberikan permata ini, tanda
tanganilah surat perjanjian ini!"
Tiba-tiba selembar surat perjanjian yang ditulis di
atas selembar kulit tampak melayang ke arah pemuda
itu, lalu dengan segera dia menanggapi dengan kedua
telapak tangannya. Kemudian pemuda itu segera
membaca isi surat perjanjian itu.
"Telah aku sanggupi untuk memberikan sepuluh
ekor ayam kepada Jin penguasa kegelapan, dan bila

306
aku tak bisa menyanggupinya, maka aku harus
bersedia untuk mengabdi kepada Jin penguasa
kegelapan. Tertanda Jin penguasa kegelapan yang
berstempelkan darah."
"Nah... tanda tanganilah surat perjanjian itu, dan
berikan cap darahmu!" seru mahluk itu.
Bobby langsung tersadar ketika membaca isi
perjanjian itu, hingga akhirnya dia mengetahui bahwa
mahluk yang sedang berdiri dihadapannya adalah Jin,
mahluk gaib ciptaan Tuhan yang hidup di alam lain.
"Wahai Jin Fasik! Ketahuilah... aku tidak akan
pernah mau membuat perjanjian denganmu, dan aku
tidak akan termakan dengan segala bujuk rayumu,
karena aku tahu akan segala tipu muslihatmu. Aku
tidak akan mau menandatangani perjanjian ini,
walaupun itu hanya untuk sepuluh ekor ayam. Karena
aku tahu, kau pasti ingin menjebakku agar aku
menjadi pengikutmu."
Begitu mendengar kata-kata itu, Jin tersebut
tampak marah. Mendadak dari bawah jurang lahar
terdengar suara yang cukup keras, kini seekor ular

307
yang sangat besar sedang merayap ke arah pemuda
itu. Melihat hal demikian, Bobby pun langsung berdoa
kepada Tuhannya untuk meminta pertolongan-Nya.
Bobby terus membaca doa-doa dengan khusuk,
dan ketika ular itu hendak mendekat, tiba-tiba ular itu
terbakar. Melihat hal itu, mahluk yang bernama Jin itu
semakin marah. Dia melemparkan bola-bola api ke
arah Bobby, namun bola api itu sama sekali tidak
mengenainya.
Ketika Jin itu hendak bertindak lebih jauh, tiba-tiba sekelebat sinar putih menyambar tubuh Bobby
dan terus membawanya hingga keluar gua. Pada saat
yang sama, di ruang rumah sakit terlihat para dokter
yang sedang menangani pemuda itu. Mereka tampak
berusaha untuk mengaktifkan denyut jantung Bobby
yang tak berdetak lagi.
"Sekali lagi!"
"Siap..."
Alat kejut jantung kembali tersentak di dada
pemuda itu, dan tiba-tiba grafik monitor
memperlihatkan tanda-tanda kehidupan. Para dokter

308
terlihat senang karena jantung pasiennya kembali
berdenyut, lalu mereka pun segera
menindaklanjutinya guna menstabilkan kondisi pasien.

Lima Belas

Tiga bulan kemudian, Randy mengajak istrinya
untuk tinggal di rumah baru mereka, tapi
istrinya masih saja menolak-dia masih bersikeras
untuk tinggal di rumah Paman dan Bibinya dengan
alasan masih berat untuk meninggalkan mereka.
Sebenarnya Randy merasa jengkel juga, karena
selama ini dia merasa tidak nyaman tinggal di rumah
itu. Bagaimana tidak, setiap hari dia selalu
diperlakukan seperti anak kecil oleh orang tua angkat
Yuli. Bila dia belum makan, si Paman selalu
menasehati agar cepat-cepat makan, kalau tidak nanti
terkena mag. Jika sedang nonton TV hingga larut
malam, si Bibi selalu bilang jangan tidur terlalu malam.
Jika tidak, nanti kesehatanmu akan terganggu, dan
sebagainya dan sebagainya...
Randy memahami maksud mereka memang
baik, dan mereka melakukan itu karena sayang

310
kepadanya. Tapi biar bagaimanapun juga, hal itu telah
membuat Randy merasa seperti anak kecil. Tanpa
perlu dinasehati pun, sebenarnya dia sudah mengerti
betul tentang semua itu. Dan dia melakukan itu sama
sekali bukan karena tidak mengerti, tapi karena suatu
sebablah yang mengakibatkan dia melakukan hal-hal
yang dianggap salah oleh mereka. Bukan hanya itu
saja! Semua peraturan di rumah itu memang benar-benar membuat Randy merasa tidak nyaman.
Bayangkan! Di kamar mandi saja ada tulisan "Jangan
jorok, siramlah setelah buang air besar!" Setiap kali
dia masuk kamar mandi selalu saja melihat tulisan itu,
yang mengatakan seolah-olah dirinya jorok dan tidak
pernah menyiram setelah buang air besar, padahal dia
selalu menyiram kakus setiap habis buang air besar.
Walaupun tulisan itu bukan ditujukan padanya, tetap
saja dia merasa seperti tertuduh. Sebenarnya dia ingin
sekali mengganti tulisan itu dengan "Kebersihan
sebagian dari pada iman", biar kesannya tidak
menuduh, tapi karena dia merasa tidak ada hak, dia
pun mengurungkan niatnya.

311
Kini dia sedang membujuk istrinya untuk mau
tinggal di rumah baru mereka. "Mengertilah Manis...!
Terus terang, aku merasa risih tinggal di sini."
"Sudahlah, Sayang... Hal-hal seperti itu tidak
perlu diambil hati, Paman dan Bibi melakukan semua
itu karena mereka sayang padamu."
Dalam hati Randy sedikit kesal, "Aku juga tahu,
Yul. Kau tidak perlu mengajariku!" ucapnya dalam
hati. Kemudian lelaki itu menatap mata istrinya
dengan lembut, "Manis... pandanglah mataku!"
pintanya kemudian.
Yuli pun memandang mata suaminya. Pada saat
itu Randy kembali bersuara, "Manis... aku sayang
padamu, dan aku sangat mencintaimu. Jangan hanya
karena hal seperti ini hubungan kita jadi tidak
harmonis, cobalah untuk mengerti apa yang
kurasakan!"
Yuli tersentak dengan kata-kata Randy barusan,
wajahnya kini tertunduk dengan mata yang berkaca-kaca. Dia merasakan betul kalau suaminya benar-benar berharap untuk pindah dari rumah itu. Kini Yuli

312
menitikkan air matanya, "Maafkan aku Sayang...!
Selama ini aku memang terlalu egois. Aku selalu
mementingkan perasaanku sendiri, sedangkan
perasaanmu sama sekali tidak aku hiraukan. Kini aku
mengerti perasaanmu, kau memang tidak ingin hidup
terkekang. Kau akan merasa lebih bebas tinggal di
rumah sendiri dari pada harus tinggal di sini.
Sayangku... mulai besok kita bisa tinggal di rumah
baru kita."
"Terima kasih, Manis...! Kau mau mengerti
perasaanku," ucap Randy seraya mengecup kening
istrinya, "Kau tidak perlu bersedih Manis...! Karena
setiap minggu kita bisa datang ke sini untuk
menengok mereka."
"Sungguh...!" ucap Yuli seraya menatap mata
suaminya.
"Iya Manis..." kata Randy seraya mengecup
kening istrinya lagi.
Kemudian keduanya saling berpelukan, saat itu
Randy pun semakin sayang kepada istrinya yang mau
mengerti tentang perasaannya. Randy benar-benar

313
beruntung mempunyai istri seperti Yuli, istri yang akan
selalu disayanginya.

Di pagi yang cerah, di lorong sebuah rumah sakit,
seorang pemuda terlihat sedang duduk di sebuah
kursi panjang. Dia sedang menunggu seseorang yang
akan memberikan kepastian tentang kepulangannya.
Tak lama kemudian, seorang berpakaian putih datang
menemuinya. "Saudara Bobby! Anda sudah diizinkan
untuk pulang. Semua biaya rumah sakit sudah
diselesaikan oleh pihak kepolisian."
"Terima kasih, Pak Dokter! Kalau begitu, aku
permisi untuk pulang. O ya... Terima kasih atas
perhatian Bapak selama ini!"
"Sama-sama..."
Setelah berjabatan tangan, Bobby segera
melangkah meninggalkan rumah sakit. Saat itu, dia
merasa senang dengan keadaannya sekarang, dan
dia sangat bersyukur karena Tuhan masih

314
melindunginya. Kini dia mulai melangkah menuju ke
kampung halamannya. Bobby terus melangkah sambil
tak henti-hentinya menyebut nama Tuhan. Pemuda itu
benar-benar menikmati perjalanannya kali ini, dan
sepertinya dia juga tidak merasa lelah sedikitpun.
Hingga akhirnya, pemuda itu tiba di kampung
halamannya dan segera menziarahi makam ibunya.
Sepulang dari makam, pemuda itu berjumpa dengan
sahabatnya Randy.
"Bo-Bobby! Apakah aku tidak salah lihat," ucap
Randy senang.
"Randy, benarkah kau Randy sahabatku," ucap
Bobby tak kalah senang.
Bobby segera memeluk sahabat lamanya,
sejenak mereka saling melepaskan rindu.
"Maukah kau mampir ke rumahku, Bob?" tawar
Randy.
"Tentu saja, kenapa tidak."
"O ya, Bob. Apa kau sudah menikah?" tanya
Randy.
"Belum,"

315
"Kau, sendiri?" Bobby balik bertanya.
"Aku sudah menikah, Bob"
"Alhamdulillah, berbahagialah selalu! Semoga
kalian menjadi keluarga yang sakinah mawadah
warahmah" ucap Bobby.
"Amin... Terima kasih, Bob!"
Tak lama kemudian, keduanya tampak sudah
melangkah menuju ke rumah Randy, hingga akhirnya
mereka tiba di rumah itu. Kini keduanya tampak
sedang bercakap-cakap di ruang tamu.
"Ngomong-ngomong... apa kau sudah makan?"
tanya Randy.
"Belum," jawab Bobby terus terang.
"Kalau begitu, ayo kita makan sama-sama!"
Lalu dengan sedikit canggung, Bobby tampak
mengikuti sahabatnya menuju ke ruang makan. Di
ruangan itu, Yuli terlihat sedang menyiapkan
makanan.
"Ayo, Bob. Silakan duduk!" tawar Randy.
"Terima kasih, Ran!"
Akhirnya, mereka pun makan bersama-sama.

316
"Bob, sekarang kau kerja dimana?" tanya Randy.
"Aku belum bekerja, Ran."
"O ya, Bob. Aku turut berduka cita atas kematian
ibumu. Waktu itu aku sempat main ke rumahmu, dan
aku sangat terkejut begitu tahu tentang kematian
ibumu. Pak RT kampungmu bilang, kau pergi
merantau. Sebenarnya, selama ini kau ke mana
saja?"
"Aku menuntut ilmu, Ran." Jawab Bobby seraya
menceritakan pengalamannya selama ini.
"Kalau begitu, apakah kau mau mengajariku,
Bob?"
"Maaf, Ran! Aku tidak bisa mengajar."
"Kenapa?" tanya Randy heran.
"Bukan karena aku tidak bisa teknisnya, Ran.
Tapi aku belum mengamalkan ilmu yang kudapat itu."
"Mungkin setelah menikah dan mempraktekkan
semua pelajaran yang kudapat. Aku baru bisa
mengajar,"
"O ya, Bob. Kau bilang kau masih menganggur,
lalu dari mana kau mendapatkan uang."

317
"Allah Maha Pemurah, Ran. Selama ini aku
selalu diberi rezeki oleh-Nya."
"Tapi, apakah itu mencukupi, Bob?"
"Biarpun hanya sedikit, aku sudah sangat
bersyukur, Ran."
"Bob, maukah kau membantuku untuk
memasarkan hasil jahitanku. Pokoknya, nanti kau
akan kuberi persenan."
"Terima kasih, Ran! Sepertinya aku tidak
mempunyai bakat soal pemasaran."
"Kau jangan khawatir, Bob. Aku akan
mengajarimu. Selain itu, aku ingin kau mengajarkan
aku dan istriku untuk membaca Al-Quran. Kau mau
kan mengajari kami.
"Kalau cuma mengajar baca Al-Quran, tentu saja
aku mau."
"Kalau begitu, kau bisa tinggal di sini, Bob."
"Tidak, Ran. Aku tidak mau merepotkanmu."
"Tidak, Bob. Itu sama sekali tidak merepotkan."
"Terima kasih, Ran! Selama ini aku biasa tidur di
masjid."

318
"Baiklah... Kalau kau tidak mau tinggal di
rumahku kau bisa tinggal di kamar kost milikku.
Lokasinya tidak terlalu jauh dari sini."
"Maaf, Ran! Aku tidak mempunyai uang untuk
kost."
"Kau tidak perlu membayar, Bob."
"Tidak, Ran. Aku tidak mau hidup seperti benalu."
"Baiklah, Bob. Anggap saja upahmu mengajar
sudah dipotong untuk membayar kost."
"O, jadi kau ingin membayarku sebagai pengajar
Quran. Tidak Ran! Aku sama sekali tidak mau dibayar
untuk hal itu."
"Bob, aku benar-benar ingin membantumu, jadi
aku harus bagaimana?"
"Begini saja, Ran. Apakah kau mempunyai uang
untuk membeli sebuah mesin steam."
"Tentu saja, Bob."
"Nah... kalau begitu aku akan menggunakan
uang itu untuk membeli mesin steam. Aku akan
membuka usaha cucian motor, dan untuk itu kita
terapkan sistem bagi hasil.

319
"Baiklah, Bob. Aku setuju saja."
"Terima kasih, Ran!"
Mereka terus membahas masalah itu, hingga
akhirnya kepastian untuk membuka usaha itu pun bisa
segera dilaksanakan. Malam harinya, Bobby sudah
tinggal di kamar kost yang disewakan oleh sahabatnya
itu.

Esok paginya, pemuda itu sudah terlihat sibuk-
kesana-kemari mencari tempat untuk usaha dan
mencari mesin steam yang layak digunakan. Bobby
memang sudah mempersiapkan segala sesuatunya
dengan matang dan penuh kecermatan, hingga
akhirnya berdirilah sebuah tempat pencucian motor di
sebuah tempat yang cukup strategis.
Selama membuka usahanya, pemuda itu selalu
bekerja dengan giat dan penuh tanggung jawab. Dia
melakukan pekerjaannya dengan baik sekali,

320
sehingga setiap pelanggannya merasa puas. Karena
selain murah, hasil cuciannya juga sangat bersih.
Kini Bobby sudah bisa hidup dari hasil usahanya
itu, walaupun dengan hasil yang sedikit. Tapi semua
itu tidak membuatnya merasa kekurangan, bahkan dia
merasa berkecukupan. Semua itu karena dia benar-benar mensyukuri seberapa pun rezeki yang ia
dapatkan. Karena dia tahu kehidupan di dunia ini
adalah fase untuk persiapan menuju kehidupan kelak.
Karena itulah Bobby selalu berusaha untuk menjalani
kehidupan di dunia ini dengan sebaik mungkin. Setiap
waktunya yang berharga tidak mau disia-siakan untuk
kegiatan yang tidak bermanfaat. Semua waktunya di
gunakan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan
membantu sesama. Bahkan setiap malam, pemuda
itu tidak pernah lupa mengajarkan cara membaca Al-Quran kepada Randy dan Istrinya. Walaupun
sebenarnya Randy dan Istrinya sudah bisa membaca
Al-Quran, tapi mereka belum bisa membacanya
secara baik dan benar. Selama mengajar mereka,
Bobby selalu bersungguh-sungguh dan penuh

321
keiklasan agar kedua orang yang diajarkannya itu bisa
menangkap pelajaran dengan mudah. Dengan sabar
dia mencontohkan cara pengucapan yang benar,
hingga sedikit demi sedikit Randy dan Istrinya mulai
bisa memahami.

Setahun telah berlalu. Kini usaha cucian motor
yang dirintis Bobby mulai mengalami kemajuan. Kini
pemuda itu sedang berbincang-bincang dengan
Randy di rumahnya. Maklumlah, setiap habis
mengajar, Bobby memang selalu menyempatkan diri
untuk berbincang-bincang dengan sahabatnya itu.
"O ya, Bob. Aku ingin membicarakan soal
pengembangan usaha cucian motor kita. Bagaimana
kalau hasil keuntungan selama ini kita belikan mesin
steam satu lagi."
"Benar, Ran! Aku pun juga sudah
memikirkannya, dan aku akan mengajak Wawan
untuk bekerja membantuku."

322
"Wawan? Siapa dia, Bob?"
"Dia seorang pemuda yang baik dan jujur, dia
tinggal tak jauh dari tempat cucian motor kita. Terus
terang, aku kasihan sekali padanya, karena selama ini
dia masih menganggur."
"Baguslah kalau begitu, itu namanya perduli
kepada warga sekitar."
"Nah, bagaimana kalau besok kau mampir ke
sana! Aku akan memperkenalkan pemuda itu."
"Oke, Bob. Besok aku akan mampir"
"Ran? Sekarang aku pamit pulang! Sampai
bertemu besok," ucap Bobby seraya bangkit dari
tempat duduknya.
"Sampai besok, Bob," ucap Randy seraya
mengikuti Bobby sampai ke muka rumah.
"Assalamu�alaikum..." ucap Bobby.
"Waalaikum salam..." balas Randy seraya
memperhatikan kepergian sahabatnya.

323
Esok harinya menjelang Ashar, Bobby dan Randy
terlihat sedang bercakap-cakap. Saat itu, seorang
pemuda tampak menghampiri mereka.
"Nah itu orangnya," kata Bobby kepada Randy.
Kemudian Randy diperkenalkan dengan pemuda
yang bernama Wawan, dan Randy pun sangat suka
dengan pemuda itu. Selain sebagai seorang pekerja
keras, Wawan juga pemuda yang saleh.
"Ran? Mari kita sholat Ashar!" ajak Bobby.
"Mari, Bob."
Kemudian ketiganya melangkah ke masjid yang
tak jauh dari tempat itu, setelah mengambil wudhu
mereka pun sholat Ashar berjamaah. Setelah
melakukan sholat Ashar mereka kembali ketempat
cucian motor. "Bob? Wan? Aku pamit dulu ya!"
"Hati-hati ya!"
"Assalamu�alaikum..." ucap Randy.
"Wa�alaikum salam..." balas Bobby dan Wawan
bersamaan.

Enam Belas

Setelah sekian lama tinggal di kota, Bobby
merasa tidak nyaman. Batinnya benar-benar
merasa tersiksa. Maklumlah, karena dia masih muda
dan belum menikah. Segala hal-hal yang dianggapnya
merusak pikiran selalu saja menyerangnya dari segala
arah. Dimana-mana dia dapat menyaksikan
kemungkaran merajalela, namun dia tidak bisa
berbuat apa-apa. Maklumlah, karena selama ini dia
belum sepenuhnya istiqamah, dan darah mudanya
pun masih bergejolak. Pada akhirnya Bobby
memutuskan untuk pergi ke desa dimana paman dan
bibinya dimakamkan, dia berniat menempati rumah
yang dulu ditempati oleh Pamannya itu. Di sana dia
ingin menjadi seorang petani dan mencoba menjadi
seorang penulis. Dengan menjadi seorang penulis, dia
berharap bisa menyampaikan segala ilmunya kepada
orang-orang yang haus akan ilmu agama.

325
Begitu memasuki gerbang desa, dia kembali
teringat saat pertama kali dia berjumpa dengan Dewi.
Semua ingatannya tentang Dewi kembali terbayang,
dari pertama dia kenal sampai dia terpaksa harus
berpisah dengannya. Ketika dia mengingat-ingat masa
lalu, hatinya kembali merasakan sakit yang amat
sangat. Bagaimana tidak, orang yang begitu
dicintainya telah direbut paksa, paman dan Bibinya
dibunuh secara keji, sedangkan Ibunya meninggal
dalam kebakaran hebat. Itu semua akibat
pertemuannya dengan Dewi. Tiba-tiba Bobby
beristigfar, rupanya setan sedang berupaya untuk
menggodanya dengan ingatan itu. Setelah
mengembalikannya kepada Sang Pencipta, bahwa itu
memang sudah kehendak-Nya. Hati Bobby pun
menjadi tenang kembali.
Kini Bobby sudah tiba di depan rumah
Pamannya. Rumah itu sekarang tampak sudah rusak
parah, gentengnya banyak yang pecah dan sebagian
dindingnya tampak sudah bobol. Di dalamnya terlihat
puing-puing berserakan dengan sabang-sabang yang

326
menghitam. Dia berniat untuk memperbaiki semua itu
dengan uang yang didapatnya selama ini. Ketika
sedang berpikir untuk merenovasi rumah itu, tiba-tiba
di kejauhan terdengar azan Ashar berkumandang.
Lalu dengan segera pemuda itu pergi ke surau untuk
segera menunaikan sholat.
Seusai sholat pemuda itu tampak duduk-duduk di
teras surau sambil terus berzikir. Hingga tak terasa
matahari tampak mulai kembali ke peraduan. Malam
nanti, pemuda itu berniat menginap di rumah Pak
Dirja, orang tua yang dulu memberitahukan perihal
pembunuh paman dan bibinya. Sekaligus ingin
membicarakan niatnya menetap di desa itu.
Pemuda itu terus berzikir hingga waktu sholat
magrib tiba, dan seusai sholat pemuda itu langsung
melaksanakan niatnya. Ketika sedang dalam
perjalanan menuju rumah Pak Dirja, pemuda itu
berjumpa dengan seorang wanita yang tidak asing
baginya. Saat itu, dia benar-benar tidak percaya
dengan pengelihatannya sendiri. Wanita yang selama
ini ada di hatinya, sekarang ada dihadapannya. Kini

327
kedua pasang mata tampak saling berpandangan,
saat itu waktu seakan berhenti berputar. Lama
mereka berpandangan, hingga akhirnya Bobby mulai
membuka suara,"Dewi...!"
"Kak Bobby! Benarkah itu kau, Kak? Ataukah ini
hanya mimpi."
"Tidak, Wi. Ini benar-benar aku... Bobby."
"Kak Bobyyy... " ucap Dewi seraya memeluk
orang yang begitu dicintainya. "Kak, selama ini aku
selalu merindukanmu," katanya sambil terus memeluk
Bobby.
Bobby tidak membalas pelukan itu, dia hanya
membiarkan saja kekasihnya melepaskan rindu.
Tersentak Dewi terkejut dengan sikap Bobby yang
demikian, "Kak, kenapa? Apakah kau tidak
merindukanku, dan apakah kau sudah tidak
mencintaiku lagi"
"Wi, sampai saat ini aku masih mencintaimu, dan
aku juga merindukanmu. Wi... bukankah kau
sekarang sudah menjadi istri orang. Selain itu, kita
bukan muhrim, Wi. Tidak sepantasnya kita berbuat

328
begini, dan sebaiknya cepat kau lepaskan pelukan
ini!"
Dewi segera melepaskan pelukannya, lalu dia
memandang mata kekasihnya dengan mata berlinang.
"Tidak, Kak. Sekarang aku bukan istri siapa-siapa.
Kini aku sudah menjanda," jelasnya kemudian.
"Benarkah itu, Wi?" tanya Bobby dengan wajah
berbinar.
"Benar, Kak. Aku telah menjanda kira-kira tiga
setengah tahun yang lalu."
"Apa sebenarnya yang telah terjadi, Wi?"
"Wangsa telah meninggal karena terbunuh, Kak.
Dan karenanya aku kembali ke sini. Aku tidak mau
tinggal di Jakarta dengan harta Wangsa yang ternyata
didapat dengan jalan yang tidak halal."
"Kasihan Wangsa, dia belum sempat bertaubat."
"Sudahlah, Kak...! Kenapa kau mesti memikirkan
dia? Sebaiknya sekarang kita ke rumahku untuk
menemui kedua orang tuaku!"
"Tidak, Wi... A-aku..."

329
"Sudahlah, Kak! Kamu tidak perlu khawatir! Kini
orang tuaku tidak seperti dulu, mereka telah
menyadari kekeliruannya. "
"Benarkah, Wi? Jika demikian, aku sangat
bersyukur mendengarnya."
"Kak, sekarang kau jauh berubah. Kamu tidak
seperti Bobby yang kukenal dulu, dan perubahan ini
semakin menambah rasa cintaku."
"Alhamdulillah... Allah telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya kepadaku, dan semoga Nikmat Iman
ini terus dilimpahkan kepadaku. Sebuah Karunia
Mutiara Cinta yang tak ternilai harganya."
"Bob... sebaiknya kau menikahiku, dan kita bisa
segera menumpahkan segala kerinduan ini dengan
semestinya. Orang tuaku pasti akan senang jika kau
datang melamarku."
"Baiklah kalau begitu, sekarang juga aku akan
melamarmu."
Kini keduanya berjalan beriringan untuk menemui
orang tua Dewi. Kebahagiaan terpancar di wajah
keduanya. Setibanya di rumah Dewi, Bobby segera

330
meminta orang tua Dewi untuk menikahkan mereka
hari itu juga. Akhirnya dengan cara yang amat
sederhana keduanya menikah, dan untuk sementara
mereka tinggal di rumah orang tua Dewi.
Bobby sangat terkejut ketika mengetahui Dewi
masih suci, dan dia sangat bersyukur dengan semua
itu. "Jadi ketika selesai acara resepsi pernikahan itu,
Wangsa meninggal karena tertembak?" tanya Bobby
yang baru saja usai menafkahi istrinya.
"Benar, Kak. Dan yang menembaknya itu Pak
Amir. Dia benar-benar sudah kehabisan kesabaran,
hingga akhirnya menembaknya sampai tewas.
Setelah itu dia menemani Pak Gahar yang sudah lebih
dulu mendekam dipenjara karena kasus
pemerkosaan, dan terakhir aku dengar Pak Gahar
tewas karena perkelahiannya dengan Pak Amir."
"Sudahlah, Wi. Kita tidak perlu membicarakan
tentang itu lagi. Kita doakan saja Pak Amir agar tetap
tabah dalam menjalani hukumannya, dan segera
bebas untuk kembali hidup bermasyarakat."
" Kak, aku benar-benar mencintaimu."

331
"Aku juga, Wi," kata Bobby seraya mengecup
kening istrinya dengan lembut.
Kemudian mereka tertidur dengan tangan saling
berpegangan. Di luar rumah, hujan baru saja berhenti.
Tetes air yang jatuh ke kubangan terdengar mengisi
kesunyian. Suara serangga kembali terdengar di
malam yang dingin, dan nyanyiannya berkumandang
bersama sinar bulan yang kembali bersinar indah.

-SELESAI-

Assalam....

Mohon maaf jika pada tulisan ini terdapat
kesalahan di sana-sini, sebab saya hanyalah manusia
yang tak luput dari salah dan dosa. Saya menyadari
kalau segala kebenaran itu datangnya dari Allah SWT,
dan segala kesalahan tentulah berasal dari saya.
Karenanyalah, jika saya telah melakukan kekhilafan
karena kurangnya ilmu, mohon kiranya teman-teman
mau memberikan nasihat dan meluruskannya.
Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan terima kasih
banyak.
Akhir kata, semoga cerita ini bisa bermanfaat buat
saya sendiri dan juga buat para pembaca. Amin...
Kritik dan saran bisa anda sampaikan melalui e-mail
bangbois@yahoo.com

Wassalam...

[ Cerita ini ditulis tahun 2006 ]


Edit by : zheraf.net
http://www.zheraf.net